Bab 34

***

Naura seperti tidak punya semangat hidup. Terbukti dari jalannya yang sangat loyo. Bahkan saat menginjak lantai marmer teras gedung fakultas, pandangan Naura justru menurun ke bawah. Dia benar-benar belum bisa meresapi perubahan sikap Rindra padanya.

Mungkinkah karena permintaan Aurel yang mungkin tidak sengaja diketahui oleh Rindra? Dia tahu, Hendra pasti menginformasikan semuanya termasuk buku diary milik Aurel yang berada di rumah sang papa.

"Nau! Naura! Naura Aneisha, tunggu!"

Seseorang memanggil namanya begitu kencang kala Naura mulai memijak beberapa anak tangga menuju lantai dua. Jam 9 pagi, dia harus memenuhi tugas proyek sebagai penilaian mid-test untuk mata kuliah 'Proyek User Interface'.

Pria tinggi dengan suit vest warna biru tua begitu tergesa-gesa saat menemukan gadis yang dia cari-cari. Sementara Naura menuruni tangga kembali dan menatap Rindra yang mulai menghampirinya.

"Saya sadar, saya keterlaluan sama kamu. Apalagi bersikap ketus, yang bikin kamu sakit hati." Rindra memasang ekspresi serius, setiap kata-kata yang diucapkan mengandung kesungguhan yang berarti. "Saya minta maaf kalau saya menyinggung hati kamu atau membuat kamu merasa sungkan berada di sekitar saya. Maaf sekali lagi."

"Apa karena Bapak tahu tentang niat papa yang ingin menjodohkan kita?" tanya Naura menebak, suaranya terdengar rendah bahkan raut wajahnya pun kaku.

"Kamu ... gimana kamu bisa tahu?" Rindra mendadak kebingungan.

"Huft, Bapak kayak nggak paham aja. Papa tuh kasih tahu ke Naura kalau beliau ingin menjodohkan kita, dan Bapak tahu? Istri Bapak yang sakit-sakitan itu, rela digantikan posisinya sebagai seorang nyonya. Dan saya yang ditunjuk."

Tidak peduli apa nanti orang dengar dengan ucapannya, Naura tidak peduli. Yang penting dia ingin membuat Rindra tahu, agar semuanya jelas.

"Maksud kamu apa?" tanya Rindra benar-benar bingung.

"Buku diary pribadi punya Kak Aurel kebetulan ada pada papa," jawab Naura tanpa hambatan. "Dan saya membacanya karena papa yang suruh. Lihatlah, saya sebenarnya muak dijodohkan sama Bapak. Terus Bapak seolah-olah enteng memarahi saya cuma karena saya dianggap caper. Asal Bapak tahu ya, saya tuh nggak mau memenuhi permintaan Kak Aurel. Saya hanya mau mengejar impian saya, pak. Itu saja."

"Buku–buku diary?" Kembali dosen itu bertanya, hanya memastikan ucapan Naura barusan.

Kenapa papa nggak bilang soal buku diary padaku ya? Malahan papa cuma berkata-kata di meja makan sepekan lalu, tanpa mengungkit buku harian.

"Bapak coba tanyakan semuanya pada papa. Kita bicara lagi setelah kelas Bu Sherly."

Naura berbalik dengan dalih cepat-cepat menghindari sang dosen, namun Rindra spontan menahan lengannya dan membuatnya tak dapat menjauh dari pria tersebut.

"Saya belum selesai bicara. Jangan pergi dulu," kata Rindra penuh penekanan, seakan tidak terima Naura terus-terusan menghindarinya. "Baiklah, saya sudah tahu situasinya. Saya yakin kamu pasti sangat marah karena papa seakan menarik kita berdua di jalan yang rumit ini. Tapi perlahan saya sadar. Papa tuh bersikap begitu biar papa nggak mau posisinya sebagai seorang mertua tergantikan."

Naura menghembus napas kesal, lalu meminta Rindra melepaskan cengkraman tangan dari lengannya.

"Papa yang bilang sendiri ke saya," tegasnya sambil tetap menatap intens Naura. "Sebenarnya masih ada jalan lain agar papa nggak merasa khawatir. Saya tidak ingin menikah dengan siapapun, termasuk menggantikan Aurel di hati saya. Saya tidak mau seperti itu. Untuk sekarang, Aurel tetap berada pada bayang-bayang saya. Meski dia sudah lama meninggal."

Naura tak merespon, lebih memilih mengatur diri setelah sempat merasa kesal.

"Jangan memikirkan hal-hal yang membebani kamu." Rindra memberikan pesan. "Ingat, saya itu cuma marah karena terkejut atas niat papa terhadap kita."

Meski Rindra berusaha ingin kata-katanya dicerna oleh Naura, tetap gadis di hadapannya terdiam tanpa membuka mulut sama sekali.

"Hubungan kita hanya sebatas keluarga. Saya kakak ipar kamu, istri saya adalah kakak sambung kamu. Toni adalah keponakan kamu. Tidak ada yang dilebih-lebihkan," tegas Rindra.

"Iya, saya tahu. Saya tahu itu kok, pak." Naura membalas penuh penekanan, seolah memaksakan dirinya untuk paham. Tentu dia ingin cepat-cepat pergi dari hadapan pria itu sebelum sang kakak ipar berbicara omong kosong lagi di depannya.

"Saya telat ke kelasnya Bu Sherly, siapa tahu beliau menunggu saya di kelas." Naura memberitahu seraya mengecek jam di pergelangan tangan. Tanpa aba-aba, Naura langsung membalikkan tubuhnya kemudian membuat ketukan keras pada setiap anak tangga yang dinaiki.

Rindra terdiam memandangi punggung Naura yang perlahan menjauh. Sekilas dia menyadari perubahan sikap Naura. Terkadang mereka saling bertukar percandaan dan Naura-lah yang sering menghidupkan suasana. Namun kini, Naura benar-benar kaku. Tidak jauh berbeda dari Aurel, yang juga punya sifat kaku. Rindra malah curiga, apa mereka bukan saudara tiri melainkan saudara sedarah?

Katakan padaku. Kamu nangis karena apa? Kamu memikirkan apa sampai mengeluarkan air mata?

Naura yang gundah barusan justru teringat pada Aurel yang juga gundah kala itu. Bahkan teringat jelas di benaknya, dan jawaban yang didapatkan adalah elakan. Begitulah yang dipikirkan Rindra.

Masih banyak hal-hal misterius yang belum Rindra ketahui dari dua bersaudara itu. Termasuk alasan papanya menjodohkan Naura dengan dirinya. Apa mungkin itu benar-benar permintaan dari Aurel sebelum meninggal? Sesuai dari apa yang diungkapkan oleh Naura?

Jujur, di saat Aurel sedang dalam masa kritis, Rindra tidak berada di sampingnya dan menemaninya. Jadi wajar Rindra tidak tahu apa-apa.

***

Setelah pemeriksaan tugas 'Proyek User Interface' sebagai penilaian UTS selesai dilakukan, Naura cepat-cepat memasuki ruangan di lantai 3. Tentu ada Rindra yang sedang menunggu.

Untuk mata kuliah Multimedia Lanjutan, tidak mematok tugas pengganti seperti mata kuliah barusan. Mata kuliah yang diampu Rindra tetap ada beberapa soal yang harus dikerjakan para mahasiswa. Mengetahui hal itu justru membuat Naura santai, terlebih secara tidak sengaja dia mendapatkan bocoran soal yang dikirimkan oleh Rindra sendiri. Melepaskan kecanggungan atas sikap Rindra padanya, dia membuka soal tersebut barusan dan mendapati ketiga soal pertama adalah tugas pertama yang dikerjakan asal-asalan itu.

Singkirkan pemikiran yang acak dalam kepala, Naura memasuki ruangan 304 dan belum ada satupun mahasiswa kelas B yang datang. Hanya ada Rindra yang sedang membereskan kertas kosong sebagai lembar jawaban.

"Anak yang rajin," celetuk Rindra menyadari kedatangan Naura di ruang kelas. Tampaknya dia tidak peduli dengan ketegangan yang mereka ciptakan baru-baru ini. "Gimana belajarnya dengan soal yang saya kasih tadi? Apa masih ada yang belum kamu pahami?"

"Sudah saya pahami semuanya kok, pak." Naura bahkan menanggapi dengan senyuman kecil. Tentu di kampus, dia harus mengubah diri menjadi mahasiswa yang baik. Dia melupakan apa yang terjadi barusan, bahkan sempat bersikap cuek pada Rindra. Kali ini Naura mengambil kursi paling depan yang menjadi tempat duduk favoritnya.

"Kamu tuh sering banget duduk di depan. Kenapa nggak coba duduk di tengah, atau duduk di belakang? Saya hafal kamu sering ambil di sebelah kiri dan tidak pernah mengubah posisi." Rindra mengambil kesempatan mengobrol lebih banyak pada Naura, bahkan nada bicaranya terdengar bersemangat.

"Saya memang suka duduk di paling depan, apalagi bersejajar dengan meja dosen. Apalagi?" tutur Naura seadanya.

"Saya pikir anak sepertimu bakal bosan duduk di depan. Tapi nyatanya kamu konsisten terhadap apa yang kamu lakukan." Rindra berkomentar, kini mengalihkan atensinya menyortir lembaran soal yang nantinya akan dibagikan kepada beberapa mahasiswanya.

Naura kini tidak menanggapi lagi, dia hanya diam bahkan melamun di mejanya sendiri.

"Oh iya, Nau. Ngomong-ngomong soal tadi, saya mohon kamu nggak usah masukkan dalam hati," kata Rindra dengan lembut. "Sekali lagi saya keterlaluan karena terlalu marah terhadap sikap papa yang gegabah. Maafkan saya sekali lagi ya."

"Pak." Naura tiba-tiba menyela. "Mending Bapak nggak usah bahas yang itu lagi. Saya sudah bosan.

"Saya sudah maafkan Bapak kok, tapi saya mohon. Lebih baik kita fokus sebagai keluarga. Bapak sendiri yang bilang, Bapak adalah kakak ipar saya. Toni adalah keponakan saya."

"Baiklah kalau begitu. Mungkin saya masih merasa tidak enak karena saya memarahi kamu beberapa hari." Rindra melenggut spontan lalu menghembus napas seolah menyerah dengan rasa pasrah yang menggerogoti diri.

"Karena ini UTS, jadi saya minta kamu jangan nyontek." Ketegasan spontan merasuki diri Rindra, dan tak ragu menunjuk Naura dari jauh. "Tapi kayaknya mahasiswi sepertimu nggak akan mungkin untuk nyontek. Saya percaya sama kamu."

Naura tidak menjawab hanya anggukan pelan sebagai respon.

"Sekitar lima menit lagi kita akan mulai ujian." Rindra memberitahu setelah mengecek jam di pergelangan tangannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top