Bab 33

***

"Ayah. Di depan pintu ruang tamu ada kotak besar. Nggak tahu siapa yang taruh kotaknya."

Toni menarik-narik permukaan celana piyama bermotif milik Rindra di saat pria itu sedang menuangkan air minum untuk menyalurkan hidrasinya. Rindra menoleh begitu menaruh gelas di sekitar dapur.

"Kotak besar?" tanya Rindra penasaran. "Kotak apa, nak?"

Toni menggeleng pelan pertanda tidak mengetahui isinya. Anak kecil itu hanya menginformasikan apa yang dia lihat di depan rumahnya.

Segera, Rindra mengayunkan kaki cepat meninggalkan dapur kemudian melewati ruang tamu dan melihat kotak besar bentuk persegi panjang terbungkus plastik di dekat kursi warna cokelat.

"Kiriman papa dan mama?" tebak Rindra dalam hati. Tentu sepekan lalu dia mendapatkan kabar dari orang tuanya yang sedang di luar negeri kalau mereka akan mengirim cokelat serta bahan makanan lain untuk Rindra.

"Dari siapa, ayah?" Toni bertanya ikut berdiri di samping Rindra, sambil sesekali memandang kotak besar di depannya.

"Dari kakek Yudha dan nenek Indah," jawab Rindra menyebutkan dengan semangat nama papa dan mamanya di depan sang anak. "Kamu pasti belum ketemu ya sama kakek Yudha dan nenek Indah? Terakhir ketemunya waktu masih tiga tahun."

Sembari mengangkat paket dari luar negeri tersebut, Rindra lanjut bercerita kepada anaknya. Jangan lupakan Rindra yang berjalan mengitari ruang tamu lalu ke meja makan untuk menaruh paket tersebut.

"Pas masih bayi, kakek Yudha dan nenek Indah sering gendong-gendong kamu dan bilang kalau kamu lebih dominan mirip ayah," kata Rindra seakan membanggakan dirinya.

"Selain kakek Hendra, Toni belum ketemu sama kakek Yudha dan nenek Indah. Kebetulan, Toni pengen merasakan kasih sayang seorang nenek. Secara Toni hanya ketemunya sama kakek Hendra terus."

Rindra mengacak rambut Toni sebentar lalu menanggapi perkataan anaknya. "Nanti kalau kakek sama nenek ada waktu libur, mereka bakal ke sini dan ketemu sama Toni. Ayah yakin, mereka pasti sangat rindu cucunya."

"Kenapa kakek dan nenek pergi jauh, ayah? Sampai ada kotak besar di depan rumah?" Lagi dan lagi kepolosan Toni membuat Rindra tertawa sebentar.

"Kakek sama nenek itu sedang kuliah di luar negeri. Kakek sama nenek mau cari ilmu di sana, biar lebih pintar lagi."

Entah apa perkataannya kali ini masuk dalam benak Toni atau tidak, yang jelasnya Rindra telah menjawab rasa penasaran Toni terhadap papa dan mamanya.

"Wah, kakek dan nenek hebat ya." Toni memuji sambil menaruh wajahnya di sudut meja makan, masih memandang ayahnya membuka paket besar tersebut. "Isinya apa, ayah? Makanan?"

Rindra tidak menjawab melainkan mengeluarkan satu per satu isinya. Tentu ada makanan beku yang dikemas khusus sehingga tahan lama di perjalanan. Selain itu ada barang-barang perintilan khas luar negeri, juga buku tulis kosong ukuran A4 yang ditata paling bawah. Kemungkinan buku tulis tersebut untuk Toni sebab tahu Toni sedang bersekolah.

"Eh, ada tempat pensil juga." Rindra tak menyadari di sebelah kiri terbungkus satu buah tempat pensil bentuk mobil-mobilan serta satu set pensil warna. Tak lupa ada catatan kecil yang tertempel. Rindra mengambilnya terlebih dulu dan membacanya.

(Semua itu buat cucu papa dan mama yang kami sayang. Semoga Toni bisa pintar seperti ayahnya. I love our grandchild.)

Rindra perlahan membentuk senyuman di bibir saat membaca surat tersebut. Rasanya lama sekali dia tidak mengobrol panjang pada papa dan mamanya. Sebulan lalu dia hanya melakukan panggilan video, pun tidak cukup lima menit pembicaraan mereka selesai begitu saja karena mereka memiliki banyak tugas yang dikerjakan.

Rindra tak akan bisa membayangkan bila berandai dirinya juga harus pindah ke luar negeri dan ikut bersama kedua orang tuanya. Bagaimana sekolah Toni, bagaimana pekerjaannya yang lain, juga bagaimana tempat mengajarnya? Semua perlu dipertimbangkan. Beruntungnya Rindra bisa kuat menahan rindu, selain kepada Aurel. Dia perlahan-lahan melepaskan keegoisannya. Aurel tidak akan kembali, pun dia selalu mengingatkan pada dirinya bahwa Aurel sudah bahagia di atas sana. Tidak ada lagi membuat spekulasi yang konyol.

"Toni. Kamu harus mandi, siap-siap ke sekolah." Rindra memberikan perintah. Tentu dia menyadari terbangun di jam 5 pagi untuk melaksanakan ibadah subuh, lalu berada di dapur sebelum diberitahu anaknya tentang paket itu.

"Hari ini mau ke rumah tante Naura, kan? Ayah pasti jemput tante Naura, kan?" tanya Toni seakan memohon pada Rindra.

"Iya. Kita ke rumah tante Naura untuk menjemputnya," jawab Rindra sambil menyapu pelan kepala anaknya. "Tapi mandi dulu, ya. Selagi ayah buatkan bekal untuk kamu."

"Iya, ayah."

Toni segera berbalik namun spontan Rindra menahan tangan anaknya, seperti ada pembicaraan yang masih belum selesai.

"Cium ayah dulu dong."

Setelah berkata begitu, Rindra langsung membuat posisi dan membungkukkan tubuh lalu mencondongkan wajahnya untuk dicium pipinya oleh Toni.

Tanpa menanggapi, Toni mengayun pelan kakinya dan mendaratkan kecupan di sebelah kanan pipi ayahnya.

"Pinter." Rindra memberikan apresiasi berupa cubitan gemas ke pipi Toni yang sedikit gembul. "Mandi cepat, takut telat."

Toni benar-benar berbalik menjauhi dapur lalu memasuki kamar di sebelah kanan ruang tamu. Rindra kembali melangkah, fokus membuatkan bekal untuk Toni. Padahal dia sempat bersiap mengambil kotak bekal di lemari piring, tapi urung sebab Toni memanggil barusan.

Untuk paket kiriman orang tuanya masih belum dibereskan, dia harus memburu waktu agar tepat waktu mengantar Toni ke sekolah. Bekal lebih penting karena enggan membuat Toni jajan di luar yang nantinya membuat anaknya jadi sakit perut bila membeli sesuatu sembarangan.

Selagi mengeluarkan bahan-bahan di kulkas, ponselnya berdenting di meja makan. Ada satu pesan masuk. Entah siapa yang mengirim di aplikasi perpesanan di jam setengah enam pagi. Apakah dari mahasiswa yang meminta izin atau sekadar bertanya tentang tugas yang diberikan di grup perkuliahan?

Rindra berhasil membuka ponsel kurang dari semenit, setelah menyisihkan beberapa bahan di dapur. Saat dicek ternyata dari Naura.

(Pak. Hari ini nggak usah jemput saya. Takutnya saya merepotkan Bapak, saya naik ojol aja. Pun saya harus ke minimarket dulu untuk belajar-belajar sedikit karena hari ini jadwalnya UTS di matkul Bapak.)

Ada apa gerangan dengan Naura? Kenapa dia seolah menghindar darinya?

Tunggu, Rindra perlahan menyadari sesuatu. Sepakan lalu semenjak Hendra mengatakan niat ingin menjodohkan Rindra dengan Naura, pria tersebut jadi bersikap ketus pada Naura. Malahan dia melakukan aktivitas antar Naura juga hanya sekadar pekerjaan. Mungkinkah Rindra terlalu berlebihan memperlihatkan sikap dinginnya sehingga Naura terkesan menjauh dari jangkauannya?

"Apa Naura bilang begini karena aku sempat keterlaluan hanya karena papa membahas perjodohan aku dengan Naura?" gumam Rindra tanpa mengalihkan atensinya sama sekali dari layar ponsel.

*

"Tumbenan Bapak mukanya masam begitu. Apa terjadi sesuatu?" tanya Naura begitu memasuki mobil. Tidak seperti biasanya Rindra memasang wajah jutek, biasanya antara datar atau bahkan melengkung senyum. Tapi kini bibir dosennya itu menurun ke bawah, seolah-olah menunjukkan sikap jengkel.

Naura memasang sabuk pengaman lalu mobil tersebut melaju meninggalkan rumah berlantai dua miliknya. Sepanjang perjalanan, Naura memandang Rindra yang fokus menyalip kendaraan di depan. Bahkan dosennya tersebut menjadi pembalap dadakan karena kecepatan mobil yang ditumpanginya perlahan naik dan menyebabkan kendaraan roda empat itu melaju cepat.

"Ngapain kamu ngelihatin saya kayak begitu? Ada sesuatu di wajah saya?" tanya Rindra bersikap ketus pada Naura.

Gadis tersebut terperanjat lalu mengatur napasnya, seakan-akan ingin menghilangkan efek terkejutnya ketika digertak oleh dosennya.

"Bapak kenapa jadi marahin saya? Malah saya heran loh, Bapak jadi berubah sikap begini."

"Jangan banyak bicara. Saya lagi banyak pikiran, jangan buat amarah saya jadi meledak-ledak gara-gara kamu," peringat Rindra sambil menghembus napas kasar.

*

Bukan hanya di saat itu saja Rindra bersikap ketus pada Naura. Ketika gadis itu ada di rumahnya dan menjalani pekerjaannya, Naura bahkan tak sengaja melempar tatapan pada dirinya yang sedang mengambil air minum dan membuatnya jadi memarahi Naura lagi.

Apa karena efek kesal terhadap papa mertuanya yang berniat mempersatukan dirinya dengan Naura, sehingga melampiaskan amarah pada Naura?

Rindra memang merasa dirinya keterlaluan. Apalagi, dia sempat menceritakan keluhannya terhadap sikap dinginnya kepada Hendra. Namun dia tidak tahu bahwa dengan sikapnya seperti itu dapat membuat Naura menjauh darinya.

"Apa aku minta maaf aja ke Naura pas ke kampus nanti?" tanya Rindra memberikan usulan pada dirinya sendiri. "Secara aku merasa nggak enak hati padanya, bahkan dari awal-awal aku memarahi Naura."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top