Bab 31

***

Cincin perak pernikahannya dengan Aurel biasanya tertaut di jari manis Rindra. Namun setelah Aurel meninggal, cincin perak yang selalu dia pakai itu dilepasnya dan disimpan rapi dalam lemari. Bahkan tetap berada di dalam kotak.

Rindra mendadak ingat tentang cincin perak tersebut. Saat berbenah untuk berangkat ke kampus, Rindra membuka lemari cokelat dekat meja kerjanya kemudian mengambil kotak beludru ukuran kecil warna merah gelap dan membuka tutupnya. Cincin perak itu masih utuh dan tidak lecet, seolah tidak terjadi apa-apa. Rindra mengulum senyum saat melihat cincin tersebut, dia sangat memperjuangkan cincin itu kala melamar putri tunggal Hendra Budiman enam tahun lalu.

Pagi ini sangat berbeda karena Hendra ikut serta mengantar sang cucu berangkat sekolah. Baru juga Rindra bersiap setelah ibadah subuh, dia kedatangan dua tamu bahkan ketika matahari masih malu-malu memunculkan nampaknya.

Rindra bercermin kemudian menyemprotkan parfum di seluruh tubuh, termasuk di bagian leher. Suit vest warna biru tua serta kemeja polos warna biru muda terlihat matching digunakan di tubuhnya. Kemudian dia mulai memperbaiki rambut depan yang tampak berantakan, barulah kelihatan jidat sesuai ciri khasnya.

Setelah berbenah diri, Rindra langsung mengangkat tas briefcase miliknya di atas ranjang lalu menutup lemari. Sejenak dia terpaku, baru saja dua langkah menjauhi lemari, dia langsung mendekati wadah berdinding itu. Mengambil kotak beludru itu dan dimasukkan dalam tas. Entah apa niat Rindra kali ini membawa cincinnya. Apakah membangkitkan kenangan tentang Aurel lagi atau sekadar halusinasi seakan-akan Aurel ada di sampingnya?

"Papa sudah sarapan?" tanya Rindra begitu menuruni tangga. Di meja makan, ada Hendra serta Eka duduk bersampingan. Lalu di seberang ada Toni yang juga menyantap sarapannya.

"Sudah," jawab Hendra spontan seraya mengelap tisu ke mulut. "Nasi goreng buatanmu enak sekali. Handal masaknya pula, tidak keasinan dan lain-lain. Pasti Aurel banyak mengajarimu."

Rindra hanya mengulum senyum lalu menaruh tas briefcase-nya sebentar kemudian mengambil piring kosong di sisi meja untuk menyalin nasi goreng yang tersisa.

"Rindra improve dikit sesuai selera Toni dan papa. Biar papa juga suka," jelas Rindra lalu membawa piringnya dengan satu tangan, duduk di samping anaknya seraya mengelus rambut Toni gemas.

"Oh iya, Kak. Minta tolong bekalnya Toni yang sudah siap di dekat kompor, masukkan ke dalam tas kecil. Tasnya ada di sekitar tempat air minum." Rindra memerintah pada Eka yang kebetulan juga selesai meneguk air minum.

"Baik, siap." Eka langsung berdiri dari kursi dan menyiapkannya sesuai permintaan Rindra.

Sementara Toni ikut turun dari tempat duduknya dan mengikuti Eka sampai dapur. Piring Toni menunjukkan kekosongan, Rindra melihatnya sendiri.

"Pa." Rindra bersuara ketika sesendok nasi goreng lolos masuk mulutnya.

Seraya mengunyah pelan, Rindra berusaha mengobrol namun tidak terlalu banyak mengeluarkan kata-kata. "Cincin yang Rindra simpan di lemari, apa boleh saya kasih kembali ke papa?"

Hendra mendadak membelo saat mendengar niat menantunya. "Cincin pernikahan kamu? Buat apa kasih ke papa?"

"Rindra merasa ... cincin itu tidak boleh terus disimpan dalam lemari. Aurel juga sudah lama meninggal jadi rasanya percuma. Mau Rindra gunakan cincinnya malahan banyak yang tanya-tanya apa Rindra sudah menikah lagi atau gimana, secara orang-orang sudah tahu aku ditinggal Aurel." Rindra bicara panjang lebar tak mengalihkan atensinya pada makanan. Kedua tangannya tetap bergerak menyendok nasi goreng ke mulut.

"Kalau Rindra menikah lagi dengan seseorang, bagaimana dengan papa?" tambah Rindra seraya dilema dengan keputusannya. "Papa adalah mertua yang sudah Rindra anggap seperti papa kandung Rindra sendiri. Secara besan papa juga masih di luar negeri, melanjutkan studi S3-nya. Sementara Rindra masih harus mengabdi sebagai seorang dosen di kampus. Mustahil Rindra pindah, urusannya panjang. Toni juga sekolahnya bagaimana?"

Hendra terdiam. Dia menimbangkan keputusan Rindra. Mungkinkah Rindra merasa muak memikirkan Aurel terus menerus, sementara yang dia tahu Rindra tidak bisa melupakan Aurel meski putrinya sudah tiada?

"Ngomong-ngomong papa jangan salah paham tentang ucapan Rindra barusan." Pria itu berusaha memperbaiki selagi Hendra tidak berpikir macam-macam. "Rindra bukannya ingin melupakan Aurel selamanya. Rindra pengen Aurel tetap berada dalam benak, kalau bisa seterusnya dalam kepalaku. Pun ini dilakukan agar papa melindungi barang berharga itu. Anggap saja papa membawa Aurel kembali pada papa. Sementara Rindra tetap menyimpan kenangan Aurel rapat-rapat."

Tanpa lama-lama, Rindra meraih tas briefcase yang nyaris menjauhi jangkauannya. Lalu mengeluarkan kotak beludru kecil warna merah dan menyodorkannya kepada Hendra.

"Rindra anggap, saya mengantar Aurel kepada papa. Sebagai seorang ayah, pasti papa masih rindu dengan Aurel. Anggaplah cincin ini adalah Aurel." Tangan berurat Rindra menyeret kotak tersebut kepada Hendra di hadapannya.

Pandangan Hendra terpaku. Menimbang keputusan Rindra untuk menyimpan kembalii cincin yang pernah tertaut di jari manis menantunya kala Aurel masih hidup.

Sejenak Hendra memikirkan sesuatu. Yang rupanya adalah pikiran acak dari beliau. Hendra sempat mendengar andai-andai Rindra jika saja menantunya menikah dengan orang lain. Apa itu berarti posisinya sebagai orang tua pengganti untuk Rindra akan terancam? Hendra boleh saja melepas Rindra kalau memang itu menjadi kehendak Rindra. Tapi apa dari dalam diri, dia sungguh melupakan Aurel? Sepertinya Rindra tidak mudah berpindah ke lain hati, terlebih Rindra sangat menyayangi putri satu-satunya itu.

"Rindra," panggil Hendra dengan suara berat khasnya.

"Iya, pa?" Kepala Rindra mendongak, menatap intens mertuanya.

"Bagaimana jika seandainya ... kamu punya perasaan pada Naura? Apa kamu berencana akan membuat Naura menggantikan posisi Aurel di hati kamu?"

Spontan saja Rindra terperanjat. Pertanyaan dari Hendra sukses membuat matanya langsung membelo. Bahkan ketika menyesap air minum di gelas, dia nyaris tersedak.

"Rindra ... punya perasaan pada Naura?" tanyanya mengkonfirmasi.

***

Naura tertatih-tatih di sekitar gedung kampus. Dia menyelesaikan mata kuliah tambahan serta mata kuliah utama di jam empat sore. Tentu, dia merasakan keanehan pada hari yang dijalaninya kali ini.

Senin sampai Kamis rutin dijemput oleh Rindra, namun setelah itu tidak lagi karena Rindra punya kesibukan di kampus yang entah apa itu. Naura bahkan enggan mencari tahu.

Begitu menyudahi urusan di kampus, Naura berencana untuk langsung pulang ke rumah. Lagi-lagi dia merasa pusing karena Hendra–papanya– memberikan petunjuk. Petunjuk yang dimaksud adalah buku diary yang tak sengaja ditemukan papanya. Buku diary tersebut tentu punya Aurel, dan sebelum benar-benar ke kampus, Naura menyempatkan datang ke kantor sang papa karena Hendra sendiri yang memanggil.

Di situlah jiwa penasaran Naura menggebu-gebu. Mana tahu dia memiliki jawaban atas apa yang terjadi pada kakaknya setelah enam tahun terpisah.

Sambil mencari tempat duduk di koridor kampus, dia mengarahkan tas punggung miliknya ke depan dan membuka tas tersebut untuk mencari buku berukuran B5 tersebut.

Begitu menemukannya dan kebetulan mendapat tempat duduk, Naura pun membuka isinya. Benar, dari awal halaman hingga beberapa halaman yang dia buka, semua adalah curahan hati Aurel melalui tulisan.

Naura malas membaca panjang-panjang, dia melewatkan apa yang menurutnya tidak penting. Berulang kali membalikkan halaman, mendadak tangannya terhenti begitu melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

Perlahan Naura mulai membaca isi pertengahan buku. Dari kalimat pertama spontan membuat jantungnya berdegup cepat.

"Tunggu, tunggu. Apa– apa yang Kak Aurel tulis?" gumam Naura, pandangannya tak lepas dari tulisan tinta hitam yang tercoret rapi di buku itu.

(Mungkin ini bukan diary tapi harap saja Naura bisa melihat ini jika suatu saat kondisiku sudah tidak tertolong lagi. Kepada Naura, di manapun kamu. Tetaplah bahagia, bersama Rindra. Ini adalah permintaan Kakak yang harus kamu penuhi. Mungkin saja ... Kakak sudah tidak tahan terhadap rasa sakit yang Kakak derita ini. Walau kamu nggak akan terbiasa bertemu dengan pria asing seperti Rindra, tapi Kakak yakin. Kamu akan diperlakukan baik oleh RIndra, dia adalah suami yang baik. Menikah dengannya berarti kamu juga ikut menjaga papa.)

Naura buru-buru menutup buku tersebut sambil menyapu dadanya berulang kali. Naura bahkan tidak mengetahuinya, tidak disangka-sangka. Seorang Aurel, kakak yang dia sayangi, ternyata menjodohkan dirinya dengan sang dosen.

"Kenapa– kenapa kakak melakukan itu?" gumam Naura terkejut. "Pantas saja papa memberikannya kepadaku, ternyata ini permintaannya Kak Aurel waktu dia jatuh sakit?"

Naura lanjut bergumam kala buku diary milik sang kakak dimasukkannya ke dalam tas. "Apa yang membuat Kak Aurel menyuruh suaminya sendiri menikah dengan adik sambungnya?"

Tentu ujung kata-kata–subyek– yang dia ucapkan merujuk pada dirinya sendiri. Seakan-akan jelas bahwa jarak makin mendekatkannya kepada keluarga papanya, bahkan kepada Rindra pun.

Naura berdiri dari kursinya dan langsung mengayunkan kaki keluar dari gedung kampus. Sebenarnya buku itu masih memiliki kelanjutan namun Naura kadung sakit hati. Entah kenapa.

"Tidak habis pikir," kata Naura sambil mengelap air matanya yang sempat mengalir. "Apa Pak Rindra–maksudnya, Kak Rindra tahu ini?"

Naura memilih mengalihkan atensinya pada ponsel, berniat untuk memesan taksi daring menuju rumahnya.

"Huft, kalau saja gue nggak datang ke kantornya papa, bisa aja gue nggak tahu kalau gue dijodohkan sama kakak ipar gue sendiri oleh Kak Aurel," gerutu Naura seraya menyesalkan apa yang telah terjadi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top