Bab 37
***
Buku-buku serta barang peninggalan milik Aurel dibenahi Rindra sejak pagi tadi. Setelah melakukan ibadah subuh dan mengantar Toni ke sekolah, Rindra balik ke rumah hanya sekadar membersihkan kamar serta berbenah diri. Jadwal mengajarnya pun tidak seperti biasanya, dia akan ke kampus pada jam 2 siang nanti.
Mencari petunjuk tentang Aurel yang belum dia ketahui adalah jalan pintasnya untuk mengulik kehidupan Naura dahulu. Setelah mengecek semua buku serta barang lainnya di dalam kotak besar, tak ada satupun nama Naura tercetak di dalamnya. Rindra heran, apakah mungkin mertuanya menyimpan banyak rahasia tentang Naura? Tentu, bukan tanpa alasan dia harus repot-repot membereskan barang-barang punya Aurel. Dia cuma penasaran tentang Naura yang sangat menyayangi Aurel bak saudara sendiri, meski mereka bukanlah kakak adik sungguhan.
"Nggak nyangka dulu Aurel dapat 4.00 di semester tiganya," celetuk Rindra begitu menemukan satu buku harian milik Aurel di tumpukan paling bawah kumpulan buku kuliah. "Mana tulisannya cantik-cantik semua lagi. Aurel nggak pernah cerita sama aku tentang ini."
Rindra terus membuka berlembar-lembar buku bersampul tebal warna merah gelap itu. Sampai dia menemukan selembar kosong namun di pojok paling atas tertulis sesuatu, yang membuatnya harus menyipitkan mata.
(Naura, di manapun kamu. Kakak rindu.)
Ini dia. Rindra mendapatkan satu tulisan di mana Aurel sangat merindukan sosok adik bernama Naura. Tulisan tersebut sangat jelas tergambarkan.
Mengenai hal itu, dia jadi ingat sehari sebelum memohon maaf pada Naura, dia menceritakan semua keluhannya pada Hendra, bahkan secara gamblang mengatakan dirinya merasa tidak enak dan merasa bersalah telah bersikap dingin terhadap Naura. Sehari, atau mungkin dua hari, Rindra melakukan itu. Esoknya adalah, dia seperti ketakutan telah membuat Naura menangis.
"Apa aku sudah punya rasa pada Naura ya? Sampai aku bersikap terlalu menyedihkan ke papa?" gumam Rindra menebak, lalu sekejap kemudian dia menggeleng cepat seolah mengusir dugaannya. "Nggak. Aku nggak akan mungkin menaruh rasa ke anak itu. Nggak. Aku nggak bakal cepat jatuh cinta pada Naura. Aku cuma merasa bersalah sebagai seorang kakak saja."
Rindra menyangkal semua itu dan tidak menganggap hal demikian. Lebih baik melanjutkan baca-baca buku catatan milik Aurel seraya meneliti keseluruhan tulisan guna menemukan petunjuk. Namun alih-alih mendapatkannya, dia justru terkesima memandang tulisan cantik milik Aurel. Seakan-akan dia jatuh hati bak pandangan pertama. Heran, bagaimana bisa dia menemukan wanita secantik dan sepintar Aurel dulu? Bagaimana mereka saling kenal? Dan lain sebagainya. Rindra bahkan tidak mengingatnya lagi.
Sebelum berlarut-larut, Rindra segera menutup buku dengan cermat, kemudian dengan hati-hati memasukkannya ke dalam sebuah kotak besar yang terbuka. Kotak tersebut, yang nantinya akan disimpan di gudang, seolah menjadi saksi bisu dari perubahan yang tengah terjadi dalam kehidupan Rindra.
Di kamar besar miliknya, ada dua lemari yang berdiri bahkan saling bersebrangan. Di situlah, satu lemari di sebelah kiri sekitar meja kerjanya, terdapat barang-barang milik Aurel serta barang kepunyaannya bersama Aurel. Kini dia harus membenahinya, atau mungkin saja bakal dikosongkan agar bisa menempati barang lainnya. Tentu Rindra tak pernah berniat melupakan Aurel, namun sebaliknya, wanita itu akan selalu ada dalam hatinya dan terukir dalam pikirannya.
Saat proses pembenahan hampir selesai, Rindra tak sadar keringat mulai membasahi keningnya. Perlahan dia menyekanya menggunakan lengan baju panjangnya. Kemudian, dia meraih kotak yang mulai terasa berat dengan kedua tangannya. Urat-urat di tangan mulai menonjol, mengungkapkan upaya kerasnya untuk mengangkat kotak yang seolah menjadi beban emosionalnya.
Rindra turun perlahan-lahan melalui tangga, pandangannya menjelajahi sekeliling dengan sekilas. Tiba-tiba, sebuah kantong kresek besar menarik perhatiannya. Kantong itu ditaruh di meja makan begitu saja, tanpa penjelasan. Rasa penasaran memuncak, dan dengan langkah penasaran, Rindra meletakkan kotaknya di dekat dapur dan melangkah menuju objek yang menjadi pusat perhatiannya.
Di dalam kantong besar tersebut terdapat sebuah wadah berbahan styrofoam. Di atasnya terdapat kantong kecil yang berisi kerupuk dan kuah kuning, semuanya dikemas dengan rapi dalam plastik seperti es loli. Rindra menebak bahwa itu adalah bubur ayam, dan kebetulan pagi hari jadi sepertinya waktu yang pas untuk mencicipi bubur ayam.
Tak lupa, ada catatan kecil yang menempel di permukaan kantong. Rindra menebak pasti ada yang meninggalkan pesan untuknya. Dengan hati-hati Rindra melepaskan catatan berwarna kuning cerah tersebut, lalu memulai membacanya.
(Kata papa, Bapak nggak ngajar ya pagi ini. Karena itu, saya kriimin bubur ayam buat Bapak. Juga kata papa, Bapak belum makan waktu ngantar Toni. Bapak makan ya, supaya Bapak ada tenaga untuk ngajar kelas tambahan hari ini.)
Rasanya percuma menceritakan semua hal pada Hendra, ujung-ujungnya cerita itu jadi berpindah seperti estafet hingga Naura tahu aktivitasnya. Spontan pandangannya terarah ke dapur, di mana itu menunjukkan kekosongan. Karena jadwalnya adalah berbenah lemari, Rindra jadi tidak mood untuk mengeluarkan bahan-bahan dan memasak kali ini. Tenaganya telah terkuras membenahi barang-barang.
Perlukah dia menerima pemberian Naura? Baru pertama kali Naura membelikan bubur ayam untuknya. Dia merasa sungkan terhadap hal itu.
"Meski ini dari Naura, apa salahnya menerima? Toh dia beli atas suruhan papa." Rindra berpikir sambil mengembalikan kantong kresek yang sudah dia buka di atas meja makan.
Rindra harus menyelesaikan satu tugas dengan membawa barang-barang di dalam kotak besar warna cokelat ke gudang belakang rumah. Barulah dia bisa menyantap bubur ayam pemberian Naura.
***
Malam tiba, dan ranjang yang dihiasi dengan selimut bergambar kartun anak-anak menjadi tempat Rindra dan putranya melakukan suatu permainan. Mereka berdua bersorak gembira ketika mengetahui Toni keluar sebagai pemenang dalam permainan ular tangga yang mereka mainkan. Sadar dirinya kalah oleh sang anak, Rindra spontan membuat eskpresi cemberut sehingga menjadi bahan lucu-lucuan untuk Toni.
"Ayah kalah," kata Toni, sambil menunjuk Rindra dengan riang. "Ayah seharusnya bisa naik, tapi malah terjebak di mulut ular dan turun lagi."
"Iya, ayah memang tidak pandai main ini," sahut Rindra, wajahnya masih cemberut. "Nanti setelah Toni mengocok dadunya, baru ayah ya. Semoga aja bisa menang kali ini."
Toni tidak banyak bicara, dia langsung mengocok dadu kecil di tangannya. Dadu dilempar, dan Toni mendapatkan tiga mata dadu. Dengan penuh semangat, Toni menjalankan tiga langkah ke depan dengan bidaknya.
"Sekarang giliran ayah," kata Rindra, mengambil dadu kecil yang ada di dekat permainan, dan mengocoknya semangat.
"Dapat satu mata." Toni melihat antusias saat ayahnya melempar dadu. Tawa riang menggema ketika tahu dirinya menang lagi sementara ayahnya kalah. Toni tahu bidaknya singgah di ujung tangga yang mengantarkannya naik hingga nyaris mencapai puncak permainan.
"Ayah kalah lagi." Toni menunjuk Rindra sambil tertawa geli, seolah-olah mengejek ayahnya. "Kata ayah, kalau ayah kalah, ayah harus belikan Toni burger. Karena Toni kan menang."
"Huhu, iya nih. Payah banget ayah ini soal permainan ginian," keluh Rindra, seolah-olah menerima kekalahan anaknya. Jangan lupakan dia membuat tangisan agar terkesan lucu.
"Karena kamu menang, ayah kasih hadiah buat kamu." Tak ragu-ragu, Rindra mulai merangkul erat putranya sambil mencium puncak kepala Toni berulang kali.
"Ayah cium Toni sampai puas," ucapnya dengan antusias, selagi Toni menggeliat karena ulahnya dan Rindra merasa ingin menambah waktu untuk memanjakan anak satu-satunya itu. Selanjutnya Rindra menggelitiki Toni, membuat anaknya tertawa hingga terengah-engah.
"Ayah! Ayah, sudah! Toni geli!" serunya mulai menjauh. Senyuman tak pernah lepas dari wajah mereka berdua.
Rindra ingin lanjut mengisengi anaknya, namun terhenti ketika Naura masuk dalam kamar seraya membawa nampan berisi susu dan kuki untuk Toni juga secangkir kopi untuk Rindra.
"Maaf saya mengganggu waktu kalian," ucap Naura sopan, lalu menaruh nampan di meja belajar milik Toni.
"Diminum susu cokelatnya. Tante Naura buatkan yang eeeenaaak banget buat Toni." Naura berinteraksi pada anak kecil yang juga tersenyum di hadapannya. "Pak Rindra juga ... minum kopinya. Daripada nanti nggak enak kalau disesap terlalu dingin."
Naura mendadak canggung begitu meminta Rindra. Wajar, dia masih terlalu terperdaya oleh sikap dingin yang dia terima dari Rindra.
Rindra turun dari tempat tidur dan duduk di kursi kecil di sebelah meja belajar. Dia mulai menikmati seteguk kopi yang telah disiapkan oleh Naura. Rindu mengenali betul rasa kopi yang selalu dibuat oleh adik iparnya. Kadang-kadang, rasanya terlalu kuat dengan gula yang kurang sesuai. Namun kali ini, matanya melebar ketika mencicipi rasanya.
Kopi yang dia cicipi tidak terlalu kuat, dan gula memberikan sentuhan yang manis dalam beberapa detik setelah menyeruput. Keseimbangan yang sempurna. Rindra tak bisa menahan rasa kagumnya.
Persis sama dengan buatan Aurel.
"Kamu baru belajar membuat kopi? Ini sangat enak dibanding sebelumnya," puji Rindra, suaranya tenang, meskipun tidak berlebihan. Matanya berkilau dengan pengakuan tulusnya. "Saya yakin papa akan bangga jika kamu buatkan kopi untuknya. Sebelum ini, pernahkah kamu membuatkan kopi untuk papa selain Kak Eka?"
"Waktu papa masih jadi papa saya, ya sering saya buatkan," jawab Naura mantap, dengan sorot matanya yang penuh keyakinan.
"Kopi ini mendinganlah pokoknya." Rindra berdiri begitu saja setelah menyesap berkali-kali kopi di dalam cangkir putih yang dia siapkan barusan.
Meskipun Naura berusaha keras agar Rindra tidak merasa kecewa dengan kopinya, terdapat sesuatu dalam nada bicara Rindra yang kurang antusias. Ini bukan karena Naura tidak berusaha sebaik mungkin, namun kesan yang diberikan Rindra adalah bahwa dia mungkin tidak menghargai sepenuhnya kopi buatannya.
Sementara itu, anak kecil yang mengenakan kaos merah gelap turun dari tempat tidur dan mendekati meja belajar untuk mengambil gelas panjang berisi susu cokelat yang telah disiapkan oleh Naura.
"Duduk dulu kalau minum, jangan berdiri," pinta Naura lembut saat menyadari Toni akan menenggak susu cokelat sambil berdiri. Lalu dengan kedua tangannya, Naura membimbing tubuh mungil Toni kemudian meraih gelas panjang itu sebentar dan menarik Toni duduk di kursi kayu berukuran kecil.
"Nah, habiskan susunya." Naura pun tak ragu mengelus pelan kepala Toni, juga curi kesempatan mengacak rambut mangkuk keponakannya.
Kurang dari beberapa menit, gelas kaca panjang itu kini menunjukkan kekosongan setelah Toni menenggak habis susu cokelat bikinan Naura.
"Tante, yuk main sama Toni sama ayah." Secara tiba-tiba, Toni menarik tangan halus Naura dan spontan membuat Naura terkejut.
"Ma–main?" tanya Naura memastikan. "Main ular tangga?"
"Iya. Tante sekalian gabung. Kalahkan ayah juga. Ayo, Tante!" Toni seakan tak ingin melepas tantenya begitu saja dan malah menarik kencang tangan Naura.
Tatapan Naura sesekali beralih pada Rindra yang duduk di tengah ranjang. Rindra memberi isyarat dengan anggukan lembut untuk mendukung keputusan Toni.
"Kamu nggak punya kesibukan, kan?" Rindra mulai bertanya, masih dengan suaranya yang datar. "Temani Toni main. Sampai Toni merasa ngantuk."
Baiklah, walaupun ada kecanggungan bila harus satu tempat dengan Rindra, tapi Naura tidak boleh mementingkan keegoisannya. Terlebih Rindra yang kadang menunjukkan sisi lembutnya pada Naura.
"Iya, tante main," kata Naura dengan senyum lembut, lalu ia mengikuti Toni ke meja permainan, duduk di sebelah kanan Toni.
Jadilah mereka melanjutkan permainan dengan Naura mengambil bidak yang tersedia.
"Kita mulai dari awal ya." Rindra memberi instruksi. "Taruh bidak di tempat memulai permainan. Lalu saya dan Toni main batu gunting kertas, yang kalah ajak Naura main batu gunting kertas. Terus siapa yang kalah di gelombang kedua, maka dia belakangan mengocok dadu. Nanti yang menang di gelombang pertama, dia memulai permainan."
Naura mengangguk, menunjukkan pemahamannya. Toni tampak sangat antusias, dengan tubuhnya yang bergerak naik dan turun sambil mengacungkan kedua tangannya.
"Batu, gunting, kertas!" seru Rindra dan langsung mengeluarkan kertas. Toni mengeluarkan gunting.
"Yeey! Ayah kalah!" Toni bersorak dan tak ragu menunjuk Rindra dengan jari telunjuk mungilnya.
"Berarti main batu gunting kertas dengan tante Naura." Toni mengatakan aturan permainan yang untungnya dia cepat tahu. Kemudian ayahnya menggeser sedikit posisi ke sebelah kiri lalu membuat tatapan dengan Naura.
"Batu, gunting, kertas!" Rindra berseru lalu mengeluarkan kertas, sama seperti sebelumnya.
Naura mengeluarkan batu. Secara otomatis Naura kalah dan dia yang belakangan mengocok dadu.
"Yes!" seru Rindra lalu mengangkat kedua tangannya, tahu dirinya menang dalam permainan awal. "Jadi Toni duluan yang kocok dadunya, habis itu ayah, lalu setelahnya tante Naura."
Toni mengangguk kemudian mengambil dadu pemberian ayahnya. Satu tangannya mengocok dadu lalu melemparnya pada kertas tebal bergambar permainan ular tangga.
"Tiga dadu. Ayo jalan," pinta Rindra memegangi kedua lengan putranya. Seperti memberikan semangat pada Toni.
Tangan mungil Toni bergerak menjalankan bidaknya hingga tiga langkah.
"Masih belum apa-apa," komentar Rindra mengetahui bidak milik Toni belum menunjukkan apa pun. "Giliran ayah."
Rindra mengambil dadu yang dilempar Toni barusan lalu mengocoknya menggunakan tangan sebelah kanan. Dengan semangat dia melemparkannya seraya membuat tatapan intens. Penasaran berapa mata dadu yang dia dapatkan.
"Enam dadu." Rindra mulai menjalankan bidak kecil warna biru miliknya dan matanya mendadak terbelalak ketika bidaknya terhenti di ujung tangga. Yang membuatnya harus naik hingga ke atas.
"Loh, ayah menang? Yeeey!!!"
Toni langsung memeluk erat ayahnya dari samping, padahal anak itu terus-terusan meledek Rindra atas kekalahan yang diterima.
Melihat pandangan indah itu langsung disambut senyuman ringan dari Naura. Tidak jarang melihat ayah dan anak saling memberikan kasih sayang. Bahkan lebih erat.
"Nau. Giliran kamu." Rindra bersuara memecah lamunan Naura sejenak.
Rindra menyodorkan dadu kecil pada Naura lalu meminta Naura untuk mengocok dadu.
"Ayo tante Naura!" seru Toni memberikan semangat.
Naura langsung melempar dadu yang dia kocok barusan. Hasilnya, Naura mendapat dua dadu.
Bidaknya mulai berjalan dua langkah. Kemudian dadu tadi diraih Toni untuk mendapat giliran mengocok dadu.
Setelah bidak milik Toni berjalan, barulah giliran Rindra untuk mengocok dadu. Begitu seterusnya hingga mereka bersorak lebih kencang ketika Rindra nyaris berada di puncak. Beruntung, Rindra terus mendapatkan tangga selama permainan berlangsung.
Tawa riang menghiasi hening saat Toni menggerakkan bidaknya. Rindra begitu antusias melihat Toni yang mana bidaknya cepat mengikuti bidak miliknya untuk memenangkan permainan.
Baik Rindra, Naura, maupun Toni, larut dalam permainan hingga tidak memperhatikan waktu. Paling tidak selama dua jam mereka memainkannya, begitu ada satu orang menang, mereka memulainya dari awal dan seterusnya.
Toni pun mulai menguap seraya mengucek kedua mata. Tanpa disadari Rindra, tiba-tiba Toni menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang.
"Lelah sekali anak ayah," kata Rindra sambil memperbaiki kaos merah Toni yang sempat kusut karena ulahnya yang sering memberikan pelukan. Kini Toni benar-benar terlelap.
Kemudian semua bidak dan dadu dimasukkan ke dalam kotak persegi panjang lalu melipat kertas tebal bergambar permainan ular tangga dan menaruhnya di atas hamburan bidak serta dadu cadangan. Barulah Rindra menutupnya dengan penutup kotak dan meminta Naura menaruh alat tersebut ke meja belajar Toni.
"Setelah ini kamu mau pulang?" tanya Rindra saat membentangkan bed cover untuk menutupi tubuh mungil putranya.
"Saya rencananya mau pulang naik ojol. Lagipula jaraknya nggak jauh-jauh banget dari rumah Bapak." Naura menjawab cepat.
"Malam-malam begini? Di jam 11 malam?" Nada bicara Rindra naik satu oktaf, yang membuat Naura mengerut kening ketika berdiri di ambang pintu kamar Toni, niat untuk pamit.
"Loh, memang kenapa, pak? Saya juga seringnya pulang jam segini, waktu kerja di U-tion."
"Wanita muda sepertimu rentan mendapatkan kejahatan di luar sana. Kita nggak tahu bagaimana orang-orang jahat memperlakukanmu," kata Rindra dengan tegas sambil mengayunkan kakinya mendekat pada Naura.
"Lebih baik ikut saya. Saya akan antar kamu sampai ke rumah," ucapnya seakan tak ingin dibantah oleh Naura. "Jangan membangkang."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top