Bab 30

***

(Ada 500 ribu sebagai tambahan bonus. Gunakan baik-baik untuk masa depan kamu. Jangan memboros, mengerti?)

Pagi-pagi sekali Naura membaca pesan dari Rindra. Bukan tidak mungkin dia diberikan bonus oleh dosennya sendiri, kinerjanya juga bagus dan tentu saja mendapat apresiasi dari sang papa. Selama sepekan belakangan, Naura melakukan pekerjaannya dengan baik dan mengasuh Toni sepenuh hatinya.

Sembari menyendok sereal ke mulut, Naura memastikan bonus yang diberikannya masuk ke rekening. Dia mengecek m-banking miliknya dan ternyata benar. Rindra mentransfer 500 ribu ke rekeningnya. Ternyata tidak ada salahnya Naura memberitahu nomor rekening ke papanya jadi Rindra bisa minta ke beliau tanpa perlu memberikannya lagi.

Sarapannya seperti biasa tidak ditemani oleh Yulianti. Tentu sebelum matahari terbit, mamanya sudah pergi lebih dulu entah dengan urusan apa beliau sampai pagi buta bersiap ke suatu tempat.

"Paling dia mau caper lagi ke papa," celetuk Naura menduga. Mengingat sehari lalu Naura dikirimi pesan tentang pertemuan mamanya dengan papa sambungnya.

Jam menunjukkan pukul 7.30 pagi. Naura tiba-tiba mempercepat gerakan tangannya sebab dalam hitungan menit Rindra akan menjemputnya untuk diantar ke kampus.

Kurang dari lima menit, sereal dengan susu tersebut pun habis tandas di mangkuk. Tepat setelah Naura menaruh mangkuk kecil putih di wastafel, suara klakson mobil berbunyi dua kali di depan rumah. Naura beruntung, dia tinggal menggunakan sepatunya tanpa membuat Rindra menunggu.

Pintu samping dan pintu utama sudah dikunci Naura. Sepatu pun sudah dikenakannya, dia tinggal keluar dari rumah dengan mengangkut tas punggung hitamnya. Jangan lupakan pintu pagar minimalisnya ikut terkunci.

Gadis dengan kemeja loose-fit warna krem serta celana jins pun berjalan pelan, membuka pintu mobil SUV milik Rindra. Sampai tak menyadari sesosok anak kecil berambut mangkuk itu duduk di depan. Naura spontan sumringah saat bertemu anak tersebut.

"Eh, ada Toni. Saya jadi nggak sadar," ujar Naura mengarahkan pandangan pada Rindra, nyaris kebingungan.

"Kamu duduklah di belakang, takutnya Toni nggak nyaman kalau kamu suruh dia pindah tempat." Rindra memerintah cepat pada Naura. Namun sekejap Toni menyela.

"Nggak! Toni mau dipangku sama tante Naura. Toni nggak mau tante Naura duduk di belakang!" Anak laki-laki yang mengenakan seragam sekolah dengan rompi itu protes kepada sang ayah.

"Ya sudah." Rindra menerima sambil mengelus kepala anaknya singkat. "Kamu pangku Toni, lagipula dia juga harus ke sekolahnya jam 7.45. Keburu telat soalnya."

"Baik, pak."

Pertama-tama Naura menggendong Toni kemudian dia duduk terlebih dulu di jok, diikuti Toni yang mulai memangku bagian paha Naura.

Setelah dirasa cukup, Rindra menginjak gas kendaraannya meninggalkan rumah berlantai dua milik Naura itu.

Sementara di perjalanan, Naura bertanya pada Rindra atas 'keanehan' yang kembali dia dapatkan.

"Tumben nggak ngantar Toni lebih dulu ke sekolahnya baru ke rumah saya. Kenapa tiba-tiba Toni ikut sama Bapak?"

"Karena Toni yang minta," jawab Rindra cepat. "Tadinya juga saya mau anterin Toni ke sekolah sebelum jemput kamu. Tapi Toni merengek, pengen ketemu kamu katanya. Dia rindu sama tantenya, dia bilang begitu."

"Emang kamu kangen ya sama tante?" Naura beralih interaksi pada anak kecil yang sedang dipangkunya. "Padahal semalam kita banyak main, apalagi tante bantu kamu mengerjakan PR dari guru."

"Iya. Toni mau lihat tante seperti apa kalau pergi ke kampus. Jadi anak kuliahan kata ayah."

Sejenak pandangannya mengarah pada Rindra. Anak seusia Toni malah lebih dulu tahu tentang istilah kampus juga pastinya anak kuliahan. Tentu Rindra mengajarkan hal-hal di bidangnya. Reaksi Rindra hanyalah mengendik bahu singkat seolah mengisyaratkan bahwa Toni memang seperti itu.

"Ayah. Kalau Toni mau lihat kampusnya tante Naura boleh nggak?" Toni meminta sesuatu pada Rindra.

"Buat apa?" Rindra mengecek jam di pergelangan tangannya. "Kamu sudah hampir telat loh. Jam 7.45 kamu sudah disuruh baris kan sama guru kamu?"

Toni mengangguk ringan menjawab pertanyaan Rindra.

"Nah, nanti kalau ada kesempatan, kita jalan-jalan ke kampusnya ayah sama tante Naura. Gimana?" Rindra mengangkat satu tangannya, mengajak Toni untuk high-five.

Toni segera membalas dengan menepuk telapak tangan Rindra yang terangkat tersebut.

"Anak pintar. Sekolah dulu yang rajin, baru ayah kabulkan permintaan kamu yang satu itu."

Toni melenggut memahami. Sepenglihatan Naura, keponakannya terus saja mengangguk kala ayah dari anak itu mengingatkan. Sungguh mirip dengan kakaknya, Aurel. Saat mamanya menyuruh sesuatu, Aurel melenggut bak pasrah menerima semuanya. Mengingat hal itu, Naura mengulum senyum. Bahkan tangannya bergerak mengelus pelan rambut keponakannya tersebut.

Tak terasa, mobil yang ditumpangi Naura pun menepi di depan gerbang sekolah warna biru muda. Naura melihat lingkungan sekolah Toni, begitu besar, apa karena Rindra menyekolahkan Toni di tempat lebih baik dibanding sekolah pada umumnya? Tampak sekali sekolah itu memiliki banyak keunggulan, terlebih memiliki lapangan bola yang sangat luas juga gedung-gedung yang berjejeran di dalamnya.

"Jangan lupa makan bekalnya, habis itu kalau pulang sekolah, tunggu di depan pos satpam. Om Eka yang jemput Toni nanti." Rindra memberitahu.

"Iya, ayah."

Lalu Toni meminta punggung tangan ayahnya untuk dicium setelah itu barulah Toni turun dari mobil dibantu sama tantenya. Begitu Toni berjalan sampai ke gerbang sekolah, Toni menyempatkan untuk menoleh kemudian melambaikan tangan pada dua orang dewasa dalam mobil.

"Dadah, ayah! Dadah, tante Naura!" seru Toni dengan riang.

Di antara mereka, Rindra yang paling merekah senyumnya. Naura sendiri melihatnya dari samping. Tentu Rindra juga menyayangi anak satu-satunya itu selain Aurel.

Melihat Toni mulai memasuki lingkungan sekolah, Rindra pun menginjak gas. Melanjutkan perjalanan ke kampus.

"Saya jadi tahu sekolahnya Toni dan ternyata sangat bagus, unggul pula," ujar Naura memberikan pendapat.

"Hasil keputusan saya dengan papa. Pun biar Toni juga punya pengalaman baik di masa sekolahnya. Harus kamu tahu, Toni itu pintar, kayak saya dan Aurel."

Naura akui, Aurel memiliki kepintaran yang sama dengan dirinya. Aurel dibesarkan oleh lingkungan terdidik, papa sambungnya saja berkuliah di luar negeri. Pantas mereka terkadang bijak dalam mengobrol. Meskipun untuk di luar akademik berbeda lagi. Naura bahkan tak ingin memikirkannya lebih jauh.

"Hari ini kamu ada dua jadwal, kan?" Rindra bertanya memastikan.

"Masih ada satu, setelah jam makan siang. Di auditorium dekat gedung olahraga. Ada kuliah umum, tapi wajib banget ikut. Soalnya buat nambah nilai mata kuliah 'bisnis'."

Rindra melenggut paham lalu menambahkan ucapannya. "Oh iya, bonus yang kutransfer itu, gunakan baik-baik. Jangan boros."

"Saya tahu kok, pak." Bahkan Naura sudah berulang-ulang kali mendengar hal itu dari mulut Rindra. Sungguh Rindra memposisikan diri sebagai seorang kakak, mengingatkan hal yang menurutnya buruk. Pun Naura sudah tahu pengelolaan uang yang biasa didapatkan, belajar dari saat dirinya kerja di U-tion dulu.

"Bagus kalau sudah tahu. Cuma ya khawatir aja kamu nantinya boros, makanya saya terus-terus mengingatkan kamu. Takutnya juga, papa lupa dan kamu jadi keterusan."

"Bapak nggak usah khawatir. Pengalaman uang saya dirampas mama jadi saya terkadang menyembunyikannya di rekening, bakan mama saya tidak tahu saya punya m-banking. Pun kalau saya ingin kasih berlembar uang, saya tarik uang dulu buat berikan ke beliau. Sebelum saya belanjakan buat pribadi, saya memilahnya dan memisahkannya ke rekening untuk masa depan."

"Kamu buat satu rekening lagi?" tanya Rindra terkejut, tidak mengetahui rencana diam-diam Naura.

"Iya. Itu buat bayar uang semester berikutnya sama uang biaya KKN."

"Bagus." Rindra kembali melenggut. "Begitulah seharusnya yang kamu lakukan. Menabung untuk kepentingan masa depan."

Naura memicingkan mata curiga. "Bapak ini masih meragukan saya? Bahkan saya sudah lama loh menabung sejak saya masih kerja di U-tion. Rekening buat masa depan juga saya buatnya sebelum perkuliahan semester baru dimulai."

Rindra memegang kuat setirnya di tangan sebelah kanan, seperti menahan amarahnya. "Saya kan sudah bilang, saya akan mengawasi kamu sebagai seorang kakak. Mungkin saja saya masih belum mengizinkan kamu tinggal di rumah saya, hanya saja ini sebagai peringatan biar kamu nggak kelewatan dalam bersikap."

Jangan sering menekan Naura, dan jangan beranggapan seolah-olah Naura itu buruk di mata kamu, nak. Naura adalah Naura, dia bisa menjaga dirinya sendiri. Jadilah kakak yang baik seperti Aurel.

Rindra spontan menghela napas begitu mengingat kata-kata Hendra semalam. Tentu Hendra memberitahukan semua hal terkait Naura padanya. Termasuk bagaimana Hendra dengan gamblangnya mengatakan Rindra sering menyusahkan Naura. Pasti mertuanya melihat semuanya, atau mungkin Naura-lah yang melaporkan hal tersebut pada Hendra.

Dia jadi bertanya-tanya, apa dia masih belum pantas menjadi seorang kakak untuk Naura? Perlukah dia mengorek bagaimana perlakuan Aurel ke Naura dari papa mertuanya?

"Intinya, saya cuma mengingatkan kamu. Itu saja," ucap Rindra menyudahi obrolan yang berujung perdebatan. Paginya tak ingin terlewat dengan hal mumet, Rindra mengatup mulut sambil menggerakkan kedua tangan menyetir mobil.

Demikian Naura, dia juga enggan menanggapi hal apa pun. Fokus memandang ke depan seraya menunggu kapan mobil yang ditumpanginya sampai ke kampus.

Beruntung tak lama setelah mereka menghentikan obrolan, Rindra langsung memarkir serong mobilnya di dekat gedung fakultas ilmu komputer. Tempat yang menjadi favorit Rindra kala menaruh kendaraannya, pun kalau parkiran tidak penuh.

Naura buru-buru turun dari mobil, diikuti Rindra yang tampak pergerakannya sangat cepat mengambil tas briefcase di belakang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top