Bab 36

***

Naura menemui papanya di sebuah kafe pilihannya. Saat itu dia tengah terburu-buru sebab dia sangat ingin mendapatkan saran terbaik dari sang papa.

Begitu memasuki kafe, interior sekitar memanjakan mata Naura. Meja-meja kayu milik para pelanggan yang duduk di tempat tersebut dipenuhi makanan yang menggoda mata. Naura sempat mencium aroma croffle serta croissant yang mengundang. Serta tak lupa aroma kopi segar memenuhi udara.

Tentu Naura tidak memfokuskan hal itu semua, melainkan dia ingin memenuhi janji temu dengan Hendra. Dia menemukan papanya tengah duduk di meja bulat sebelah kanan, menikmati secangkir kopi latte kemudian menggigit satu buah kuki yang dia yakini sebagai makanan selamat datang sebelum nantinya beralih ke makanan berat.

"Pa." Naura memanggil pelan seraya kakinya berayun menuju tempat papanya.

"Coba kamu perlihatkan foto yang sempat mamamu ambil, sepertinya mamamu bukan main-main memata-matai kamu." Hendra langsung to the point tanpa basa-basi di awal pembicaraan.

"Tunggu, pa." Naura melepaskan tote bag yang menggantung di lengan kemudian merogoh ponsel yang sengaja ditaruhnya di dalam tas tersebut. Lalu mengusap beberapa kali layar benda pipih tersebut hingga menemukan foto-foto kiriman mamanya beberapa hari lalu.

"Sangat jelas dari foto ini, Naura sedang berjalan masuk dalam kafe. Coba lihat, pa." Gadis itu mulai menyodorkan ponsel dan papanya mulai memasang kacamata agar bisa memandang secara jelas.

"Mamamu benar-benar mencurigai kamu," tebak Hendra sambil terus mengusap layar ponsel milik putrinya. "Jernih sekali dipotretnya. Papa juga tidak menyangka mamamu bisa bermain jauh seperti itu."

"Iya kan, pa? Naura pun tak menyangka mama bakal berbuat hal nekat. Naura menduga, mama arisan di kafe itu, dan tak sengaja melihat Naura yang masuk dalam kafe."

Hal selanjutnya yang dilakukan Naura adalah menunduk, menuruni pandangannya seolah mengkhawatirkan hal yang akan terjadi. "Jujur, pa. Naura takut kalau saja mama tahu Naura bertemu dengan papa. Mama akan marah besar dan ..."

Naura menggigit bibir bawahnya. Entah apa lagi yang harus dia bicarakan pada papanya sebagai penolong agar dirinya dapat diberi kekuatan menghadapi mamanya.

"Pesan makanan dulu." Hendra memerintah kala pelayan datang dengan membawakan buku menu di meja. "Papa tahu kamu pasti kelaparan lagi setelah makan siang dan ikut UTS barusan. Pikiranmu terpakai untuk menjawab soal-soal."

Naura memegang buku menu, untungnya dia diberi kesempatan berpikir jernih. Dibukanya berlembar-lembar seraya menunjuk beberapa makanan dan minuman yang menurutnya menggugah selera.

"Nasi goreng nanas satu." Naura menyebutkan pesanannya, lalu dia membuka satu lembar berisi menu minuman. "Jus buah naga satu. Sama satu cola. Es batu dipisah."

"Baik, segera kami buatkan pesanannya."

Pelayan laki-laki tinggi itu mengambil buku menu yang diberikan Naura, kemudian berbalik meninggalkan meja Naura dan Hendra.

"Apa yang harus Naura lakukan sekarang, pa?" tanya Naura cemas, kembali pada pembahasan. "Naura takut."

Hendra tahu. Seberaninya Naura terhadap Yulianti, putri sambungnya itu tetap memiliki rasa takut sebagai seorang anak. Tentu yang bisa dilakukannya hanyalah menepuk punggung tangan Naura dan memberikan kekuatan.

"Kita bertemu di kafe ini untuk mencari jalan keluar," celetuk Hendra seraya melepas pelan tangannya dari Naura. "Wajar bila kamu punya rasa takut terhadap Yulianti. Tapi, kita tidak bisa terus-terusan diam di satu tempat sementara Yulianti makin melancarkan kecerdikannya. Kita harus punya satu cara, bagaimana agar Yulianti sadari perbuatannya?"

"Papa tahu, mama itu orangnya keras kepala. Seberapa keras kita membujuk mama, tetap saja mama berada dalam tujuannya. Yaitu menghancurkan papa dan mementingkan egonya." Ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut Naura menunjukkan ketidakyakinan terhadap situasi ke depan. Percuma berpikir jernih namun tidak menunjukkan hasil signifikan.

"Papa nggak mau kamu menjadi korban keegoisan mama kamu," tegas Hendra. "Lihat saja sekarang, kamu masih dipaksa bekerja dan penghasilan kamu diambil begitu saja oleh mama kamu dan lebih mementingkan arisan dan baju-baju keren. Papa enggan lihat kamu tersiksa di atas kekangan Yulianti."

Naura akui sudah lebih beberapa bulan dia merasakan hal itu. Meskipun dia masih memiliki uang di rekening tambahan, tetap mendengar lengkingan dari mamanya setiap hari membuatnya tertekan. Menceritakan semua keluhannya pada sang papa menjadi jalan terbaik. Lihatlah kekhawatiran yang terpatri di wajah pria berkerut itu. Bahkan dari balik kacamata bulat Hendra, tersirat kesedihan yang sangat jelas di kedua mata.

"Mengingat mamamu yang sudah kelewatan, papa jadi nggak tahan ingin membawa kamu ke tempat tinggal papa dan membuat kamu tetap di sana. Papa nggak peduli Yulianti protes kepada papa," gerutu Hendra sambil menyesap kopi latte miliknya untuk meluruhkan kepala.

"Naura juga berharap begitu sih, pa. Hanya saja ... gimana dengan Pak Rindra?"

Kekhawatiran selanjutnya yang mungkin akan terus terngiang-ngiang di kepala Naura. Secara Rindra juga bagian dari keluarga Hendra, meski tahu terkadang Naura berjaga jarak dari dosen itu.

"Apa hubungannya dengan Rindra? Dia juga tidak mengurusi masalah kamu," kata Hendra seakan tak mau mengambil pusing dengan ketakutan putrinya.

"Yah Naura kan masih kerja sama Pak Rindra. Sebagai pengasuh. Bahkan beliau juga memberi Naura gaji. Naura bakal ke rumahnya dan mengerjakan beberapa pekerjaan yang diberikan."

"Papa tahu dia adalah kakak ipar kamu. Jika saja Rindra mau ikut bantu menyelesaikan masalah yang kamu alami, papa tidak melarang. Rindra pasti tahu apa yang terbaik buat kamu."

Naura hanya diam tanpa menjawab. Begitu minumannya datang, dia enggan menanggapi. Langsung membuka sedotan yang terbungkus kertas lalu menikmati jus buah naga tersebut dengan tenang.

"Apa karena kamu khawatir sama perjodohan yang papa buat?" tambah Hendra menebak. "Jangan pikirkan hal itu sekarang, nak. Rindra juga tidak akan mungkin marah sama kamu, apalagi belakangan ini dia sering cari-cari kamu. Waktu papa ke rumah Rindra mengantar Toni, Rindra tanyain tuh tentang kamu yang datang terlambat."

Sejenak pikiran Naura buntu. Apa benar Rindra menanyakan keberadaan dirinya sebelum datang ke rumahnya untuk mengasuh Toni? Bahkan sebelum dirinya dikasih bocoran soal oleh Rindra, dia sama sekali tidak membaca isi kepala dosennya. Pernyataan papanya tidak main-main, setiap kali Hendra berucap maka keseriusan yang dia simpulkan. Hendra mustahil berbohong.

"Wajar dong, pa. Pak Rindra nanyain karena Naura sempat kejebak macet," ujarnya meralat. "Tapi untungnya Naura bisa ngabarin secara cepat pada beliau. Nggak mungkin Naura kelewat jam kerja sekalipun. Belajar dari saat Naura kerja di U-tion."

"Oh iya. Kamu sempat dimarahi Rindra lagi sampai Rindra memohon-mohon sama kamu untuk memaafkan dia?" tanya Hendra kembali menuangkan rasa penasarannya.

"Siapa yang bilang begitu?" Naura tanya balik. "Pak Rindra?"

"Beberapa hari lalu, Rindra sama papa ngopi di meja makan setelah kamu pulang ke rumah." Hendra menuturkan penggalan cerita awal, kemudian menyesap sebentar kopi latte yang mulai mendingin. "Rindra cerita kalau dirinya keterlaluan sama kamu. Bersikap dingin selama hampir semingguan, terus galak sekali-kali pada kamu. Dia bilang dia nggak mau membuat nangis anak orang lain. Dia sadar dirinya keterlaluan, apalagi mengetahui kamu adalah adik sambung Aurel."

Naura termangu, mencerna kata-kata papanya. Pantas saja pagi tadi Rindra meminta maaf secara spontan. Setelah sebelumnya dia mendapatkan perlakuan dingin dari Rindra bahkan kala itu sangatlah intens hingga membuat dirinya nyaris menangis.

"Bagaimana Pak Rindra bisa selabil itu, ya, pa?" tanya Naura seakan menganggap hal tersebut omong kosong baginya. "Kalau Pak Rindra mau sikap dingin sama Naura, silakan saja. Cuma karena papa mau menjodohkan beliau dengan Naura."

"Wajar Rindra marah di awal, begitu mengetahuinya," ujar Hendra lembut. "Mengungkit hal tersebut justru buat papa ingat tentang papa yang menangkap kamu berada di rumah Rindra. Waktu itu, papa pikir kamu menguntit papa dan mendesak meminta uang pada papa. Walaupun pada akhirnya, papa jadi luluh kan saat menceritakan kejujuran kamu?

"Papa yang marah akan cepat bersikap baik pada kamu. Gimana dengan Rindra?"

"Terus, apa yang menyebabkan Pak Rindra merasa demikian?" tanya Naura seolah mengabaikan ucapan Hendra barusan. Dia lebih mementingkan rasa penasarannya.

"Selain karena papa, buku diary yang sempat papa kasih ke kamu, papa berikan lebih dulu ke Rindra," jawab Hendra tanpa ragu-ragu. "Tulisan Aurel yang papa duga waktu dibawa ke rumah sakit saat keadaan Aurel melemah. Di situ papa juga menyadari diary tersebut. Aurel menulisnya dengan sepenuh hati. Papa pun baru tahu hal itu setelah menemukan buku diary-nya. Lalu, karena ketakutan papa kalau Rindra bakal berpindah ke lain hati, jadi papa melakukan itu. Menjodohkan kalian berdua."

Kini Naura paham terhadap sikap labil Rindra. Toh Naura juga tidak berharap dirinya mendapat sikap baik dari Rindra, biarkan saja dosennya bersikap sesuka hati. Dia juga tidak berhak untuk itu.

"Apa Rindra sudah mulai ada rasa sama kamu?" Hendra bertanya iseng. "Mengingat dirinya yang merasa tidak enak dan menceritakan semua keluhannya pada papa."

"Pa!" Naura berseru, tidak menerima anggapan papanya. "Bukan berarti Pak Rindra secepat itu menaruh perasaannya pada Naura. Butuh proses panjang agar melupakan orang yang beliau cintai, seperti Kak Aurel."

Hendra berdecak sambil mengulum senyum ringan. "Mungkin ini cuma harapan papa semata. Papa minta maaf kalau papa nyimpulinnya seperti itu."

Naura memakluminya, apalagi kedekatan dirinya dengan anak Rindra sangat dekat. Bahkan kepada papanya.

Tidak ada lagi obrolan yang menghiasi, Naura memutuskan menyantap nasi goreng nanas yang sedari tadi mengepul di hadapan. Naura menyendok ke mulut dan mengunyah pelan. Sementara papanya menyimak sambil menopang dagu. Membuatnya salah tingkah ditatap Hendra bak orang tua yang menaruh kasih sayang lebih pada sang anak.

"Papa jangan menatapku seperti itu," peringat Naura sambil tertawa pelan. "Naura harus fokus makan, karena nanti Naura akan ke rumah Pak Rindra lagi untuk bekerja."

"Iya, makan saja. Papa nggak akan ganggu." Hendra mempersilakan, namun dia tak mengindahkan teguran Naura barusan dan terus memasang tatapan intens pada putri sambungnya.

Sementara itu, suara jepretan kamera menggema di dekat pintu masuk kafe, menciptakan getaran di udara yang seakan-akan membagi waktu. Kedua tangan yang berkilau itu merayap perlahan melalui sekat yang tipis, yang memisahkan dunia dine-in dengan tempat untuk membawa pulang hidangan lezat. Mereka memberikan ruang, ruang yang memungkinkan untuk bebas memfoto gadis dengan pria paruh baya yang tengah duduk berdua, tenggelam dalam hidangan mereka.

Puas dengan hasil yang didapatkan, seorang wanita berbalut blus merah muda meraih langkah keluar dari kafe itu. Untungnya, saat itu keadaan sekitarnya sepi, dan tindakannya yang tak terlihat oleh siapapun, layaknya bayangan yang lenyap. Wanita paruh baya dengan rambut bergelombang itu berdiri terpaku, menantikan datangnya wanita yang baru saja merekam momen tersebut.

"Jadi benar mereka itu anak saya dengan seorang pria tua kaya?" tanya wanita berbalut blus biru, suaranya tegas dan berat.

"Benar, jeng Yul. Si gadis rambut pendek itu adalah anak kamu, Naura." Wanita yang merupakan teman Yulianti mengkonfirmasi.

"Sial. Jadi dugaanku benar ya," gumam Yulianti, giginya gemeretak dalam keputusasaan yang mendalam, tangannya pun mengeras saat ia mengepalkannya. "Naura sungguh tidak mau mendengarkan apa kataku. Dan dia seenaknya bertemu dengan Hendra."

"Berarti pria tua kaya yang mengenakan jas rapi itu, mantan suami kamu ya, jeng?" tanya wanita di depan Yulianti, matanya penuh rasa penasaran.

"Sudah jelas. Mantan suami yang menyebalkan dan hanya lebih mengutamakan Naura dibandingkan dengan aku." Yulianti mengedikkan mata seolah-olah mencerminkan betapa kesal dirinya terhadap situasi yang baru saja dia lihat.

"Jadi gimana rencana selanjutnya, jeng?"

Yulianti terdiam sejenak, membiarkan pertanyaan temannya menggantung di udara. Lebih baik memikirkan hal-hal yang mungkin akan menyesali Hendra bahkan Naura. Apa yang perlu dia lakukan agar semuanya berhasil tanpa hambatan?

"Aku perlu memarahi anak itu dan bertanya kenapa dia sering menemui Hendra." Satu tangan Yulianti mulai terkepal serta sorot matanya membara, mencerminkan keputusasaan yang mendalam dan amarah yang siap meledak.

"Kalau perlu, aku akan 'mengurung' dia dan harus menjadi pengawasanku. Bisa-bisanya ya, harusnya dia itu kerja tapi malah cari perhatian sama Hendra." Yulianti menggelengkan kepala sembari bertekad pada keputusannya.

"Aku nggak akan biarkan Naura terus bertemu dengan Hendra. Aku nggak mau Hendra mengambil Naura dariku. Yakin dan percaya, pria tua bangka itu pasti menaruh perhatian pada Naura."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top