Bab 21

***

Suara decitan sepatu antara dua pemain menggema satu ruangan. Rindra yang kini bermandikan keringat itu tidak menyerah mencari kok yang baru saja dipukul Hendra menggunakan raket, kemudian balas mengayunkan raketnya dengan kencang.

Sementara Naura bak penonton menyaksikan pertandingan, dengan semangatnya Naura mendukung Rindra dan Hendra tanpa peduli siapa kalah dan menang. Eka yang menggunakan setelan jas tampak memangku Toni yang juga ikut antusias melihat sang ayah bermain bulutangkis.

"Ayo papa! Pak Rindra!" teriak Naura seraya bertepuk tangan di kursi penonton sebelah kiri.

Rindra terengah-engah, menoleh Naura yang memberikan dukungan untuknya. Jangan lupa serta papanya sekalian.

Permainan berlanjut ketika Hendra duluan memukul kok ke arah Rindra. Berbagai macam gaya diperlihatkan Rindra, bahkan sampai harus melompat seraya menggeram kencang. Ayunan raketnya juga cukup kuat.

Pandangan Naura mendadak terpaku saat Rindra mulai menyugar rambut yang basah oleh keringat ke atas. Bahkan Rindra tetap terengah seraya berkacak pinggang ketika mulai kehabisan napas. Benar-benar memanjakan mata Naura.

'Pak Rindra memang paling ganteng kalau dalam keadaan kayak gini. Beruntung sekali Kak Aurel, punya suami yang gantengnya berlipat-lipat ini.'

"Papa sudah capek?" tanya Rindra memastikan. "Rindra sudah capek, bahkan main sampai dua set hari ini. Papa semangat sekali mainnya, nggak sia-sia papa memenuhi janji untuk main bersama."

"Jadi yang menang siapa?" tanya Hendra mengalihkan topik.

Rindra tertawa renyah mendengar pertanyaan mertuanya. "Nggak ada yang menang atau kalah, pa. Murni hanya bermain aja."

Seolah tak tahan dengan rasa capek yang mendera, Rindra mulai berbaring di atas lantai interlock seraya memperbaiki napasnya.

"Ganteng banget." Tanpa sadar pujian itu dilontarkan langsung dari mulut Naura. Untungnya Eka serta Toni di sampingnya tidak mendengarkan.

"Mainmu hebat, nak." Hendra memuji sambil menyodorkan jempolnya.

"Terima kasih, pa. Papa juga ... mainnya bagus." Napas Rindra memendek kala berbicara. Dia sungguh harus mengistirahatkan diri selama beberapa menit baru bisa berbenah.

"Oh iya, papa boleh pergi sebentar untuk beli minuman sama Eka? Sekalian papa juga mau singgah ke kantor mau ganti baju."

Rindra mengangkat pelan kepalanya ketika Hendra meminta izin ke suatu tempat.

"Kenapa nggak pesan daring aja, pa?" tawar Rindra.

"Kebetulan papa lupa bawa baju ganti. Tetaplah di sini. Lagipula kamu pasti capek banget main bulutangkis. Seraya istirahat juga, kan?" Hendra mulai mengayunkan kaki meninggalkan lapangan.

Hendra memasukkan raketnya di tas khusus kemudian mengaitkan talinya di belakang punggung.

"Ayo, Eka." Hendra memberikan kode mata agar segera mengikutinya.

"Toni ikut." Anak kecil itu sadar dengan maksud kakeknya dan berceletuk seakan ingin berada di tengah-tengah mereka.

Hendra mengulum senyum ketika menoleh ke belakang, masih berdiri di pinggir lapangan. "Bawa Toni sekalian."

"Baik, pak."

Eka menggendong Toni dan berjalan keluar dari koridor penonton. Naura ikut keluar namun dia tidak ikut papanya sebab inisiatif sendiri mengajak Rindra bicara.

Setelah Hendra beserta Eka juga Toni pergi dari gedung olahraga kampus, Naura pun berjalan pelan mengitari lapangan bulutangkis dan tahu-tahu Rindra sudah bangkit seraya mengambil sesuatu dari dalam tas hitam miliknya.

"Bau keringat di mana-mana," celetuk Naura seolah ingin mengalihkan atensi dosennya. "Bapak bau keringat."

Rindra mendengar ledekan Naura kemudian menolehkan kepalanya. "Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu nggak ikut papa?"

"Nggak ikut tapi cuma nitip minuman aja ke papa, biar papa beliin sekalian."

Tak lagi menanggapi, Rindra duduk sebentar di bangku yang tersedia di pinggir lapangan sambil meneguk air minum miliknya dari tumbler. Naura ikut duduk di pinggir lapangan namun memberikan jarak jauh dari Rindra.

"Oh iya, pak. Tadi sebelum Bapak ngajak main bulutangkis sama papa, apa Bapak bawa baju ganti sebelumnya? Atau Bapak pulang ke rumah dulu buat bawa?"

Pertanyaan acak dari Naura, dia tidak punya pilihan lain lagi. Padahal banyak sekali hal yang ingin dia bicarakan pada Rindra namun belum terealisasikan melalui ucapan.

"Saya terbiasa selalu bawa baju ganti karena saya nge-gym dulu sebelum ke kampus." Rindra menjawab sambil mengelap keringatnya di kening dengan handuk kecil. "Setiap pagi ya saya selalu bawa itu. Kadang cuma ditaruh di bagasi mobil, nggak saya keluarkan. Jika saya punya jadwal pagi, atau saya kena shift di jam tertentu. Yang membuat saya tidak sempat ke gym."

Naura mengangguk paham dengan ucapan dosennya.

"Memang kenapa sih kamu tanya begitu?" tanya Rindra mengernyit kening justru heran.

"Emm nggak sih, pak. Cuma penasaran aja, karena saya kerja di Bapak pun saya nggak tahu menahu soal kehidupan pribadi Bapak."

Padahal kan mau tanya tentang Pak Rindra yang sempat nyariin gue waktu Kak Aurel masih hidup. Tapi kenapa itu nggak keluar dari kepala gue ya? Batin Naura spontan membuat wajah menyebalkan.

Rindra langsung berdiri dari duduknya dan kembali mengacak isi tas besarnya.

Naura mengikuti pergerakan Rindra. Baju kaos dikeluarkan Rindra dari tas tersebut. Lalu sejenak Naura terperangah melihat tindakan Rindra selanjutnya.

Spontan Naura berbalik arah agar tidak memastikan memandang apa yang tidak semestinya.

"Bapak ngapain lepas baju kayak gitu?" tanya Naura dengan suara lantang. Dia tidak salah lihat, Rindra menarik bawah bajunya sampai ke atas leher hingga hampir melihat badan kekar dosennya.

"Kamu sendiri ngapain masih di sini?" balas Rindra seakan keberatan.

"Saya nggak mau loh ya mata saya ternodai!" seru Naura tidak memandang dosennya kali ini.

"Ya sudah keluar sana." Rindra mengusir sambil menengadahkan tangan menunjuk pintu keluar. "Saya mau ganti baju di sini. Mumpung gedung olahraga lagi sepi."

"Kenapa nggak ganti di kamar mandi aja? Atau di ruang ganti?" Naura menggerutu lalu menghentakkan kaki pelan menuju pintu keluar di sebelah kanan lapangan.

Tidak ada lagi orang di sekitar, Rindra dapat leluasa melepas baju sport abu-abu gelap miliknya. Kemudian mengelap badannya menggunakan handuk kecil.

Entah kenapa dengan tindakannya ini justru teringat sesuatu. Ketika Rindra bermain bulutangkis bersama Aurel, dia sempat membuka baju karena saat itu dia bersimbah keringat.

Di lapangan dalam ruangan hanyalah mereka berdua. Dan ketika Rindra berniat memakai baju baru, Aurel memeluknya bahkan menghidu aroma tubuhnya sendiri. Kata Aurel, itu aroma khas Rindra. Dia sangat menyukainya.

Mengingat hal tersebut, dia justru tersenyum sendiri. Terkadang Aurel manja terhadap dirinya, dan sifat manja itu menurun ke putranya. Buktinya, Toni justru menempel ke Naura dan menarik Naura pulang ke rumah untuk dibacakan dongeng.

Aku masih saja mengingat itu, Aurel. Andai kamu masih hidup, bisa saja aku membuat kamu lebih dimanjakan lagi. Batin Rindra masih belum menghilangkan senyum dari bibirnya.

Setelah menyingkirkan ingatan tersebut, Rindra pun memakai baju kaos lengan pendek krem jenis slim fit. Lalu mengatur kembali isi tas besarnya agar memastikan rapi di dalamnya.

"Minuman datang!" seru Hendra dengan setelan jas serta celana kain abu-abu serta Eka yang memegang kedua kantong kresek berisi minuman cup ukuran besar. Naura ikut di belakang mereka dengan membawa minumannya sendiri yaitu strawberry milkshake.

"Papa beli banyak sekali minuman." Rindra tertawa melihat pandangan tidak biasa dilihatnya. "Apa karena papa nggak punya uang kecil jadi belinya sekalian banyak gini?"

"Bisa saja menantu papa." Hendra membalas candaan Rindra dengan memukul pelan lengan kekar itu. "Oh iya, papa beli lemonade kesukaan kamu. Papa jadi ingat kamu sangat suka minuman ini."

Rindra menerima sodoran dari papa mertuanya sekalian dengan sedotan terbungkus kertas. "Terima kasih banyak, pa."

"Loh, itu kan ..." Naura sempat menunjuk saat Rindra mulai menggoyangkan isi cup. Minuman segar dengan irisan buah lemon beserta gula sirup sebagai pemanis.

Spontan saja Naura melotot, dia berpikir sejenak. Bukankah lemonade itu minuman kesukaan Aurel? Entah kenapa, Rindra seakan membangkitkan kenangan tentang kakak sambungnya tanpa diminta.

Dia ingat saat dulu Naura SMA, kakaknya sering menitipkan minuman irisan buah lemon serta air karbonasi ketika pulang sekolah. Yang membuat Naura juga ikut menyukai minuman tersebut.

'Nau, tolong beliin Kakak lemonade ya. Kalau bisa dua cup.'

Sangat jelas dalam pikiran Naura tentang betapa manjanya Aurel saat membujuk dirinya memenuhi permintaan sang kakak. Naura hanya menggaruk kepalanya ke belakang seakan baru mengetahui hal tersebut.

Lihatlah, gara-gara lihat lemonade doang jadi nggak bisa move on. Bisa-bisanya ya gue langsung tahu apa yang disukai Kak Aurel? Batin Naura meracau.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top