Bab 35


***

Setelah mengawasi empat kelas pada hari ini, Rindra akhirnya bisa tenang selama beberapa jam di ruangan dosen. Di sana tidak ada siapa-siapa, apalagi sore hari. Biasanya para dosen ada yang pulang lebih dulu karena jadwal mengajar mereka selesai atau masih ada di ruangan untuk memberikan ujian pada mahasiswa.

Selagi punya waktu luang, Rindra menyempatkan untuk melakukan panggilan video pada Yudha dan Indah. Rindra tahu papa dan mamanya sedang istirahat di apartemen tempat mereka tinggal. Apalagi mereka juga mahasiswa yang menimba ilmu magister.

"Hello, papa, mama." Rindra melambaikan tangan di depan layar ponsel, senyumannya sangat merekah ketika melihat wajah cerah kedua orang tuanya. "Bagaimana kabar kalian? Apa suhu di sana dingin atau ada perubahan cuaca di sana?"

"We're fine. Kami baik-baik saja di sini, nak." Yudha bersuara seraya memperbaiki kacamata bulat model D-Frame miliknya. Rindra jeli memandang papanya juga sibuk membenarkan rambut depan yang berantakan. "Bagaimana Toni? Dia baik-baik saja, kan?"

"Baik-baik saja, pa. Katanya dia rindu sama papa. Sama mama juga," kata Rindra sambil tertawa renyah.

"Wah, mama juga rindu sama anak kamu yang lucu itu," ujar Indah menggeserkan posisi duduknya agar terlihat di layar. "Kamu di kampus? Mama lihat tembok abu-abu itu. Biasanya kamu ada di ruang tamu atau di ruang kerja."

"Oh, di sini masih sore, ma." Rindra bahkan telat menyadari bahwa zona waktu tempat papa dan mamanya berbeda, di mana mereka sudah memasuki waktu malam. "Rindra ada ujian tengah semester di kampus, makanya ada empat jadwal yang harus Rindra awasi."

"Oow, ujian tengah semester." Yudha peka terhadap jawaban putranya. "Di kampus papa dan mama juga ada ujian tengah semester atau mid-term. Baru pekan depan mulainya. Papa sama mama belajar yang keras karena materinya susah-susah."

"Rindra yakin papa sama mama berhasil melalui ujiannya." Tak lupa Rindra mengacungkan kepalan tangan memberikan semangat pada mereka.

"Oh iya, Hendra gimana kabarnya? Dia baik-baik saja, kan?" Pria dengan garis rambut agak surut itu menanyakan besan pada putranya.

"Pastinya baik dong, pa. Papa Hendra menjalankan divisi pemasaran dengan baik dan menyukseskan goal perusahaan." Tak ragu Rindra mengungkap semua keberhasilan Hendra pada Yudha dan Indah. Wajar, mereka sangat akrab sebagai satu keluarga. Pun Hendra juga merasa seperti punya sahabat lama, seperti papa dan mama Rindra. Makanya keakraban mereka terjalin meski mereka kini pisah untuk menjalani pendidikan di luar negeri.

"Nak. Mama cuma mau ingatkan pada kamu. Jangan menikah dulu sama siapapun itu." Indah kembali menguasai layar ponsel kemudian memberikan wejangan pada putra kandungnya. "Jujur ya, mama nggak mau kalau harus jauh-jauhan dengan Hendra. Mama sudah anggap Hendra seperti sahabat mama di SMA. Hendra ini orangnya intelektual, cerdas, berwibawa. Apalagi menantu mama yang lemah lembut dan pintarnya melebihi papanya, Aurel Utami Putri. Ugh, keluarga otak encer semua."

Mengungkit Aurel sepertinya menjadi kebiasaan bahkan sejak dulu, apalagi terkadang Rindra menuliskan sesuatu di buku harian seolah menjadi jembatan komunikasi antara dirinya juga Aurel. Mendengar hal itu membuat Rindra membentuk lengkungan bibirnya, meskipun ringan.

"Mama mengerti kamu masih belum rela melepaskan Aurel begitu saja, tapi itu sudah menjadi takdirnya, nak. Kamu harus ikhlas."

"Iya, ma." Rindra melenggut membenarkan pertanyaan mamanya.

"Mama itu berbeda dari orang-orang pada umumnya. Jika biasanya mereka ingin anaknya berpindah ke lain hati, tapi papa sama mama justru melarang kamu untuk cari tambatan hati. Meskipun menyakitkan, hanya saja mama nggak ingin putus silaturahmi dengan Hendra."

Selagi mamanya berbicara panjang lebar di panggilan video, Rindra memasukkan lembaran jawaban yang telah dikerjakan mahasiswanya barusan ke dalam tas briefcase.

"Andai aja si Hendra itu punya anak perempuan lagi ..."

Mendengar celetukan mamanya lantas membuat Rindra tercekat. Apa mamanya perlu berharap istri pengganti Aurel adalah salah satu keluarga Hendra, terlebih mengharapkan Hendra memiliki putri kandung selain Aurel?

Rindra sepertinya tidak diberikan kesempatan untuk tenang dan berpikir. Mengingat pernyataan Naura tentang permintaan Aurel merupakan hal yang membebani kepalanya. Sungguh, sehari saja mereka terus membahas-bahas hal itu. Apalagi kini papa dan mamanya seolah mengharapkan dirinya mencari salah satu anggota keluarga Hendra terutama seorang wanita yang butuh tambatan hati. Mereka enggan dengan yang lain.

"Mama ini bicara omong kosong atau bagaimana, nih?" tanya Rindra kembali membuat interaksi pada papa dan mamanya di depan layar. "Ma, papa Hendra itu cuma punya satu anak cewek. Beliau tidak memiliki anak lagi selain Aurel."

Rindra mempertegas ucapannya di ujung kalimat itu. Tentu agar memberikan pengertian kepada mamanya.

"Yah, cuma harapan mama aja." Indah menanggapi seakan pasrah terhadap keinginannya.

"Jadi mama cuma boleh Rindra menikah dengan salah satu keluarganya papa Hendra, begitu?" Semua kalimat yang keluar dari mulut Rindra tidaklah serius melainkan percandaan agar tidak memperkeruh suasana.

"Kalau ada ya, nak. Kalau ada. Cuma sekarang nggak boleh tergesa-gesa. Tunggu mama sama papamu ini selesai pendidikan di luar negeri baru kamu boleh cari siapapun anggota keluarga Hendra yang masih lajang."

Rindra melenggut mantap mendengar permintaan mamanya. "Iya, ma. Bersabarlah untuk dua semester lagi. Habis itu kalau papa dan mama wisuda, Rindra, Toni, dan papa Hendra akan usahakan datang."

"Anak yang pintar," puji Yudha spontan menggeserkan posisi Indah. "Jangan lupa makan yang baik, istirahat yang cukup, jaga kesehatan. Sama jangan lupa jadilah ayah yang baik buat Toni dan menantu baik buat Hendra. Mengerti?"

"Mengerti, pa. Papa juga harus memperhatikan kesehatan, apalagi di sana cuacanya berubah-ubah. Kalau dingin, gunakan mantel. Usahakan nyalakan penghangat jika papa sama mama kedinginan. Sering-sering makan-makanan yang hangat atau minum teh."

"Iya, nak. Jarang-jarang loh kami diingatkan seperti ini oleh anak sendiri," kelakar Yudha lalu disambung tawa renyah dari mereka yang membuat Rindra juga ikut tertawa.

"Baiklah, pa, ma. Rindra sepertinya mau berangkat kantor. Sudah shift-nya Rindra soalnya." Sebelum menutup panggilan video, Rindra melambaikan tangan dan berucap pamit pada mereka.

Barulah setelah itu, papa dan mamanya memutuskan sambungan telepon lebih dulu. Kemudian Rindra segera mengangkat bokongnya dari kursi beserta tas briefcase miliknya menjauhi meja dosennya.

Keluar dari ruangan, Rindra kembali mengambil ponsel dari saku celananya untuk menelepon Hendra. Rencananya dia ingin menemui beliau setelah menyelesaikan pekerjaan tepat jam 7 malam.

Rindra mulai menempelkan ponsel ke telinga begitu sampai di parkiran. Tak lama si penerima telepon mengangkat dan langsung menyapa Hendra dengan semangat.

"Pa. Gimana Toni sama Kak Eka?" Rindra menanyakan kabar anaknya serta sekretaris papanya terlebih dulu.

Sembari lanjut masuk dalam mobil, Rindra menanggapi. "Mereka jadi pulang ke rumah? Iya nggak apa-apa pulang saja, ada makanan yang bisa dipanaskan kalau saja Kak Eka lapar."

Rindra memasang sabuk pengalaman lalu kembali Rindra bertanya. "Pa, apa boleh Rindra ke kantor papa jam 8 malam? Sekalian kita ngopi di kafe Silsilah di dekat Jagakarsa."

Lama menunggu respon dari Hendra, tiba-tiba wajah Rindra mengendur ketika dirinya menyalakan kendaraan roda empatnya.

"Papa ... ada kesibukan ya? Nggak apa-apa deh. Mungkin lain kali saja kita ngopi. Atau kalau papa mau pulang ke rumah juga nggak masalah. Rindra tunggu, sekalian papa beli makanan buat papa makan nanti. Iya, pa. Maaf kalau Rindra mengganggu."

Rindra langsung mematikan sambungan telepon kemudian kedua tangan mencengkram kemudi seraya membuang napas secara perlahan. Padahal banyak sekali yang ingin Rindra ceritakan pada Hendra, namun apalah daya bila dia tidak boleh memaksakan kehendak. Lagipula Hendra juga akan pulang ke rumahnya setelah kesibukan papa mertuanya selesai.

Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan, Rindra mulai memutar kemudinya dan mengarahkan mobilnya menuju palang keluar.

Sementara itu, Naura melangkah menuruni tangga depan gedung fakultas. Sembari mengeratkan tali totebag-nya pada bagian lengan, Naura menolehkan kepalanya ke sebelah kiri. Memandang mobil SUV Rindra yang mulai meninggalkan pelataran kampus.

"Tampaknya Pak Rindra sudah pergi," gumam Naura. "Saatnya aku menelepon papa."

Mengetahui semuanya telah aman, Naura cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku celananya kemudian mencari kontak papanya untuk dihubungi.

Beruntung kurang dari semenit, Naura langsung menempelkan ponsel ke telinga kanannya. Menunggu si penerima merespon.

"Halo, pa? Apa bisa ketemu di tempat yang Naura sudah tentukan?" tanyanya memastikan.

Tak lama kemudian, Naura menanggapi. "Oh, baiklah. Naura akan naik taksi ke sana. Pun Naura ada tempat yang harus Naura singgahi. Baik, pa."

Tahu dirinya tidak dijemput oleh sekretaris papanya, Naura pun langsung membuka aplikasi pemesanan taksi daring setelah barusan memutuskan telepon dengan Hendra.

"Semoga aja papa punya ide atau saran baik agar gue bisa mengelak foto-foto yang mama kirim ke gue," gumam Naura menaruh harapan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top