Bab 29

***

Pada malam hari, Naura menumpang di mobil Rindra untuk diantar ke rumah sang dosen, memenuhi tugas sebagai pengasuh. Sekalian, kata Rindra juga ada yang ingin dia bicarakan kepada Naura. Bahkan sangat penting.

"Kamu nggak usah masak hari ini, karena bahan di kulkas juga sudah habis. Kalau mau beli bahan sekarang juga nggak ada waktu." Rindra memberitahu, bahkan tak menolehkan pandangan ke mana pun. Fokus menyetirkan kendaraannya.

"Iya. Lagipula kelas hari ini termasuk kelasnya Bapak serta kelas tambahan juga melelahkan," keluh Naura. "Apa karena mau ujian tengah semester kali ya? Ini kan pertemuan ketujuh. Pun saya banyak ikut seminar juga untuk menunjang nilai mata kuliah saya."

Rindra tak menanggapi dengan kata-kata justru dengan aksi. Tak ragu, tangan sebelah kirinya terangkat kemudian memegang kepala Naura dan menepuknya pelan.

"Kerja bagus. Kamu bukan cuma jadi mahasiswa baik, pintar, rajin, pekerja keras. Tapi kamu juga jadi adik yang baik."

Belum pernah Rindra memberikan apresiasi seperti itu. Naura merasakan Rindra sebegitu dinginnya kepada dirinya, bahkan Rindra hanya berucap seadanya dan memberikan bonus jika diperlukan. Tapi kini, Rindra sungguh seorang kakak yang baik. Sama seperti Aurel.

"Aku yakin Aurel akan bangga lihat kamu begini," tambah Rindra, makin membuat Naura terdiam. Tubuhnya tidak bergerak sama sekali, hanya menatap intens Rindra di sampingnya.

"Lanjutkan pekerjaan kamu sebagai pengasuh ya." Rindra mengingatkan. "Toni juga sudah nyaman dengan kamu. Toni punya tante yang ceria membuat Toni juga ikutan ceria."

"Sudahlah, pak. Saya nggak butuh apresiasi banyak-banyak, yang saya lakukan demi mensejahterakan hidup saya aja," ucap Naura lembut. "Pun saya mau nabung untuk biaya KKN tahun depan. Jadi saya harus lebih bekerja keras lagi."

"Kamu pantas mendapatkan itu, Nau. Saya akui kamu membawa vibe positif untuk keluarga kami." Rindra tampak tidak main-main dengan apa yang keluar dari mulutnya. "Orang tua saya sedang di luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya, dan keluarga yang saya punya selain Toni hanyalah mertua saya, yang juga adalah papa sambung kamu. Dengan adanya kamu di antara saya, papa, dan Toni, semuanya membaik. Sekali lagi, saya akui itu."

Jarang sekali mendengar Rindra bersikap lunak seperti ini. Biasanya hanya ketegasan serta sikap dingin yang mendominasi seorang Rindra. Dan hanya Naura yang melihat Rindra berbicara lembut dan bijak.

"Saya yakin Toni sudah diantar pulang sama sopirnya papa," ujar Rindra menduga. Sebelumnya dia juga mendapatkan informasi tersebut dari Hendra. "Jadi kamu bisa langsung temani Toni bermain."

"Siap, pak."

"Ini di luar kampus. Panggil sesuai yang aku suruh."

Terkadang Naura tidak bisa membedakan di dalam maupun luar kampus. Baginya sama saja, namun sekali lagi dia harus membiasakan diri menghadapi Rindra sebagai kakak ipar. Dia perlu memandang Rindra adalah kakak yang menggantikan mendiang Aurel dan mengemban peran sebagai penjaga Naura.

"Baik, Kak."

Sahutan Naura memicu Rindra untuk tertawa ringan. "Ini sangat asing mendengar seseorang memanggil saya 'Kak'. Terutama dari kamu. Secara aku juga anak tunggal, nggak punya kakak juga nggak punya adik."

Naura hanya mendengarkan, dibalas anggukan kecil tanpa bersuara.

"Asal kamu tahu. Saat pertama kali melamar Aurel, saya mengira dia benar-benar anak tunggal. Saya anak tunggal, dia juga anak tunggal. Kami jodoh memang, tapi ya secara spesifik dia benar-benar anak tunggal. Hanya saja, papanya menikah dengan janda beranak satu, sehingga membentuk keluarga baru dan otomatis Aurel pun punya adik. Adik yang sangat Aurel sayangi bak adik kandung sendiri. Yaitu kamu."

Hatinya benar-benar tenang saat akhirnya Rindra menganggap dirinya sungguh ada, bukan lagi seperti yang sudah-sudah. Naura tak perlu lagi menghadapi sikap ketus Rindra begitu di luar kampus. Dia bisa tenang setiap kali melakukan pekerjaannya.

"Tapi yang namanya percandaan antara kakak adik tidak dapat terhindarkan. So, it'll keep going." Rindra memberitahu hal yang lumrah terjadi di antara mereka.

"It's okay. Asal ada batasnya juga." Naura menanggapi dengan santai.

"Saya tahu."

Namun hal yang refleks dilakukan Rindra ataupun Naura pun semata-mata menghidupkan suasana, jadi tidak ada salahnya daripada terlalu kaku ataupun canggung.

"Kalau Bapak– emm ... maksudnya, Kak Rindra nyuruh saya tidak masak dan membeli bahan, kita makan apa? Apalagi Toni nanti laper loh malam-malam."

Tidak ada jawaban, mobil yang dikendarai Rindra pun berbelok dan menepi ke sebelah kiri untuk singgah di kedai burger. Kedai tersebut terbilang besar karena berada di suatu ruko.

"Loh, makan burger lagi?" tanya Naura menduga.

"Kali ini Toni yang request. Tapi saya pesan yang sesuai porsinya," jawab Rindra spontan lalu melepaskan sabuk pengaman yang mengait tubuhnya. "Kamu turunlah, pesan sesuka hatimu."

"Apa boleh?" Naura memelankan gerakan kepalanya ke arah Rindra.

"Memang saya pernah tidak mentraktir kamu makan?" Rindra bertanya seakan tidak menerima Naura meragukan tawarannya. "Saya ingin merileksan diri dulu di mobil. Kamu pesan aja.

Sembari demikian, Rindra memberikan kartu debit miliknya pada Naura. Tak lupa ada selipan kertas kecil di mana dia taruh langsung ke telapak tangan Naura.

"Kartu debit saya dan PIN-nya di kertas itu."

Naura spontan kebingungan. Dia menatap sebentar kartu debit warna biru tua itu.

"Kamu mau pesan paket besar pun tidak masalah. Asal saya yang bayar, dengan menggunakan kartu itu," jelas Rindra agar tak membuat Naura jadi plonga-plongo.

Sementara gadis itu tak menjawab dan justru fokus menatap Rindra dengan penuh canggung.

"Turunlah. Jangan membuat tatapan lugu kayak gitu," pinta Rindra segera dibalas anggukan cepat dari Naura.

Naura mulai turun dari mobil dan menghampiri kedai burger untuk memesan. Ada dua pegawai laki-laki yang berjaga di kedai tersebut.

"Saya mau double cheese burger. Patty-nya yang ayam." Naura menyebutkan pesanannya. Kemudian ponsel miliknya berdenting. Rindra meminta sesuatu pada Naura.

(Saya triple cheese. Toni yang meal-kids. Di situ ada paketnya, bilang aja ke masnya.)

"Emm, sama triple cheese satu porsi. Dan paket meal-kids." Mulut gadis itu terucap tanpa hambatan.

Ponselnya berdenting lagi, mengalihkan atensi Naura ketika hendak memberikan kartu debit pada penjual tersebut.

(Papa juga triple cheese. Maaf saya lupa pesankan untuk papa.)

"Maaf, mas. Triple cheese-nya dua." Naura meralat justru merasa canggung karena terus mengubah-ubah pesanan. Balasan si pegawai laki-laki tinggi itu hanya mengangguk semangat kemudian menyuruh satu pegawai berbadan agak kekar itu untuk bekerja cepat membuat pesanan milik Naura.

Selagi menunggu, Naura berbalik ke arah mobil Rindra dan tampak Rindra yang mengacungkan jempol dari dalam mobil. Spontan membuat Naura tersenyum meski begitu ringan.

"Total 150 ribu." Pegawai tersebut memberitahu nominal pesanan. Naura langsung  memberikan kartu debit sebagai alat pembayaran, lalu matanya tertuju pada kertas kecil pemberian Rindra barusan.

Lalu saat pegawai tersebut menyodorkan mesin EDC untuk memasukkan PIN, Naura bergerak cepat menekan nomor-nomor hingga tercetak struk pembelian, lengkap dengan total harganya.

Hampir 15 menit Naura menunggu, gadis itu langsung bersemangat mengambil kantong kresek berisi pesanan burger yang baru saja dibuat. Kemudian Naura memasuki mobil dan menaruh kantong besar itu ke tengah-tengah mobil.

"Total hampir 200 ribu untuk empat paket, apa nggak masalah, pak?" tanya Naura hati-hati.

Rindra menjawab disertai tarikan napas pelan."Kan saya sudah bilang, tidak masalah untuk pesan apa pun. Karena saya menerima kamu jadi adik saya, dan saya akan memperlakukan kamu sama seperti Aurel. Menganggap kamu adalah adik kandung saya sendiri."

Sekilas Naura terperanjat mendengar ujung kalimat tersebut. Memang sudah sepantasnya semua hal dalam keluarga Rindra berubah. Termasuk sang dosen. Benar-benar jarak Naura kepada mereka makin dekat.

Naura tak perlu berharap mereka memperlakukan lebih, Naura hanya ingin bekerja keras mendapatkan uang dari Rindra. Meski Rindra mengizinkan, tetap Naura punya batasan tertentu agar tidak mengusik mereka.

Kecuali, masa lalu kakaknya yang hingga saat ini belum dia ketahui.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top