Bab 27
***
Empat tahun yang lalu
Rindra dan Aurel tinggal di salah satu gedung apartemen yang terletak di perkotaan Jakarta Selatan. Tentu unit apartemen dengan tipe 1BR itu dibeli langsung oleh Hendra setelah pernikahan mereka. Bahkan saat dikaruniai buah hati pun, mereka tetap nyaman menempatinya di sana.
Sepulang dari urusan di luar, Rindra dan Aurel memasuki apartemen mereka setelah melewati pintu masuk lobby yang berlapis kaca. Di sepanjang koridor, dinding-dinding bersih dan cahaya hangat dari beberapa lampu langit-langit menciptakan suasana yang nyaman dan menyambut.
Mereka berdua berjalan menuju lift. Sambil menunggu, keduanya mulai mencuri kesempatan untuk berpegangan tangan. Tak lupa, mereka melemparkan senyuman penuh kehangatan, sebagai rasa keharmonisan. Pemandangan di luar jendela koridor menampilkan pemandangan megah kota Jakarta Selatan dengan gemerlap lampu-lampu gedung yang menyala di malam hari.
Lift akhirnya tiba, dan mereka masuk ke dalamnya. Lampu-lampu kecil di dinding lift memberikan kesan modern dan futuristik. Rindra menekan tombol lantai tujuan mereka yaitu lantai 21, dan lift mulai bergerak naik. Mereka dapat merasakan getaran halus di lantai ketika lift melaju secara lancar menuju lantai apartemen mereka.
Saat pintu lift terbuka, Rindra dan Aurel disambut oleh suasana yang hangat di lantai apartemen mereka. Lalu mereka berdua melangkah pelan menyusuri lorong hingga berbelok ke sebelah kanan untuk memasuki unit 21-8. Rindra menempelkan kartu akses lalu mereka masuk ke dalam unit.
Dinding-dinding berwarna netral dengan sedikit aksen warna pastel mencerminkan kesederhanaan dan gaya minimalis. Furnitur yang elegan dan fungsional menyusun ruang tamu, dan karpet empuk berwarna senja memberikan sentuhan kenyamanan di bawah kaki mereka.
Pandangan mereka tertuju ke jendela besar yang menghadap ke kota. Pemandangan malam hari yang menakjubkan mengisi ruangan dengan pesona urban yang memesona. Di sudut ruang utama, terdapat rak buku berisi karya sastra dan foto-foto kenangan dari mereka.
Beralih pada malam yang makin larut, mereka beranjak ke kamar tidur. Tempat tidur besar yang nyaman dan empuk dipenuhi dengan bantal dan selimut berwarna lembut, menciptakan tempat yang sempurna untuk bersantai setelah hari yang panjang. Dari jendela di samping tempat tidur, sinar bulan menerangi ruangan dan menciptakan suasana romantis yang menghangatkan hati.
Rindra telah siap dengan piyamanya. Aurel juga demikian. Rindra melihat istrinya sedang menatap jendela dalam posisi berdiri sambil memegang mug di tangan sebelah kanan.
"Kamu sudah siapkan ASI untuk Toni?" tanya Rindra bersuara memecah lamunan Aurel. "Papa mau ke sini mengantar Toni. Kalau sudah sampai, aku akan jemput papa di lobby."
Bahkan saat Rindra mengajak bicara pun, Aurel tampak abai. Justru fokus melihat pemandangan malam dengan penuh bintang kelap-kelip.
"Sayang?" panggil Rindra. "Aurel? Kamu ngapain?"
Rindra menghampiri Aurel yang tengah memasang tatapan intens pada luar jendela. Sambil sesekali menyesap minuman cokelat di cangkir.
"Aurel." Rindra mencolek bahu istrinya, untung Aurel merespon cepat hingga menoleh sedikit ke belakang. "Tadi aku ngasih tahu kamu kalau papa mau ke sini bawa Toni. Kamu malah nggak dengar, justru fokus lihat bintang di jendela."
"Oh, maaf, Mas. Aku cuma ..." Aurel kelihatan mengusap wajahnya yang Rindra duga adalah air mata. "Aku cuma terkesima aja lihat bintang di langit."
"Cuma terkesima aja terus sampai nangis, gitu?" Rindra mengambil kesempatan mengelus rambut panjang Aurel seraya membantu hapus air mata yang membekas di pipi. "Harusnya lihat bintang itu ya gembira atau berdecak kagum. Kalau kamu nangis itu pasti ada alasannya."
Rindra akhirnya memegang pipi istrinya dengan kedua tangan sambil sedikit mengikiskan jarak pandangan hingga wajah mereka berdua perlahan mendekat.
"Katakan padaku. Kamu nangis karena apa? Kamu mikirin apa sampai mengeluarkan air mata?" tanya Rindra dengan nada lembut.
Sementara Aurel seperti dibelenggu oleh sesuatu ketika ingin memberitahu tentang keluarganya pada sang suami. Tentu bukanlah keluarga inti melainkan keluarga yang dulu pernah masuk dalam kehidupannya, yaitu Naura juga mama tirinya.
Aurel merindukan adik sambungnya, dia seperti mendapatkan saudari yang memberikan kenyamanan bak adik kandung pada umumnya. Aurel adalah anak tunggal, dan mendapatkan adik ceria seperti Naura adalah kebahagiaan untuknya.
Ketika tahu papanya pisah dari mama tirinya sebab Aurel melaporkan perbuatan buruk sang mama, membuat dia juga merasa bersalah. Harusnya dia bisa bertahan dan memberikan Naura kesempatan untuk membuat mama tirinya berubah. Naura pernah bilang hal demikian padanya, bahwa Naura berniat ingin mengubah sikap mamanya.
"Sayang? Kok diam?" Rindra mengguncang wajah Aurel ketika mendapati istrinya justru termangu.
"Sepertinya aku harus cek ASI di kulkas dulu deh. Semoga saja persediaannya masih banyak, siapa tahu Toni menangis malam-malam." Aurel menghindar, melepas tangan suaminya dari wajah dan melenggang pergi menuju ruang utama.
Rindra spontan mengekori dan benar saja Aurel langsung membuka kulkas dan memastikan persediaan ASI untuk anaknya mencukupi.
Pria berpiyama biru gelap itu kembali ke kamar dan duduk di sisi ranjang sembari menghela napas berat. Rindra merasa ada sesuatu yang disembunyikan Aurel. Setiap malam Aurel terus saja memikirkan hal yang bukan-bukan. Dan Rindra selalu mendapati Aurel melakukan demikian.
Harusnya Aurel bisa cerita, tapi Aurel seakan menghindarinya berulang kali. Membuat Rindra merasa frustrasi sejenak.
"Apa benar-benar terjadi sesuatu padanya?" gumam Rindra dalam hati.
***
Masa sekarang
Rindra menyesap kopi hitam buatan Eka sembari duduk berhadapan dengan papa mertuanya di meja makan rumahnya. Kembali menjadi kebiasaan, Rindra berdongeng tentang dirinya yang sempat tinggal di apartemen bersama Aurel dan menyinggung bahwa Hendra yang membelikan satu unit apartemen untuk ditempati.
Jangan lupakan tentang Rindra yang sempat dibuat frustrasi oleh Aurel sebab tidak banyak cerita terkait masalahnya, hingga akhirnya Rindra tahu Aurel sempat bersedih setiap malam karena memikirkan Naura juga Yulianti.
"Harap maklum dengan sikap Aurel di masa lalu," ucap Hendra seakan memberikan pengertian pada Rindra. "Memang anaknya kalau simpan rahasia, dia tidak mau bilang, bahkan kepada papanya."
Rindra melenggut seperti menerima situasi. "Iya, Rindra juga paham kok. Beruntung sekarang, aku jadi tahu masalah Aurel yang setiap saat gelisah, bahkan dia pernah minta aku cari adiknya yang namanya Naura itu.
"Saat dimintai hal itu, aku merasa nggak ngeh. Aurel kan anak tunggal, kenapa tiba-tiba punya adik? Aku tersadar kalau papa ternyata pernah cerita kok tentang papa yang menikah lagi dengan mamanya Naura, cuma ya Rindra lupa."
Memang karena faktor kesibukan jadi Rindra seakan tak peduli cerita Hendra padanya, bahkan hal tak penting pun. Demikian juga Hendra, faktor umur yang juga membuatnya terkadang lupa. Dia sudah menceritakan tapi merasa belum kepada Rindra.
"Papa dari dulu sampai sekarang, selalu lengket sama Toni," ujar Rindra kembali mengorek masa lalu. "Ingat nggak pa waktu Toni masih umur satu tahun, Rindra titipkan Toni ke papa karena ingin lebih dekat dengan Toni. Lalu papa mengantar Toni pada kami untuk selanjutnya diurus oleh Rindra juga Aurel."
Hendra terkekeh ringan. "Iya, papa masih ingat itu. Sangking sayangnya pada Toni bahkan saat masih bayi, papa justru egois malah terus dekat sama cucu sendiri dibanding orang tuanya."
"Rindra maklumi papa yang seperti itu pada Toni. But it's okay. Toni juga sudah punya tante yang sayang sama dia."
"Siapa tantenya?" Hendra bertanya seperti memancing Rindra, bahkan beliau menaikkan kedua alisnya seakan menggoda menantunya.
Rindra sempat tercekat mendapati Hendra melakukan hal itu.
"Ya– ya Naura lah. Anak sambungnya papa," jawab Rindra spontan disertai gugup yang mendera.
"Jadi gimana sama Naura? Kamu sudah akrab dengannya sebagai kakak?" tanya Hendra kembali.
"Yah, seperti biasanya." Rindra mengalihkan pandangan pada kue kuki cokelat yang tersaji di piring, kemudian menggigitnya setengah. Rindra seperti enggan menjawab detailnya kepada sang mertua.
"Seperti biasa apanya?" Hendra mendesak.
"Gitu lah."
Respon dari Hendra hanyalah tawa renyah hingga kemudian Hendra terbahak-bahak. Sebisa mungkin Hendra merespon sambil menghentikan tawanya. "Papa paham kamu masih belum terbiasa dengan apa yang sudah terjadi. Tapi sekali lagi papa tegaskan, Naura itu banyak berkontribusi. Termasuk mengurus Toni dan mengembalikan keceriaan Toni seperti dulu."
"Rindra tahu," ucapnya sambil menyesap kopinya sekali lagi. "Pokoknya Naura itu harus merasa berguna ada di keluarga kita. Alih-alih mengabaikannya. Terlebih Naura sudah menjadi saudari yang baik untuk Aurel."
"Nah, gini baru menantu papa." Tak ragu Hendra menepuk punggung tangan Rindra menunjukkan rasa bangganya sebagai mertua sekaligus orang tua dari Rindra.
"Oh iya, pa. Ini sudah malam loh. Nggak sekalian nginap di sini aja, atau bagaimana?" tanya Rindra sebagai selingan, sambil meraih satu kuki cokelat dengan tangannya.
"Papa nginap saja. Lagipula kasihan Eka kalau papa suruh mengemudi malam-malam begini, mana dia juga punya banyak pekerjaan. Mengurus ini dan itu, sebagai 'kaki tangan' papa di perusahaan terutama bagian pemasaran.
"Pun besok papa masuknya agak siangan, tapi tetap pulangnya dari sini pagi-pagi. Setelah Toni berangkat sekolah dan kamu berangkat ke kampus."
Setelah mengucapkan itu, Hendra langsung menoleh ke belakang. melihat Eka yang selonjoran di sofa panjang sambil memejamkan mata. Sekretarisnya menumpu banyak beban hari ini, pun dia bekerja keras menemani Hendra dari pagi hingga menjelang malam.
"Baiklah, papa nginap saja di sini." Rindra seakan membujuk mertuanya dengan menyetujui saran Hendra barusan. "Berarti bisa sekalian menemani Toni menyiapkan peralatan sekolahnya."
Hendra melenggut spontan. "Benar juga yang kamu bilang itu, nak. Papa juga sekalian ingin isi energi lihat cucu papa pergi ke sekolah."
Rindra mengulum senyum saat mendengar Hendra yang bersemangat ketika menyinggung Toni. Wajar saja, kedekatan mereka sudah begitu terjalin bahkan sejak Toni masih bayi. Rindra bisa merasakan hal tersebut, sebagai orang tua dari Toni. Dia sungguh tak mempermasalahkannya, selama Toni dikelilingi orang yang dia sayang yaitu Hendra juga tak lupa Naura.
"Apa Naura barusan ke sini?" Hendra bertanya ketika tidak ada lagi obrolan yang menghiasi.
Rindra mengangguk membenarkan. "Iya, pa. Cuma nyiapin makan malam untuk kita, habis itu pulang. Sekalian juga kasih gaji full lewat e-wallet-nya. Nggak aku kasih tunai."
"Loh, memang pengeluarannya banyak? Padahal dia masih tinggal di rumah mamanya?" Hendra mengerut kening heran. Tentu selain karena harus memenuhi kebutuhan orang tua, yang Hendra tahu dari Naura adalah dia memiliki pengeluaran tak terduga bahkan untuk hal tersebut malah tidak diketahui oleh Hendra.
"Wajarlah, pa. Mahasiswa seperti Naura ini pasti banyak kebutuhannya, juga biaya-biaya yang lain. Entahlah biaya apa, untuk menabung kah atau apa gitu. Rindra juga nggak diberitahu lebih lanjut olehnya."
"Padahal papa kasih banyak fasilitas. Masalah transportasi, ada Eka yang menjemput. Terus untuk uang makan, Naura tinggal minta ke papa. Pasti akan papa berikan."
Rindra memandang Hendra yang mematri wajah penyesalan, entah apa benar dia membaca ekspresi papanya seperti itu. Yang jelasnya dia melihat Hendra mendengus keras sambil memegang kepalanya seperti mengeluh pusing.
"Biarkanlah, pa. Kalau kita manjakan Naura terus, bisa-bisa dia jadi seperti mamanya loh. Naura juga bilang begitu kok di kampus tadi. Naura berusaha ingin menjadi orang yang lebih baik, dibandingkan mamanya yang gila belanja."
Apa karena sakit hati dengan perlakuan buruk Yulianti sehingga Naura hanya ingin memposisikan diri sebagai pelindung Hendra, alih-alih sebagai anak sambung Hendra? Bukankah seharusnya Naura berhak menerima semua itu?
"Tapi tenang, Naura tetap ada di keluarga kita, kok." Rindra berujar, peka melihat ekspresi wajah Hendra yang kini mulai termangu. "Papa jangan khawatir. Rindra tetap akan memperlakukan Naura seperti adik Rindra sendiri. Kita juga nggak boleh jahat-jahat ke Naura kan?"
"Ya seharusnya seperti itu." Hendra mengangguk setuju, memilih menyudahi obrolan dengan menyesap kopi di cangkir kecil hingga tandas.
Sementara Rindra tinggal membereskan semuanya di meja makan, termasuk piring kecil yang barusan dihidangkan beberapa kuki kini tinggal remahan.
"Papa istirahatlah di lantai dua. Rindra mau cuci piring dulu, setelah itu buat nasi di rice cooker. Bekal sekolah Toni harus sudah siap minimal malam ini lah."
Hendra spontan berjalan pelan melewati meja makan kemudian mendekati Rindra dan menepuk pundak menantunya merasa bangga.
"Kamu bukan hanya suami yang baik untuk Aurel. Tapi kamu juga jadi ayah yang baik untuk Toni. Papa bangga lihat kamu."
Rindra mengulum senyum ringan mendengar pujian dari papanya. "Papa nggak perlu berlebihan. Ini juga jadi kewajiban Rindra kok untuk lebih dekat dengan Toni."
"Biar papa bantu siapkan sarapannya Toni." Hendra spontan menggelung lengan bajunya kemudian bergerak cepat mengambil beberapa wadah untuk membuat sesuatu yang diolah.
Rindra pun menginstruksi apa yang harus dilakukan Hendra. Ayah dan anak tidak sedarah itu mulai menyiapkan semua hal, termasuk sayur-sayuran serta lauk pauk yang cocok buat Toni.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top