Bab 25

***

Naura tak menyangka dosen berwibawa seperti Rindra akan datang menjemputnya di depan rumah. Biasanya Rindra cuma menawarkan tumpangan apabila Naura ingin ke rumah dosen tersebut untuk melakukan pekerjaan sebagai pengasuh. Tetapi baru pertama kali, dosen kebangaan justru mengambil alih tugas Eka sebagai tukang antar Naura ke kampus.

Sementara itu si sopir–Rindra, mendadak kebingungan Naura hanya termangu memandang luar jendela. Niat berbicara sesuatu guna mengusir rasa gundah malah urung sebab Naura masih merasa terkejut.

"Nau. Kenapa gugup begitu?" Suara berat Rindra mengisi keheningan. "Saya tahu kamu terbiasa dijemput sama Om Eka. Tapi bukankah ini bagus, secara kita tujuannya sama, yaitu ke kampus?"

"Iya sih, pak. Cuma kan, ini baru pertama loh Bapak menjemput saya di depan rumah," kata Naura masih belum mengendalikan gugupnya.

"Saya ingatkan sekali lagi, saya itu nggak ada inisiatif sendiri menjemput kamu. Tapi papa yang suruh," kata Rindra tegas.

Naura enggan menanggapi lagi kemudian lanjut mengarahkan pandangannya ke jendela luar.

Di saat-saat seperti ini, Rindra mencoba untuk mengulang keakraban dengan Naura sebagai saudara ipar. Bukanlah antara dosen dan mahasiswa.

"Rasanya bakal canggung Naura memanggilku Kak Rindra. No, it's no way. Naura pasti bakal merasa aneh bila aku suruh dia begitu." Rindra membatin dalam hati sambil sesekali melempar tatapan pada Naura di sampingnya.

"Oh iya gimana Toni? Kak Eka sedang dampingi papa rapat pagi. Bapak ke kampus, saya juga ke kampus. Terus siapa yang antar Toni ke sekolah?" tanya Naura mendadak khawatir.

Rindra perlahan buntu, dia kebingungan merangkai kata untuk menjawab pertanyaan dari Naura.

"Tunggu, kamu tuh tanya kayak gitu memposisikan diri sebagai pengasuh atau sebagai tantenya Toni?"

"Sebagai ..." Naura menggantungkan ucapan niat ingin spontan menanggapi, namun mendadak dia menolehkan kepalanya pada si pengemudi.

"Apa maksudnya Bapak tanya begitu?" tanya Naura heran, kedua alisnya sedikit berkerut.

"Loh, memang salah saya bertanya seperti itu?" Rindra membalas, mencoba mencari pengertian dari Naura. "Kita kan keluarga."

Naura terdiam sambil menelan ludah susah payah. "Saya tanya sebagai pengasuh juga sebagai tantenya Toni."

Rindra melanjutkan perjalanannya melewati jalan utama dengan penuh perhatian, sementara suara mesin mobil mengiringi pembicaraan mereka. Matanya memandang ke depan, mencoba menjaga konsentrasi di tengah lalu lintas yang ramai.

"Toni sudah ada di sekolah. Baru juga saya antar tadi. Sebelum saya ke rumah kamu," jawab Rindra dengan nada tenang, suaranya menyatu dengan deru mobil.

Naura mengangguk perlahan, tatapannya menangkap pemandangan luar jendela seakan merenung. Dia merasakan lega mengalir dalam dirinya setelah mendengar sendiri dari Rindra, meskipun hanya dalam ekspresi wajahnya yang tersembunyi. Namun, kata-kata tak perlu disebutkan; kelegaan itu bersembunyi di balik sudut bibirnya yang sedikit terangkat.

Tatapan Naura bertaut dengan Rindra, seperti dua jiwa yang bertemu dalam keheningan. Dia merasakan rasa terima kasih meluap dari hatinya, sebuah ungkapan yang lebih kuat daripada kata-kata. Tapi dia tahu, terkadang kata-kata juga diperlukan.

"Terima kasih, Pak Rindra," ucap Naura tiba-tiba, suaranya lembut mengalun seperti irama senandung.

Rindra menggelengkan kepalanya, senyumnya melintas seperti bayangan lembut di wajahnya yang penuh kehangatan. "Ngapain berterima kasih sama saya? Ingat, saya ini ayahnya. Jadi saya berinisiatif menyiapkan perlengkapan sekolah juga membuatkannya sarapan."

"Iya, saya tahu kok. Bapak adalah ayahnya Toni." Naura menegaskan ucapannya. "Saya akan berusaha menjaga dan menyayangi Toni karena saya juga memposisikan diri sebagai tantenya."

Rindra mengangkat sudut bibirnya mendengar inisiatif Naura. Tentu itu sudah menjadi kewajiban Naura, selama dia masih bekerja sebagai pengasuh dan menggajinya juga.

"Nah seperti itu yang saya suka. Daripada kamu menjadi anak manja untuk papamu." Rindra memuji namun di ujung justru mengintimidasi Naura.

"Saya dibilang anak manja?" tanya Naura dengan raut wajah sedikit terkejut. "Saya cuma menurut apa kata papa saya, toh mana mungkin juga saya terus mencari perhatian papa?"

Rindra tak menjawab, hanya sebuah senyuman miring yang menghiasi wajahnya. Justru yang dilakukannya barusan adalah mencemaskan Naura sebagai kakak ipar. Bagaimana jika Naura bersikap sama seperti mantan istri papa mertuanya? Rindra bahkan belum mengenal adik iparnya dengan baik, dan Aurel pun tidak pernah menceritakan banyak tentang Naura.

"Iya, yang penting Nau. Kamu harus belajar dengan rajin dan semua mata kuliah di semester ini harus mendapatkan nilai A. Tidak boleh ada A- atau B," ucap Rindra dengan tekad. "Terutama di mata kuliah saya. Untuk izin dua pertemuan itu, saya kasih toleransi saja."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak." Naura menunduk menerima nasihat dari dosennya.

"Juga, mulai sekarang ..." Rindra tiba-tiba gugup saat akan mengucapkan kalimatnya selanjutnya. "Kamu nggak usah panggil saya Pak di luar kampus. Panggil saja Kak Rindra. Anggap saya ini adalah kakak kamu juga. Kakak ipar."

Naura spontan terkejut. Tidak biasanya Rindra menerima situasi sebab Naura menemukan keluarga sambungnya sendiri. Mungkinkah Rindra diminta papanya untuk menyuruhnya demikian?

"Apa ini suruhan papa juga?" tanya Naura memastikan, sambil membuat tatapan intens pada Rindra di sebelahnya. "Atau Bapak inisiatif sendiri?"

"Bahkan kalau bukan papa yang suruh pun, kamu masih nggak percaya?" Rindra justru kembali meremehkan Naura.

"Ya bukan begitu sih Pak." Naura melipat kedua tangannya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran jok. "Banyak kebetulan yang saya terima pagi ini. Mama saya yang tiba-tiba pergi untuk melakukan urusannya, terus Bapak yang mengantar saya ke kampus, dan sekarang ..."

Naura terkejut mengetahui kebetulan selanjutnya. Ekspresi wajah Naura berubah menjadi heran. Dia mengangkat kedua tangannya dengan cepat, seakan mencoba merespon situasi yang tidak terduga.

"Bapak menyuruh saya memanggil Bapak 'Kak Rindra'?" Naura langsung menutup mulutnya dengan satu tangan seraya matanya membelo.

"Itu cuma di luar kampus doang," sela Rindra mengoreksi. "Kalau di kampus, kamu tetap panggil saya 'Pak'."

"Iya, saya tahu kok, Pak. Bagaimanapun juga, Bapak tetap saya anggap adalah dosen saya. Dosen Multimedia Lanjutan untuk semester ini."

"Ya, seperti itu. Terserah kamu saja," kata Rindra mulai menyerah dengan obrolan tak berujung itu.

"Tapi kalau saya lagi mood, saya akan panggil Bapak dengan Kak Rindra."

"Terserah." Rindra membalas dengan ketus kemudian membelokkan mobilnya menuju restoran cepat saji.

Kendaraan roda empat yang dia tumpangi melaju lurus ke bagian drive-thru. Naura kembali dibuat terkejut.

"Kita ... pesan makan?" tanya Naura menoleh pada Rindra, hanya memastikan.

"Iya. Nggak apa sesekali traktir kamu," jawab Rindra membalas pertanyaan Naura yang mendadak bingung olehnya.

"Loh, saya sudah sarapan, pak." Naura mencoba enggan ditawari Rindra.

"Tidak ada penolakan." Rindra menyodorkan jari telunjuknya memberi peringatan.

"Katanya kamu ada kelas tambahan pagi ini, kan? Sebagai ganti saat dosen kamu berhalangan hadir waktu itu. Setidaknya saya mau kamu mengisi energi secara penuh biar kamu nggak lemas di kelas nanti," tambah Rindra menjelaskan dengan sikap wibawanya.

"I–Iya, pak." Naura tampak tak bisa mengelak. "Apa karena papa yang kasih tahu semuanya ke Bapak? Saya sempat beri tahu hal ini ke papa."

"Bentuk perhatian seorang kakak ke adiknya," tegas Rindra kemudian. "Jadi sudahlah, jangan bilang 'tidak' pada kakak iparmu ini. Lebih baik katakan apa yang ingin kamu pesan, saya akan bayar."

Baiklah, sesekali mengalah pada dosen sendiri meski canggung menerimanya. Pun itu hanyalah inisiatif dari Rindra, tidak ada pemaksaan apa pun dari Naura atau yang lain.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top