Bab 3

***

"Lo membolos lagi di kelasnya Pak Rindra?" tanya Kania spontan terkejut.

Jam 10 pagi, Naura datang ke minimarket tempat mereka bekerja. Aturan di jam tersebut, Naura harus ke kampus untuk memenuhi kehadiran di matkul Multimedia Lanjutan. Terapi Naura dengan semangatnya mengatur barang-barang di display kasir, bahkan tanpa mendengar celotehan Kania di samping.

"Gue tanya, kenapa lo ngelakuin hal itu lagi, Nau?" gerutu Kania ikut berjongkok mendekati Naura. "Lo cuma bisa datang di kelasnya Bu Sherly, tapi Pak Rindra malah membolos?"

Kania menggelengkan kepalanya lalu melanjutkan ucapan. "Lo harus ingat, lo udah membolos dua kali di kelasnya Pak Rindra. Kalau memang lo mau mencari masalah, ya gue nggak bakal bantuin lo. Masalah lo ya lo tanggung jawab."

Naura menghela napas, kembali tak mengindahkan Kania yang mulai meluapkan amarah padanya.

"Setidaknya kan gue izin sakit, bukan izin gimana-gimana." Naura menanggapi santai. "Gue juga sudah kirim surat sakit terbaru."

"Tunggu, lo buat sendiri suratnya?" Kania bertanya penasaran.

Naura mematri senyuman sebelum menjawab pertanyaan tersebut. "Gue bayar 50 ribu untuk membuat surat sakit resmi. Ada kok di internet, biar Pak Rindra percaya."

"Jadi, yang sepekan lalu itu, surat sakitnya ..." Kania menutup mulutnya tercengang mendengar hal itu. "Bentar, jadi lo udah buang uang 100 ribu buat ngibulin para dosen kita?"

Selagi Kania larut dalam keterkejutannya, Naura tetap santai. Bahkan kini dia berpindah tempat ke etalase selanjutnya dan langsung menghitung barang yang baru masuk di minimarket.

"Jujur, gue nggak mau gini terus, Kan," ungkap Naura pada akhirnya. "Tapi gue harus nabung buat biaya kuliah ke depan. Mana kita KKN di semester akhir lagi, makin makin deh."

"Sebenarnya yang gue bikin geleng-geleng kepala itu, mama lo." Kania kembali berceloteh seraya ikut berjongkok di etalase makanan ringan, membantu Naura menghitung barang. "Kenapa sih, dia selalu saja mengekang lo untuk bekerja? Apa karena mama lo masih tidak terima pisah dari papa sambung lo?"

Naura menjawab sembari mendesah gelisah. "Begitulah. Mama gue dulu pekerja kantoran di sebuah perusahaan asuransi, cuma ya mama gue nikah dengan seorang direktur setelah papa gue udah nggak ada sejak lama sekali. Alhasil gitu deh, mama selalu saja menguras harta papa sambung gue, terlebih lagi mama selalu memperlakukan buruk kakak sambung yang gue sayang. Setelah masalah sebenarnya terungkap, papa sambung gue marah besar dan pisah begitu saja. Mana waktu itu ..."

Mendadak ucapan Naura terhenti, lalu menjatuhkan satu item yang harusnya dia taruh di etalase.

"Kakak sambung gue menikah dan mama gue melarang untuk datang ke hari kebahagiaan kakak yang sudah gue anggap kakak kandung gue sendiri. Intinya, mama gue bilang 'Jangan lagi berkomunikasi sama mereka, mereka itu parasit!' gitu."

"Tapi mereka sayang kan sama lo, papa dan kakak sambung lo itu sudah menganggap lo keluarga, kan?" tanya Kania peduli sambil memegang pundak Naura.

Saat ditanyai Kania seperti itu, Naura mendadak lesu. "Mereka sayang, termasuk kakak sambung gue. Agaknya setelah perkuliahan selesai nanti, gue mau diam-diam cari tahu lebih lanjut tentang kehidupan baru papa gue tanpa sepengetahuan mama. Yah gue tahu betul papa gue. Beliau salah satu direktur bagian pemasaran, beliau kaya tapi baik hati orangnya."

Kania terus menepuk pundak Naura, berusaha menenangkan. "Oow, that's why lo lebih mementingkan pekerjaan daripada kuliah. I know, lo punya waktu yang susah bersama mama lo. Makanya lo teringin lepas dari mama lo nanti."

"Itu memang nanti. Untuk sekarang mah, gue nggak mau melawan mama karena beliau tetap mama kandung gue. Lagipula, gue masih diperlakukan sebagai anaknya, tidak berlaku aneh. Yah, meski nanti uang yang gue dapatkan akan gue kasih ke mama sebagian. Sisanya gue nabung. Mana ada diajakin jalan-jalan, malah disuruh kerja dan kerja terus."

"Lo yang sabar ya." Kania mulai menepuk pundak sahabat satu kelasnya itu. "Intinya sekarang lo kudu tahan dulu, fokus terhadap diri lo. Mengerti?"

Naura menghela napas ringan lalu menyungging senyum dan mengangguk pelan.

"Lo ada jadwal kuliah?" tanya Kania spontan, sepertinya tergugah oleh suatu pemikiran yang melintas di benaknya. Tatapannya melintas dari wajah Naura yang penuh konsentrasi, mencoba merasakan setiap detail jawaban yang akan datang. Dia tahu, persis seperti dirinya, Naura juga memiliki jadwal kuliah yang sama namun ada perbedaan hari.

"Ada sih. Cuma satu doang, sore. Habis itu kembali ke sini buat kerja. Gue juga sudah izin ke bos sesuai jadwal kuliah gue."

"Bos kita cuma kasih izin di waktu tertentu aja deh. Ugh, lama-lama bos kita juga bakal mengekang kita."

Tanggapan Kania bukanlah hanya sekadar respon verbal, namun ada ekspresi gelisah yang melintas di wajahnya. Kania sadar bahwa atasannya sering menekannya dan sang sahabat untuk lebih banyak bekerja. Apa karena mereka adalah pegawai terbaik? Di tempat mereka bekerja, juga memiliki beberapa pegawai yang datang sesuai shift. Mungkinkah Kania ataupun Naura bakal diangkat jadi pegawai tetap jika kinerja mereka bagus?

Kata-kata itu bukan hanya respons terhadap Kania, tetapi juga pencerahan bagi dirinya sendiri. Naura tahu bahwa dalam dunia ini, tindakan selalu lebih berbicara daripada kata-kata. Ia tahu bahwa keberhasilan datang melalui usaha sungguh-sungguh dan tekad yang kuat. Ada keyakinan dalam suaranya, seperti mengajak Kania untuk tidak hanya fokus pada masalah, melainkan juga memusatkan energi pada solusi.

Kania mengangguk pelan, merenungkan kata-kata Naura. Ia merasa dirinya seperti terbangun dari suatu lamunan yang kerap menghampirinya. "Iya juga ya," gumamnya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Ia mencoba menggali optimisme di tengah hiruk-pikuk kehidupan mereka yang sibuk. "Mungkin karena kepikiran lo yang cuma dapat izin kuliah di jam sore. Sementara gue, nggak ada jadwal."

Naura hanya menanggapi dengan tawa kecil, lalu fokus melakukan pekerjaannya. Tak ada lagi obrolan yang menghiasi, justru Kania berpindah tempat untuk mengerjakan tugas lain.

Di sisi lain, Rindra sedang fokus mengemudi, pikirannya sangat acak. Entah kenapa setelah sepekan lalu dia meminta si calon pengasuh untuk wawancara, tetapi hingga kini dia tidak datang. Bahkan nomor calon pengasuh itu tidak aktif lagi.

Rindra menghela napas berat sambil menginjak gas kendaraannya begitu cepat hingga menyalakan sein ke kiri berbelok ke pintu gerbang besar kompleks kampus, yang mana jalan tersebut merupakan akses menuju Universitas Teknologi Junjungan.

Begitu masuk dalamnya, Rindra tinggal melewati kampus Politeknik Pertanian sejauh hampir satu kilometer. Kemudian di pertigaan, Rindra berbelok ke kanan dan lurus sedikit melewati masjid Politeknik Pertanian. Hingga sampai di Universitas Teknologi Junjungan, tampak sekali papan besi besar dipasang di tengah-tengah. Lengkap dengan dua gedung saling membelakangi.

Fakultas Ilmu Komputer berada di gedung paling depan. Di situlah para mahasiswa jurusan sistem informasi, teknik informatika, dan teknologi informasi menimba ilmu.

Rindra menuruni mobil SUV miliknya. Terhitung di hari ini udah dua kali Rindra datang ke kampus, saat pagi untuk mengajar Multimedia Lanjutan. Untuk sore, dia masih ada jadwal mengajar di kelas F semester tiga di jam empat sore.

"Tunggu, aku melihat seseorang yang sama," gumam Rindra ketika menangkap seorang gadis berambut pendek sebahu sedang berjalan sendirian memasuki kampus.

Gadis berwajah bulat dan mempunyai mata monoloid, itulah yang dilihat Rindra.

Karena memiliki ingatan yang kuat, Rindra hafal beberapa mahasiswanya, termasuk Naura. Bahkan pertemuan pertama sampai pertemuan kedua, sebab Naura selalu duduk di depan. Makanya Rindra hafal.

"Bukannya dia izin sakit? Sepekan lalu izin sakit, hari ini juga izin sakit. Terus malah, dia datang ke kampus? Jalannya juga kayak bukan orang sakit. Heran aku." Rindra menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya termangu.

"Atau dia sengaja bohong supaya menghindari kelasku?" Rindra menaruh curiga.

Sementara itu, Naura berjalan terburu-buru menyusuri gedung kampus lalu mengayunkan kaki dengan kecepatan tinggi menuju tangga akses ke lantai dua.

"RPL dimulai jam 3. Untung bisa cepat-cepat datang ke sini 15 menit sebelumnya," ucap Naura seraya menyungging senyum ketika kakinya terus melangkah menuju ruang kelas 207.

Barusan Naura terburu-buru menghindari Rindra sebab peka akan kehadiran dosen itu. Untung setelah sampai di lantai tujuannya, Naura langsung bersikap santai.

"Apa yang harus gue bilang pada beliau jika saja tahu gue bohong ya?" tanya Naura ketika memegang gagang pintu ruang kelas. "Tapi ... sudahlah. Nggak usah berpikir yang aneh-aneh, Nau. Gue harus fokus, jangan banyak pikiran."

Naura memantapkan diri membuka pintu dan mengayunkan kaki menuju bangku depan, tempat favoritnya.

Tidak ada lagi aktivitas yang dilakukan Naura selain menunggu dosen pengampu masuk dan memberikan materinya. Naura hanya diam di kelas, bahkan beberapa teman kelasnya sibuk dengan gawai masing-masing.

***

Hanya satu kelas yang Naura ikuti. Setelah mengikuti kelas, Naura langsung pulang dari kampus dengan naik transportasi daring. Tentu tujuannya bukanlah ke rumahnya melainkan ke tempat kerja paruh waktunya.

Naura mendapatkan informasi bahwa dia diberikan jam kerja hingga pukul 10 malam, pastinya diiming-imingi bonus besar dari sang atasan. Naura yang mengetahui hal tersebut langsung bersemangat dan energinya mendadak terisi.

Begitu sampai di tempat kerja, Naura langsung menaruh tas di loker ruangan belakang minimarket dan memasang rompi warna ungu sebagai pakaian kerjanya.

Naura melempar senyum pada Kania yang sedang mengangkat barang untuk dihitung. Naura langsung memposisikan dirinya di meja kasir dan memulai aktivitasnya dengan melayani transaksi pelanggan pertamanya.

"Totalnya 55.100, sekalian rotinya lagi promo." Naura menawarkan pada pria paruh baya berjas serta berkacamata.

"Nggak usah, dik."

"Baik, ini belanjaan Anda. Terima kasih sudah berbelanja."

Helaan napas tercipta begitu pelanggan tersebut keluar dari minimarket. Begitulah Naura jika berdiri di depan kasir, mengusahakan para pelanggan tertarik pada barang promo yang terpajang di meja.

"Nau, ini sudah mau malam, lo nggak mau makan di suatu tempat? Mumpung, ada tiga orang yang ngambil shift kita," tawar Kania.

"Boleh, di mana?" Naura tampak bersemangat namun tidak menatap Kania sebab menghitung uang.

"Nantilah. Kalau mereka datang, kita diskusikan tempatnya di mana."

Naura hanya mengangkat jempolnya rendah, masih tidak memandang lawan bicaranya. Kania juga melenggang pergi melanjutkan tugas begitu tawarannya diterima Naura barusan.

"Selamat datang," sapa Naura, ketika mendengar ada pelanggan masuk dalam minimarket. Naura tetap saja sibuk menghitung uang yang dia keluarkan dari dalam mesin kasir bahkan tidak melihat gerak-gerik pelanggan tersebut.

Ketika selesai dengan pekerjaannya, tiba-tiba si pelanggan menaruh botol minuman di meja seraya menunggu Naura memindai kode barang.

"Tunggu sebentar ya, pak." Naura mulai mengambil alat pemindai dan mengarahkan sinar pada kode di bagian bawah botol.

"Totalnya 4.800."

Si pelanggan memberikan uang pecahan 50 ribu, spontan membuat Naura terkejut.

"Anda punya uang kecil?" tanya Naura sopan pada pelanggan tersebut.

"Maaf, saya juga kebetulan baru narik uang jadi nggak punya."

Suara berat yang sering Naura dengar. Tunggu, seketika Naura menyadari sesuatu.

"Se–sebentar ya, pak." Naura terus menurunkan pandangannya tanpa melihat jelas pelanggan di hadapan. Uang biru yang dia pegang pun ditaruh di dalam mesin kasir dan mencari beberapa pecahan uang sebagai kembalian.

Harusnya Naura terbiasa dengan uang besar yang sering diberikan padanya, namun kala selesai menghitung uang barusan seketika membuat Naura kebingungan. Apalagi tidak ada pecahan kecil yang tersedia.

Beruntung di bawah tumpukan uang pecahan besar, Naura bisa menemukan pecahan 20 ribu. Diambilnya dua lembar serta lebihnya dari pecahan 2 ribu.

"Ini kembalian Anda, pak." Naura pun menyodorkan kembalian pada si pelanggan, sekalian pula dia mendongak. Memastikan siapa pemilik suara berat yang barusan dia dengar.

"Terima kasih banyak," ucap pria tersebut dengan ramah. Namun spontan saja pria kemeja polos lengan panjang digelung itu terperanjat. Ketika daritadi fokusnya teralihkan pada ponsel, dia melihat wajah seorang gadis yang tentu sering dia lihat.

Bahkan Naura juga ikut terperanjat. Tentu satu pertanyaan keluar dari kepala. Bagaimana bisa?

' Ternyata dunia sesempit itu. Gue masih ... '

"Pak–Pak Rindra?" panggil Naura terbata-bata.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top