Bab 22

***

(Kamu jangan sedih, Aurel. Kalau saja aku bisa cepat menemukan adikmu, aku yakin kamu pasti sangat senang.

Sebagai gantinya, aku berikan voucher paket liburan untuk kita berdua. Ajak Toni juga tidak apa, atau mau ajak papa juga tidak apa. Mereka ikut, aku yang tanggung tiket dan penginapannya.

Harap saja surat ini bisa sampai bersamaan dengan kado dariku.

Salam dari suamimu tercinta, Rindra.)

Naura akhirnya bisa membaca surat itu secara keseluruhan. Namun lagi, itu tidak memuaskan dirinya akan petunjuk yang belum dia ketahui tentang keluarga sambungnya setelah berpisah dari mamanya.

Di meja belajarnya, dia hanya bisa termangu memandang kertas usang tersebut. Surat tulisan Rindra ternyata hampir tiga tahun lalu. Terbukti ada tanggal beserta tahun surat tersebut ditulis. Usia pernikahan Rindra dan Aurel saat itu adalah tiga tahun. Dan saat itu pula Naura masih kelas 12 SMA.

Apa Kak Aurel memberitahu penyakitnya pada Pak Rindra dan papa sehingga dia disayang seperti itu? Batin Naura mengira-ngira.

Naura tidak salah berpikir, bahkan Rindra menyiapkan surat khusus untuk kakaknya. Atau bisa saja itu adalah bentuk kasih sayang Rindra, alih-alih tahu tentang penyakit yang dialami Aurel.

Begitu rumit memecahkannya padahal Naura tidak berada di tengah-tengah mereka. Naura menyudahi berpikir, dia berdiri dari kursi kemudian menghempaskan tubuhnya ke ranjang besar.

Seperti kebiasaan sebelum tidur, Naura memandang langit-langit kamar. Ponsel tak dimainkannya karena harus mengisi daya untuk digunakan besok.

"Lemonade. Lemonade." Naura terus saja menyebut minuman kesukaan kakaknya melalui mulutnya. "Pak Rindra juga ikut menyukai minuman favorit Kak Aurel? Terus, apa dengan begitu Pak Rindra belum move on dari Kak Aurel meski sudah meninggal hampir setahun?"

Jujur, Naura juga tidak ingin bayangan Aurel dalam kepalanya lenyap begitu saja. Setiap malam dia merindukan kakaknya, tak lama setelah tahu hal sebenarnya dari papanya. Naura bahkan enggan menerima kenyataan. Sama seperti saat menjelang kenaikan kelas 11, Naura harus berpisah dari Hendra dan Aurel. Yang membuat Naura tak ada pilihan lagi selain hidup bersama mamanya.

"Apa Pak Rindra juga berpikir seperti itu ketika Kak Aurel dirawat di rumah sakit?" Naura kembali menerka, menyinggung tentang hal 'menerima kenyataan'. "Pak Rindra nggak mau terima kenyataan bahwa Aurel sudah pergi meninggalkannya?"

Hembusan napas pelan menjadi penanda bahwa Naura tak mau berpikir hal yang buruk-buruk lagi. Naura memutuskan memejamkan mata setelah rasa kantuk mendera diri. Tentu Naura ingat besok ada jadwal kuliah yang harus dia ikuti. Ditambah lagi ada kelas tambahan di sore hari, jadi tidak boleh membuang waktu memikirkan hal omong kosong.

Sementara itu, Rindra sedang menuliskan sesuatu di meja kerja kamarnya. Meja yang dia tempati ini mengarah menuju pintu keluar kamar, tentu posisinya agak jauh. Sekitar 15 meter. Di depannya sudah ada ranjang putih besar dan lemari di seberang ranjang.

Rindra masih menarikan tangannya di atas buku. Entah kenapa fokus Rindra seakan terkunci pada buku ukuran B5 tersebut. Matanya bergerak dari kiri ke kanan mengikuti tulisan yang telah tercipta pada kertas buku.

'Untuk Aurel yang aku sayang ...' Tulisan indah Rindra sebagai pembuka pada lembaran yang barusan ditulisnya.

Rindra memiliki kebiasaan menuliskan sesuatu berupa diary untuk Aurel. Seakan-akan Aurel tetap dianggap ada oleh Rindra. Isi diary kali ini tentang bersyukurnya Rindra saat menemukan adik sang istri bernama Naura Aneisha. Awalnya dia sempat lama meragukan hal itu, namun dia bisa melihatnya sendiri setelah Naura ikut makan malam bersamanya juga sang mertua.

"Sudah capek-capek aku memenuhi permintaan Aurel dan ternyata Naura adalah mahasiswaku sendiri dan anak sambungnya papa. Bagaimana bisa aku nggak tanya dulu ke papa?" Rindra mengusap wajahnya kasar kemudian menangkupnya. Lalu tak lama diikuti geraman kecil menandakan sedang meluapkan amarah. "Meskipun begitu, Aurel pasti senang adiknya ada di sekitar kami. Papa juga kelihatan menyayangi Naura seperti papa sayang sama Aurel, walau mereka bukan sedarah."

Sepantasnya Rindra juga ikut senang, semua hal yang Naura inginkan tercapai. Bayangkan saja, Naura begitu merindukan keluarga sambungnya. Saat menemukan papanya, Rindra yakin Naura sangat senang.

Rindra menyudahi menulis sesuatu dalam buku hingga mulai menutupnya dan ditaruh secara vertikal di sebelah kiri meja. Sebelum itu dia menyesap kopi buatannya sendiri lalu dibiarkan begitu saja di meja.

Beberapa jam lalu setelah bermain bulutangkis yang sangat melelahkan, Hendra sempat mengajak Rindra makan di restoran cepat saji yang menjajakkan burger dan ayam. Tak lupa Naura juga Toni ikut dengan ekspresi riang gembira.

Lagi-lagi Rindra merasakan sesuatu yang berbeda. Naura dan keceriaannya justru terpancarkan ketika berkumpul bersama. Tidak ada yang kaku selama pertemuan keluarga. Lain halnya kalau sama papa mertuanya, hanya obrolan biasa dan sesekali tawa menghiasi. Di antara mereka, Naura-lah paling aktif.

Salah jika Naura menganggap beban oleh Rindra. Naura sendiri tidak terlalu buruk di matanya, bahkan di luar kuliah pun. Naura juga tidak membebankan Hendra. Apa lagi kekurangan si gadis ceria seperti Naura?

Helaan napas Rindra menjadi penanda bahwa dia enggan berpikir apa-apa lagi. Lebih baik berjalan meninggalkan meja kerja lalu merebahkan diri di atas ranjang seraya memeluk bantal guling.

Rindra berniat tak membayangkan apa-apa, termasuk Aurel. Alangkah bagusnya jika mengurangi berpikir tentang Aurel.

Rindra mulai mematikan lampu menggunakan remote kecil khusus, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya agar tidak terlalu dingin oleh air conditioner di kamarnya.

***

Esok hari, Naura buru-buru menggunakan sepatunya di ruang utama. Sementara Yulianti juga ikut rempong dengan kalung perak yang mengaitkan leher. Naura menoleh ke sebelah kiri ketika mamanya sedang bersiap di depan pintu kamar warna cokelat muda.

"Mama ke arisan lagi? Gimana arisan sebelumnya?" tanya Naura iseng. "Apa mama kalah atau bagaimana?"

"Dua kali kalah, tapi pas di hotel itu mama menang," jawab Yulianti biasa, tentunya disambut decakan kaget dari Naura.

"Mama menang di tempat ketiga itu?" tanya Naura sangat terkejut. "Mama dapat berapa?"

"Yah kurang sejuta tapi lumayanlah. Bisa beli kebutuhan sama belanja-belanja sedikit."

"Mama belanja apa?" Naura kembali bertanya memastikan.

"Baju-baju buat arisan berikutnya."

Mendengar hal itu, Naura spontan melongo bahkan menghentikan aktivitas ikat sepatunya. Lantas pandangannya menoleh pada mamanya yang tengah duduk di meja makan untuk merias sebentar dengan bedak.

"Tunggu. Bukannya baju mama banyak? Kok beli lagi?" Naura mendadak heran.

"Baju-baju mama monoton banget. Mama tuh mau yang colorful gitu biar match dengan teman-teman mama."

Naura mendecih pelan. Kegengsian mamanya seakan menjadi kebiasaan buruk berikutnya. Mamanya tidak ingin ketinggalan dan berbagai cara pun dilakukan agar menjadi pusat perhatian teman-teman sang mama.

"Ma. Baju mama kan bagus-bagus semua, kenapa beli lagi?" Tentu Naura menyayangkan Yulianti yang kembali membuang uang dalam sekejap, padahal mamanya menang dalam satu arisan.

"Yah, jangan salahkan mama yang gila belanja begini. Salahkan 'mantan' papa kamu itu. Dia yang buat mama jadi seperti ini," tegas Yulianti seakan tak ingin dirinya dipojokkan atas sifat buruknya.

Mendengar hal itu Naura terperanjat. Ekspresinya justru mendadak berubah.

"Buat apa sih, ma? Kenapa harus bawa-bawa papa?" Naura berdiri dari lantai tempatnya duduk barusan, lalu melayangkan protes seolah tidak menerima mamanya menyalahkan Hendra.

"Papamu tidak tahu diri, menceraikan mama begitu saja tanpa ada alasan kuat. Gini-gini mama belanja juga karena papamu yang sering belanjain tas dan perhiasan buat mama. Jadi ya mama nggak salah apa-apa, papa kamu yang terlalu memanjakan mama."

Sembari melanjutkan ucapan, Yulianti melipat kedua tangan dan menaikkan satu kakinya.

"Kalau mama boleh jujur, mama kepengen menjatuhkan 'mantan' papa kamu dengan bicara hal buruk pada siapapun yang menjadi relasinya Hendra. Biar nanti Hendra ikut hancur bersama mama. Biar impas juga."

Naura menggelengkan kepalanya sebagai respon atas kelakuan mamanya. "Bahkan mama pisah dari papa pun, mama tetap tidak menyerah buat ngancurin hidup papa ya. Katanya nggak perlu ganggu papa dan kehidupan barunya, katanya nggak boleh mendatanginya. Mama kok begitu sama papa? Setahu Naura, papa nggak pernah sama sekali belikan sesuatu buat mama. Mama sendiri yang meminta papa beliin tas atau kalung."

Perdebatan panjang pun dimulai, sudah lama mereka tidak beradu mulut. Yulianti pun tersulut amarah kemudian berdiri dari tempat duduknya.

"Wah, kamu membela lagi si pria tua itu!" seru Yulianti diikuti tawa kencang, lalu berdiri mendekatkan jaraknya pada Naura. "Mama jadi heran, kamu pasti bertemu Hendra kan? Terus uang yang kamu kasih ke mama, pasti dari dia, kan?"

Sial. Rutuk Naura dalam hati.

Naura berusaha menyembunyikan pertemuannya dengan sang papa, pun berbagai alasan agar mamanya percaya. Tapi ada apa sampai insting mamanya kuat seperti itu?

"Biasanya kamu kasih 250-500 ribu loh. Ini tiba-tiba sejuta. Banyak banget."

Meski mamanya menganggap adalah dugaan, Naura memilih menyangkal. Mendadak alasan menarik masuk dalam otaknya tanpa diminta.

"Nggak. Naura kerja, uang sejuta itu hasil bonus dari bos Naura."

"Kamu pasti kerja yang aneh-aneh, kan?" Yulianti menuduh sampai mengarahkan telunjuknya tepat di wajah Naura. "Sering banget diantar pulang naik mobil di depan rumah. Jangan coba-coba bohong kamu. Mama lihat dari jendela, kamu pergi dan pulang diantar sama mobil mewah."

Yulianti seakan menunjukkan kecerdikannya pada Naura. Entah kenapa hal tersebut membuat Naura tidak bisa berkata-kata lagi. Bahkan tak menyadari bahwa Yulianti mengawasinya.

Bukannya mama tidak pernah pulang ke rumah? Tapi kok bisa dia tahu kalau gue diantar sama mobil mewah yang notabene adalah mobilnya papa? Naura membatin.

"Mama, Naura nggak ada waktu ditanyai seperti itu. Naura harus masuk kuliah jam 9 pagi. Pun itu kelas tambahan juga, ma."

"Mau menghindar ya kamu?" Yulianti spontan mengejar Naura yang mana gadis itu cepat-cepat mengambil tas dari sofa ruang tamu.

Barusan Naura bak dikejar sesuatu, pergerakannya secepat kilat meninggalkan mamanya dari dapur.

"Maaf, ma. Naura telat. Semoga arisan kali ini menang ya, ma." Naura berteriak di ambang pintu, langsung meminta izin untuk berangkat kuliah.

"Naura! Mama belum selesai bicara! Jawab pertanyaan mama tadi!" Yulianti tak dapat mengikuti langkah Naura karena putrinya berlari sangat kencang. Bahkan pintu pagar besi hitam di sebelah kiri justru terbuka setengah.

Sementara itu, Naura terengah-engah menjauh dari rumah miliknya dan keluar dari jalanan akses tempat tinggalnya. Dia berada di jalan utama kompleks rumah. Harusnya Eka datang menjemput Naura lagi, namun dengan cepat dia mengabarkan sekretaris papanya.

"Halo, Kak Eka? Posisi di mana?" tanya Naura mendadak cemas. "Masih jauh ya? Kak, tolong mobilnya nanti jangan di depan rumah. Saya ada di depan jalan masuk. Kak Eka nanti bisa lihat saya kalau sudah dekat. Iya, terima kasih."

Sungguh, Naura tidak tahu jika insting Yulianti benar-benar kuat. Bahkan soal pemberian uang yang memang dari Hendra.

Naura memang terkejut, namun sekali lagi dia ingin menyembunyikan semuanya dari sang mama. Takut saja jika masalah baru muncul, apalagi dikaitkan dengan papanya. Yulianti pasti akan marah besar.

Sebaiknya dia menunggu Eka sambil sesekali mengawasi kalau mamanya keluar dari rumah dan mengejarnya. Untung di sekitarnya sepi jadi Naura merasa aman.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top