Bab 32

***

"Ngapain Rindra punya perasaan pada Naura? Lha wong Rindra juga nggak suka sama dia," sergahnya ketika mendengar pertanyaan Hendra barusan terkait dirinya menyukai Naura.

"Perasaan seseorang bisa saja berubah kan, nak? Siapa tahu saja kamu sungguh suka dengan anak itu?"

Rindra mengibaskan tangan cepat seolah tidak menerima ucapan papa mertuanya. "Rindra nggak setuju papa bilang begitu. Terus cincin yang harusnya punya Aurel, jadinya bakal dipakai di jari manisnya Naura gitu?"

"Boleh kamu benci Naura sekarang, tapi suatu saat kamu bakal peduli padanya dan mengasihi dia sama seperti kamu mengasihi Aurel waktu pertama kali pendekatan dengannya."

Rindra memukul keningnya berulang kali, berusaha menyingkirkan pikiran yang mengganggunya sepanjang hari. Bisa-bisanya Hendra dengan entengnya mengatakan hal itu secara terang-terangan, padahal Rindra sama sekali tidak punya perasaan pada Naura. Padahal Naura adalah anak baru kemarin yang tiba-tiba datang ke kehidupannya dan bekerja sebagai pengasuh. Jangan lupakan pula Naura yang mendadak menemukan papa sambungnya dan berani mendekati Hendra seakan-akan Naura tak boleh melewatkan kesempatan.

Tentang perasaan, Rindra menutup hatinya pada siapapun termasuk Naura. Meski Naura nantinya bakal memiliki perasaan padanya, dia tetap tidak peduli. Rindra masih punya ruang cukup banyak untuk Aurel. Semua kenangan tentang Aurel tersimpan rapi dalam hati serta benaknya.

Rindra ingat sisa percakapannya dengan Hendra pagi barusan, lagi-lagi Hendra mengungkit tentang Aurel yang memiliki permintaan tentang menjodohkan Naura dengan Rindra jika saja Aurel tak sanggup melawan penyakit yang diderita.

"Papa jamin, Naura itu anak yang baik. Dia tidak pernah berbuat hal buruk." Hendra seperti memberikan kepercayaan tentang Naura dan terus membicarakan kebaikan sang putri di hadapan Rindra. Meskipun Rindra seakan eneg mendengar Naura terus menerus melalui mulut papanya.

"Papa nanti saja bicarakan Naura. Rindra harus siap-siap ke kampus." Rindra mulai berdiri dari kursinya dan berbalik dari meja makan menuju tangga untuk menaiki kamar.

Rindra memilih menghindar sebab belum bisa bicara banyak tentang keputusan mendadak mertuanya. Tentang perjodohan, dia tak bisa menerima. Rindra sekali lagi menegaskan bahwa dia enggan membuka hatinya kepada siapapun termasuk Naura. Mana mungkin Rindra menyukai gadis yang terpaut jauh dari usianya.

Sudahlah, lebih baik menunggu makanannya datang mengantar ke kampus sebab nantinya akan digunakan untuk makan malam. Dia harus bergegas menuju kantor untuk menyelesaikan pekerjaan.

***

"Pa. Naura udah baca semua yang papa kasih. Kak Aurel itu mikirin apa sih sampai dia mau jodohin Naura dengan Pak Rindra?" tanya Naura dengan ketus, lalu menenangkan dirinya dengan sekelumit jus jeruk melalui sedotan.

Naura dan Hendra berada di restoran semi kafe, dengan sajian makanan berat menghiasi meja mereka. Tentu saja Naura diajak Hendra untuk makan malam, tadinya Naura ingin pulang ke rumah namun urung karena ajakan sang papa.

Namun alih-alih menenangkan situasi, Naura justru gundah dan menanyakan hal barusan saat selesai membaca diary milik Aurel.

"Naura nggak tahu jalan pikirannya Kak Aurel," keluh Naura melanjutkan ucapan. "Bagaimana bisa Kak Aurel yang berada di ambang kematiannya, seenak jidat menyuruh adik sambungnya sendiri menyerahkan suaminya pada Naura? Lagipula Naura dan Kak Aurel belum pernah ketemu sama sekali semenjak papa pisah dari mama. Apa yang menguatkan kepercayaan Kak Aurel kalau Naura ini dipercaya jadi istri pengganti Kak Rindra?"

"Sebenarnya papa juga heran dengan sikap Aurel. Dia belum bertemu dengan kamu, tapi seolah-olah menyimpulkan kalau kamu layak jadi istrinya Rindra."

Setelah berucap hal itu, Hendra tiba-tiba meraih kedua tangan Naura dan sedikit menggoyangkannya. "Meskipun begitu, kamu tetaplah yang paling diingat Aurel bahkan di masa sakitnya. Papa jadi tambah bangga sama kamu."

Reaksi Naura hanyalah senyuman ringan sambil menurunkan pandangannya pada makanan yang belum disentuhnya sejak awal disajikan oleh pelayan.

"Tetap saja, Naura nggak mau ya kalau disuruh menikahi Kak Rindra secara dadakan. Naura mau jadi anak kuliahan dulu dan lulus secara cumlaude dan mencari kerja." Ucapan demi ucapan yang dilontarkan hanya sebagai ungkapan semata bahwa Naura tetap memiliki ambisi untuk mengejar pendidikan dibanding lainnya.

Balasan Hendra yaitu terkekeh panjang bahkan sesekali terbahak-bahak mendengar Naura dan tekadnya terhadap pendidikan yang sedang diemban.

"Mana mungkin papa suruh kamu nikah sama Rindra di saat kamu sedang kuliah?" kelakar Hendra.

"Tapi bagaimanapun juga ... itu permintaan Kak Aurel. Kak Aurel bakal tenang di sana kalau permintaan yang satu itu dipenuhi."

"Nak." Hendra kembali meraih tangan Naura namun hanya di sebelah kanan. "Meski sekarang kamu belum memenuhi permintaan itu, tapi setidaknya kan kamu punya keluarga. Ada papa, ada Rindra, ada Toni. Menurut kamu itu belum cukup? Ada Eka juga. Mereka semua adalah keluarga kamu."

Naura akui dia sudah mendapatkan keluarganya, namun hal itu kurang karena masih banyak yang belum dia ketahui tentang Aurel dan papanya. Naura tak bisa berucap puas hanya melalui satu surat dan satu buku diary. Apa perlu dia mengulik semuanya pada Hendra? Tentu saja tak ada lagi kecanggungan di antara dirinya juga papa sambungnya.

"Makan, makan. Nanti ikan goreng tepungnya dingin lagi kalau nggak kamu sentuh," pinta Hendra sambil menyuruh Naura untuk cepat menyantap hidangan dengan kentang goreng dan saus tartar itu.

Naura memilih diam dan tidak bergelut dengan pikirannya. Mungkin dengan fokus ke masa depan dan enggan memikirkan masa lalu sudah cukup baginya, daripada membayangkan permintaan wanti-wanti dari mendiang kakak sambungnya.

Naura bisa saja mengubah perasaannya menjadi menyukai Rindra, namun itu terlalu dini. Memang secara tidak sadar dia memuji Rindra saat bermain bulu tangkis dengan papanya. Juga memuji fisik menarik Rindra ketika menuruni anak tangga dari lantai lima sampai lantai bawah. Tetapi melakukan semua itu bukanlah semata-mata atas rasa suka, hanya mengagumi dosennya dan tidak lebih.

Sekali lagi Naura tak ingin memikirkan permintaan Aurel dan memilih merancang masa depan. Masalah perasaan terhadap Rindra, dia masih menunggu sampai semuanya jelas. Pun kalau tidak menyukai justru Naura bernapas lega. Berarti hati Naura berada pada yang lain bukanlah Rindra.

"Oh iya, gimana kabar mama kamu? Papa nggak pernah dengar kabarnya sama sekali."

Hendra bertanya seperti itu dalih ingin tahu lebih lanjut tentang Yulianti, setelah dua hari lalu dia membuat amarah Yulianti tersulut. Entah di masa depan Hendra bisa menghadapi Yulianti dengan kepala dingin lagi atau justru hal-hal lain.

"Baik. Dia masih saja ikut arisan. Bahkan pagi tadi, dia buru-buru bahkan tidak pamit pada Naura." Ia menanggapi biasa, seolah-olah pertanyan papanya tadi tidak membuatnya antusias.

"Kapan mama kamu berubah ya?" tanya Hendra penasaran, atensinya beralih pada makanan yang sedang disantapnya. "Papa tuh capek meladeni sifat buruk mama kamu, kalau saja pikirannya terbuka bahkan sedikit pun, papa yakin kita bisa bersatu seperti keluarga kita dulu. Rindra juga pasti akan sangat senang punya keluarga banyak, apalagi sekarang semua keluarga besar Rindra ada di luar negeri. Rata-rata mereka pada lanjut pendidikan di sana, terutama papa mamanya."

"Yah, kita tunggu situasi. Naura juga berharap mama bisa berubah dan tidak memanfaatkan papa lagi untuk kepentingan pribadinya."

Benar, sekali lagi Naura mengingat ucapan papanya bahwa jangan gegabah menghadapi mamanya. Lebih baik menunggu situasi tepat agar dapat mengubah sikap mamanya. Memang belakangan ini dirinya juga sang mama tidak pernah berdebat dalam hal apa pun, kadang mamanya sering pergi tanpa pamit dan pulang pun larut malam. Bisa dikatakan mamanya berambisi untuk mencari uang meski melalui arisan sekalipun. Maklum mamanya punya relasi banyak meski di dunia maya.

"Masalah permintaan Aurel di buku diary itu, nggak usah dimasukkan dalam hati ya, nak." Hendra mengingatkan seraya menaruh sendok dan garpu miliknya di atas piring. "Intinya sekarang, kamu harus membuat mama kamu berubah. Biar tidak ada lagi masalah yang menimpa keluarga kita nantinya."

"Tunggu. Maksud papa barusan ... keluarga 'kita'?" tanya Naura memastikan. Tak lupa dia sempat mengucek kedua telinganya agar tidak salah dengar.

"Papa sudah menyinggung berulang kali, kalau kita akan bersatu sebagai keluarga. Mungkin yang lalu-lalu hanyalah sebuah harapan, tapi ke depannya kita benar-benar utuh lagi. Sama seperti saat papa resmi menjadi papa kamu ketika menikahi Yulianti."

Naura kini terdiam, menatap lekat papanya yang berucap serius. Bahkan sangat serius. Tinggal sejengkal lagi jaraknya menuju keluarga barunya, mungkin saja akan mempermudah sebab Hendra ikut andil dalam misi mengubah mamanya menjadi lebih baik. Tapi bagaimana dengan Rindra? Dia paham betul Rindra kembali menunjukkan rasa tidak sukanya. Apalagi kalau sampai Rindra tahu tentang niat Aurel di buku diary tersebut.

Meskipun demikian, Naura juga enggan menerima siapa saja yang mencoba masuk dalam relung hatinya. Lebih penting dari semua itu adalah kuliah. Terlebih dia juga memasuki semester akhir, dan lebih disibukkan dengan skripsi nantinya.

Naura kembali mengalihkan atensinya dan menyantap ikan goreng tepung yang masih tersisa di piring saji. Begitu Naura mengambil gelas berisi jus jeruk untuk diminum, tiba-tiba ponselnya bergetar dua kali di atas meja. Membuat Naura menunda menyesap minumannya dan meraih ponsel tersebut begitu cepat.

Matanya mendadak membesar saat membuka pesan tersebut. Napasnya tercekat, bahkan ketika ibu jarinya membuka sebuah foto yang dikirim oleh seseorang padanya.

(Nau. Mama lihat kamu menuruni mobil mewah lagi, terlebih kamu ada di kafe yang barusan mama kunjungi sebelum pulang. Kamu bersama siapa? Apa sama Hendra? Jangan hanya 'baca' pesan mama, jawab cepat!)

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top