Bab 24

***

Aurel. Seandainya saja kamu masih hidup, aku yakin kamu pasti senang mendapatkan adik yang kamu cari selama ini. Aku jadi ingin tahu gimana perasaan kamu saat ketemu Naura. Asal kamu tahu. Naura itu rindu banget sama kamu. Bahkan tiap malam dia kangen, dia tidak mau kamu menjauh dari pikirannya. Dia sungguh sayang sama kamu sebagai kakaknya, sama seperti aku yang menyayangi kamu sebagai seorang suami.

Entah gimana lagi ke depannya tentang Naura. Pun Naura masih kerja sama aku sebagai pengasuh. Meskipun begitu, Naura itu sigap dan telaten mengurus dan menyayangi anak kita seperti seorang tante pada keponakannya. Perumpamaannya ya seperti itu.

Aku harap di atas sana kamu baik-baik ya, sayang. Aku masih belum berhenti mengirimkan doa untuk kamu, agar kamu terus bahagia.

Rindra menghentikan aktivitas menulisnya di buku diary kemudian membaca tulisan yang baru tercipta di atas kertas.

Dengan senyuman mengembang di wajahnya, Rindra seakan terperdaya membaca isi buku miliknya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa bahagia saat interaksi melalui tulisan di halaman terbaru, seolah-olah berharap Aurel bisa melihatnya meskipun kenyataannya itu mustahil.

Mendadak tangannya bergerak kembali untuk melanjutkan tulisan yang sempat terjeda di tengah-tengah.

Oh iya, sayang. Tiba-tiba aku lupa bagaimana cara membuat kopi racikan kamu sendiri. Kalau aku tanya langsung ke Naura, kira-kira dia bakal ingat nggak ya? Secara kan kamu pasti pernah membuat kopi untuk papa. Terus ajarinnya ke Naura. Iya, kan?

Rasanya terlalu berlebihan menuliskannya namun sekali lagi itu hanyalah media untuk dirinya bisa berkomunikasi dengan Aurel. Pun hanya Rindra yang baca diary tersebut..

Teringat saat Rindra dan Hendra melanjutkan pertemuan di kafe yang baru buka setelah olahraga di gym beberapa jam lalu.

Mereka berdua duduk berhadapan di meja kayu yang terletak di sudut ruangan. Mereka mengobrol seperti biasanya, membahas tentang Toni juga pekerjaan masing-masing. Hingga Naura datang memasuki kafe kemudian celingak-celinguk mencari seseorang.

Rindra melihat Hendra dengan semangat memanggil Naura dan gadis itu tersenyum sumringah dan mengayunkan kaki semangat menghampiri mejanya.

"Katanya kamu ada tugas kuliah, kan? Duduklah di ujung dekat jendela." Rindra menunjuk spontan meja yang harus ditempati Naura. Bahkan sangat jauh dari jaraknya. Ditambah lagi suaranya yang sangat rendah seolah menunjukan rasa tidak sukanya kembali.

"Kenapa kamu begitu sama adik iparmu?" tegur Hendra lalu mengalihkan pandangan pada Naura yang masih berdiri di dekat mejanya.. "Pesanlah sesuka hatimu, nak. Kerjakan tugasmu dengan baik agar tidak dimarahi dosen kamu."

"Baik, pa."

Naura mengambil dua lembar uang merah pemberian Hendra lalu melenggang menuju bagian pemesanan.

"Kenapa kamu bersikap dingin begitu sama Naura?" Hendra bertanya atas sikap Rindra barusan. "Papa tahu kamu mungkin tidak menerima kenyataan kalau mahasiswimu sendiri adalah adik iparmu, tapi perlahan kamu akan sadar bahwa Naura nantinya akan berkontribusi banyak terhadap keluarga kita. Ingat, Naura itu adiknya Aurel. Meski mereka bukan sedarah, tapi mereka saling menyayangi bak kakak-adik sekandung."

Begitulah sepintas ingatan ketika Hendra berkata tegas tentang Naura. Mengingat hal tersebut, Rindra spontan menelungkupkan wajahnya dan mengusapnya pelan.

Bukankah seharusnya Rindra bisa beradaptasi dengan keberadaan Naura? Tapi bukankah pula Hendra terlalu berlebihan mengajak Naura? Mungkinkah tujuan Hendra semata-mata membuka pikiran bahwa Naura akan beralih peran dari pengasuh menjadi adik ipar?

"Kalau aku terus-terusan menunjukkan rasa tidak sukaku pada Naura, apakah papa akan memarahiku lagi seperti barusan?" tanya Rindra pada diri sendiri. "Lagipula kan, aku nggak melulu bersikap cuek pada Naura. Ngapain papa terlalu berlebihan?"

Ketukan pada pintu kamarnya memecah lamunan Rindra sebentar. Kemudian tak lama Toni membuka pintu dan mengayunkan kaki pelan menghampiri ayahnya seraya mengucek mata.

"Toni? Kenapa belum tidur, nak?" tanya Rindra menyadari Toni memeluk kakinya.

"Ayah. Toni lapar," keluh Toni dengan isakan yang sedikit terdengar. "Toni mau makan."

"Loh, bukannya tadi sudah dikasih makan sama Om Eka?" tanya Rindra heran.

"Atau kamu keasyikan main sampai lupa makan?" tuduhnya mulai menggendong anaknya dari bawah dan memangkunya ke paha. "Jujur sama ayah. Kamu asyik main sampai disuruh Om Eka makan tapi nggak mau, kan?"

Toni mengangguk pelan sambil menyandar dada ayahnya. "Toni minta maaf, ya. Toni tidak patuh sama Om Eka, bahkan sama kakek."

Toni saja merasa bersalah pada Rindra. Harusnya Rindra juga merasa demikian pada Hendra telah membuat Naura seperti orang asing baginya. Entah kenapa hal tersebut membuatnya tertampar, sekali lagi anaknya malah lebih maju dibanding dirinya.

"Iya. Ayah maafkan." Rindra mengulum senyum sambil mengelus punggung anaknya. "Mau makan apa? Siapa tahu malam-malam begini masih ada penjual makanan."

"Toni mau burger. Seperti yang dibelikan Om Eka."

Rindra melepas pelukan Toni dan membuat tatapan intens sambil menyapu rambut anaknya yang sempat kacau.

"Baik, ayah antar. Tapi kamu harus janji sama ayah, tidak boleh lagi keasyikan main. Kalau waktunya makan, Toni harus makan."

Rindra menyodorkan jari kelingkingnya tepat di depan wajah Toni.

"Janji ya? Sama tante Naura juga tidak boleh begitu ya."

Toni mengangkat satu tangannya di sebelah kiri kemudian memberikan jari kelingking untuk ditautkan ke jari milik Rindra.

"Janji." Suara lucu Toni mengundang Rindra untuk mengacak rambut anaknya sambil mencubit pipi gemas Toni.

"Nah, gini baru anaknya ayah Rindra," ucap Rindra bangga kemudian memberikan high-five dan secepatnya dibalas oleh Toni dengan semangat.

Rindra mulai menurunkan Toni dari pangkuannya lalu berdiri dari kursi putarnya.

"Tunggu di sini ya, nak. Ayah mau ambil jaket di lemari. Habis itu kita pesan burger sesuai yang Toni mau." Rindra memberikan instruksi, tak lupa tangannya kembali mengacak rambut Toni.

"Iya, ayah."

Toni benar-benar keluar dari kamar. Selagi anaknya menunggu, Rindra langsung menghampiri lemari yang berseberangan dengan ranjangnya. Lalu membuka pelan pintu lemari dan menyibak beberapa jaket serta sweater miliknya. Beruntung dalam waktu singkat, Rindra menemukan sweater warna hitam yang menjadi pilihannya. Karena mereka hanya akan drive-thru jadi Rindra hanya membawa kunci mobil, dompet, serta ponsel untuk berjaga-jaga.

Melihat raut gembira Toni ketika dirinya keluar dari kamar membuat Rindra makin semangat menuruti permintaan anaknya. Rindra pun menarik Toni keluar dari rumah melalui ruang tamu. Jangan lupakan Rindra yang mulai mengunci pintu kemudian menyalakan kendaraannya dengan alarm mobil.

Setelah mengeluarkan mobil dari garasi dan memastikan pagar tertutup rapat, barulah Rindra mulai berkendara perlahan meninggalkan rumahnya sebentar untuk memenuhi perut sang anak.

***

Beberapa hari berlalu hingga hampir sepekan setelah pertemuan Naura dengan Rindra dan Hendra di sebuah kafe. Pada pagi hari, Naura sedang menikmati sarapan serealnya dengan lahap. Tentu Naura yang menyiapkannya sendiri tanpa ikut campur tangan sang mama. Naura harusnya menemukan mamanya keluar dari kamar dengan membawa tas tangan. Namun kali ini Naura tidak melihatnya lagi bahkan saat mengecek dalam kamarnya, justru mamanya pergi lebih dulu dan membuat Naura sendirian di rumah.

Sebelum berangkat kuliah, Naura memastikan grup obrolan di mata kuliah Sistem Penunjang Keputusan. Dia menelusuri pesan-pesan terbaru dari teman-teman sekelasnya, ada beberapa yang berkonsultasi terkait tugas yang diberikan. Hanya Naura saja yang tidak bertanya sebab tahu akan tugas tersebut.

Semangkuk sereal miliknya mulai berkurang, juga tangan Naura masih memegang ponsel. Naura memutuskan melanjutkan aktivitas paginya dengan energi serta semangat yang tinggi, sebab hari ini ada empat mata kuliah yang harus diikuti. Tentu saja ada dua mata kuliah tambahan secara daring, pun Naura harus ikuti juga.

Saat mengambil sepatu di rak, tiba-tiba ponselnya berdenting di atas meja. Sudah pasti itu adalah Eka, sekretaris papanya yang merangkap menjadi sopir untuknya. Naura tidak peduli berapa kali Eka mengantarnya namun yang jelas dia tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membayar ojek daring. Uang pemberian papanya ditabung untuk ke depan.

Naura buru-buru menggunakan sepatunya di ruang utama. Begitu selesai, Naura langsung mengambil ponsel di meja tanpa menyalakannya sama sekali.

Sebelumnya Naura mendengar suara dentingan di ponselnya. Naura pasti tahu pesan yang dikirim lima menit lalu adalah Eka. Paling isinya hanya meminta Naura cepat. Pun Naura tidak pernah membuat Eka menunggu. Begitu mobil menepi di depan rumah, Naura bergerak cepat mengunci pintu dan memastikan pagar rumah tertutup rapat.

Bunyi klakson menggema dua kali. Naura yang sedang duduk di sofa ruang utama langsung berdiri semangat kemudian mengambil tasnya dan mengangkutnya di punggung.

Naura mulai mematikan semua lampu sebelum pintu rumahnya terkunci. Memastikan semua aman, Naura keluar dari rumah dengan menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya. Lalu berjalan cepat menuju pagar besi yang menjulang tinggi.

Ketika Naura menggembok pagar dan berbalik, tiba-tiba Naura dibuat terkejut dengan mobil SUV di depan rumahnya. Tunggu, bukankah seharusnya mobil jenis MPV milik papanya yang datang? Kenapa justru mobil lain?

Jendela kaca dibuka si pengemudi dan menampilkan wajahnya dari dalam.

"Loh? Pak Rindra?" Jari telunjuknya mengarah pada orang yang berada di mobil SUV tersebut. "Kenapa Pak Rindra ... menjemput saya?"

"Kamu nggak baca pesan dari papa?" tanya Rindra memastikan. "Kak Eka lagi mendampingi papa rapat pagi. Jadi nggak bisa jemput, makanya saya diminta menjemput kamu. Itu suruhan papa, bukan atas dasar inisiatif saya."

Sejenak Naura merasakan sekujur tubuhnya mendadak kaku. Bahkan tak ada keinginan untuk bergerak sama sekali. Bagaimana bisa seorang Rindra yang harusnya bisa sampai lebih cepat ke kampus, malah menuruti keinginan Hendra?

"Ta–tapi, Pak ..."

"Tidak ada tapi, tapi. Naik cepat! Saya nggak mau telat gara-gara kamu!" seru Rindra mendesak Naura cepat masuk dalam mobilnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top