Bab 19
***
Rindra tak menyangka harus ketemu Naura di saat mengetahui fakta bahwa Naura adalah anak sambung mertuanya. Bahkan Rindra tetap bersikap canggung selama menyantap makanannya. Rindra berpikir hanya ada Hendra dan Toni di restoran itu. Namun apalah daya, mungkin saja Hendra mendesak Naura untuk ikut sekalian setelah pulang dari perkuliahan.
Merasa tidak ada topik obrolan untuk Naura, jadinya Rindra memilih berinteraksi pada Hendra yang kebetulan berada di sampingnya.
"Oh iya, pa. Besok Rindra mau main bulutangkis di gedung olahraga dekat rektorat. Papa mau ikut?" tawar Rindra masih sibuk dengan makanannya. Bahkan dia kelihatan enggan berinteraksi dengan Naura, melempar tatapan pun dia enggan.
Sambil tetap menyendok makanannya, Hendra menjawab. "Papa ada rapat sampai sore, terus ketemu investor bersama para pimpinan menjelang malam. Yah, kalau kamu maunya malam, boleh-boleh saja."
Rindra hanya berdeham singkat sebagai jawaban. Sementara Hendra mengalihkan pandangan pada Naura, menanyakan hal sama seperti menantunya.
"Kamu suka bulutangkis? Apa kamu mau ikut sama papa dan Rindra?"
Naura terperanjat begitu ditawarkan papanya. Selama berkuliah, belum pernah sekalipun menonton pertandingan di gedung olahraga milik Junjungan. Apa perlu dia melihat Rindra yang lihai bermain bulutangkis juga bersimbah keringat? Sepertinya Naura tidak boleh melewatkan kesempatan.
"Naura cuma ikut nonton, boleh nggak?" tanya Naura terperangah.
"Boleh dong. Mau sorak-sorak juga boleh," jawab Hendra seraya terkekeh pelan.
"Gimana Toni? Dia ikut juga?" sela Rindra.
"Sekalian sama Eka juga ikut, biar Toni ada yang jaga," usul Hendra makin antusias.
Naura juga ikut menyetujui. "Boleh juga tuh. Jadi satu keluarga deh ikut."
Meski Naura adalah pengasuh yang harus dia gaji, Rindra masih belum terbiasa dengan keberadaan orang baru di dalam keluarganya. Walaupun Naura adalah mahasiswanya, Rindra tetap menghindari kontak mata dengan Naura. Interaksi sedikitpun juga tidak tercipta di antara mereka.
Saat hening menghampiri, Hendra spontan mengusulkan sesuatu yang mungkin saja membangkitkan suasana mereka yang kini terlihat canggung.
"Ayo, siapa yang mau bungkus? Mana tahu ada yang masih ingin makan di rumah masing-masing." Hendra menawarkan opsi kepada Rindra dan Naura.
"Bungkus ayam goreng bumbu balado, sama sambal kacang." Naura langsung mengangkat tangan semangat.
Rindra nyaris tercekat melihat antusias Naura. Segitu bahagianya dia bahkan meminta bungkus tanpa rasa malu pada Hendra? Gelengan kepala pun menjadi reaksinya sekarang.
"Baik. Papa juga mau bungkus tumis kangkung rasanya." Hendra sangat tidak sabar, bahkan beliau mengusap kedua tangannya.
"Pa. Papa sudah banyak makan hari ini," jelas Rindra seraya menunjukkan kumpulan piring di meja sekitar Hendra. "Papa malah nambah nasi tiga kali, loh."
"Nak. Papa juga sudah lama nggak ke sini," balas Hendra tak mau kalah. "Jadi papa pengen puas-puasin diri makan sekenyangnya. Yang bayar juga papa, suka-suka papa dong."
Naura tertawa renyah melihat papanya yang mendadak berjiwa muda. Reaksi Rindra hanya gelengan kepala pelan sambil menyesap minuman miliknya.
Rindra sadar dirinya jadi sasaran tawaan Naura, hingga dia mulai menyorot tajam mahasiswinya di hadapan.
"Lucu?"
Mendapatkan sorotan tersebut langsung membuat Naura menurunkan pandangan seraya menghentikan tawanya.
"Biar Naura yang pesan bungkusannya, tunggu di sini." Gadis itu mendadak berdiri dari kursi. Tinggallah tiga orang yang berada di meja. Rindra masih sibuk menghabiskan makanan sebab datang paling telat.
"Rindra tahu kok Naura itu anak sambungnya papa. Tapi bukankah itu berlebihan mengundang Naura ke sini?" tanya Rindra seolah mengajukan keberatan pada Hendra. "Bukannya melakukan pekerjaannya malah ikut gabung makan malam sama kita."
"Apa salahnya sih, nak? Ngajak anak sambung papa sendiri?" Hendra menepuk bahu menantunya beberapa kali. "Lagipula kan dia adiknya Aurel meski bukan sedarah."
"Bukannya Rindra nggak mau, cuman ..." Pria kemeja polos lengan panjang itu mengedikkan bahu. "Agak canggung aja. Naura memang berhasil menemukan papanya yaitu papa sendiri. Tapi terlalu baik padanya juga nggak bagus, pa. Takutnya dia keterusan."
"Sudah. Jangan mandang buruk-buruk Naura, nggak baik," peringat Hendra dengan tegas. "Toh dia juga punya kewajiban mengurus Toni. Pun Toni nyaman banget sama Naura. What's wrong?"
Meski belum terbiasa dengan kehadiran Naura sebagai keluarga, setidaknya Rindra harus sering membiasakan diri bertemu Naura baik dalam mode pekerja maupun mode seorang anak yang ketemu papanya.
"Rindra mau minta bungkus juga," ujarnya tiba-tiba lalu berdiri dari kursi. "Siapa tahu Rindra lapar tengah malam."
***
Tepat jam 10 malam, Naura kewalahan menyeret Toni yang melengket di kakinya. Toni seakan enggan melepas pelukan Naura, bahkan sambil tertawa cengegesan. Naura dan sekeluarga berada di depan pintu masuk restoran. Sementara mobil SUV Rindra menepi tepat di hadapan.
"Toni, ayo ikut ayah yuk. Besok kamu harus sekolah." Rindra memberikan kode melalui tangan agar Toni bisa menjauh dari Naura.
"Nah, dipanggil ayah tuh. Lepasin kaki Tante ya," pinta Naura dengan penuh senyuman, bahkan dia mendorong Toni lembut agar anak itu bisa melepas pelukannya.
Toni menggeleng pelan, bahkan kepalanya yang terus mendongak. Bahkan dia membuat tatapan iba seolah menginginkan Naura untuk ikut bersamanya.
"Tante, ayo ikut sama Toni di rumah. Mau dibacain dongeng." Anak kecil itu bersikap manja lalu menarik-narik tangan Naura. Balasan Naura hanyalah tertawa pelan.
Rindra memegang kepalanya tiba-tiba pusing seraya membuang napas. Hendra yang berada di sampingnya memberi senyuman maklum, sembari melempar tatapan pada Naura yang sedang berjuang melepas Toni.
"Tante Naura harus pulang ke rumahnya, nak." Rindra memperingatkan.
"Biar papa yang bujuk Toni."
Hendra pun turun tangan dan berjalan mendekati Naura serta Toni kemudian membungkukkan tubuh meminta cucunya agar melepaskan pelukan di kaki Naura.
"Ayo, biar kakek saja bacain dongengnya ya. Mau dongeng yang mana? Si kancil? Atau mana yang Toni suka?"
Toni menoleh ke arah kakeknya. Wajah cerah di depannya spontan membuat cengkraman tangan pada permukaan celana Naura mengendur.
"Ayo, anak pintar. Pulang sama ayah sama kakek." Hendra mulai merentangkan tangan. "Tante Naura harus pulang ke rumahnya. Tante Naura punya orang tua, Toni juga punya orang tua yaitu ayah Rindra. Kalau Toni nahan-nahan Tante Naura seperti itu, nanti dicariin ibunya. Sama kayak ayah yang cari-cari kamu bila kamu tidak ada."
Makin dibujuk makin membuat Toni seakan ditarik oleh sesuatu hingga kaki mungilnya terayun pelan menghampiri Hendra yang masih merentangkan kedua tangan. Lalu Toni mulai memeluk tubuh besar itu.
"Ayo, kakek. Toni juga ngantuk." Toni meminta dengan pelan, lalu diikuti suara menguap yang sangat jelas.
"Akhirnya, berhasil juga." Hendra berucap syukur seraya menggendong cucunya dan mulai meluruskan tubuh setelah membungkuk barusan.
"Kadang Toni penurut bila diminta ayahnya atau kakeknya. Tapi nggak tahu kenapa Toni pengen kamu ikut juga sama kami," tutur Hendra memberikan pemahaman pada Naura.
"Nggak apa kok, pa. Mungkin Toni terlalu nyaman dengan orang yang dia suka. Papa juga pasti ngerasain hal itu, kan?" Naura ingat betul papanya pernah cerita tentang Toni ketika dititipkan di ruang kerja Hendra.
"Oh iya benar. Waktu Rindra jemput Toni di kantor papa, Toni malah narik-narik baju papa agar ikut bersama dia." Hendra terkekeh ringan ketika ingatan itu mulai menyeruak dalam kepalanya.
"Ya sudah, kamu diantar Eka ya ke rumah," jelas Hendra seraya memberikan arahan melalui kepalanya. Dia melemparkan perintah pada seorang sekretaris yang sedang berdiri di dekat mobil MPV miliknya. "Sementara papa ingin naik mobil Rindra untuk nginap di sana, sambil jaga Toni."
"Baik, pa."
"Kalau kamu butuh apa-apa, bilang saja ke Eka."
Naura mengangguk semangat. "Iya, baik, pa."
"Kalau begitu, hati-hati di jalan ya, nak."
Senyuman hangat sang papa diterima Naura. Tak lupa tangan Hendra mengacak rambut pendeknya seakan membuat Naura membeku sejenak.
Lagi-lagi Naura tak dapat merangkai kata. Perlakuan baik Hendra padanya sudah lebih dari cukup, bahkan Naura tak mengharapkan hal tersebut.
"Papa pergi dulu, ya. Kabari papa kalau kamu sudah sampai di rumah." Hendra memberi pesan sambil menjauh dari Naura dan menghampiri mobil SUV yang sedari tadi berada di depan restoran.
Naura melambaikan tangan ketika Hendra masuk dalam mobil milik Rindra. Setelah mobil tersebut melaju, Naura pun mendekati sang sekretaris dan menyuruh Eka untuk berangkat. Meski dia melakukannya dengan canggung.
"Jangan gugup begitu, Nau. Anggap saja saya adalah sopir Anda." Eka menjelaskan agar Naura paham.
"Cuma saya belum terbiasa diantar seperti ini. Biasanya saya pergi dan pulangnya naik transportasi daring." Naura menaiki mobil dan menempati jok samping pengemudi. "Oh iya, Kak. Bisa singgah di minimarket U-tion? Saya mau beli sesuatu."
Eka mengiyakan perintah Naura sambil bersikap hormat seperti biasanya. "Baik, apa pun untuk putri Bapak Hendra."
Naura mulai tertawa dengan tingkah laku Eka yang dinilai kaku. "Santai aja kali, Kak. Saya bukan orang berkepentingan dan hanya orang biasa."
"Ini kewajiban saya untuk bersikap begitu." Nada bicara Eka tetaplah datar, tidak naik dan tidak turun.
"Iya, Kak. Yang penting antar ke U-tion ya, Kak."
"Siap!"
Hanya berdua di mobil membuat Naura merasa agak canggung, namun lagi-lagi dia harus terbiasa dengan kehidupan papanya. Banyak yang belum dia rasakan selama menjadi anak sambung Hendra. Kesempatan datang kepadanya, meski Naura masih perlu mencari lebih banyak petunjuk. Terlebih tentang kakaknya.
'Oh iya, surat. Surat yang ditulis Pak Rindra. Apa gue boleh baca lagi nggak ya? Semoga Kak Eka nggak lihat dan tanya-tanya.'
Diam-diam, Naura mengeluarkan secarik kertas di saku celana. Kemudian lipatan kertas tersebut dibukanya sebagian dan membaca dari bagian atas. Sebelumnya Naura menoleh ke arah Eka, untungnya si sopir memandang lurus ke depan tanpa gangguan apa pun.
Mata Naura bergerak menelaah kalimat dari tulisan tangan milik dosennya.
(Untuk Aurel Utami Putri yang aku sayang ...
Sayang, kamu nggak lupa kan hari ulang tahun kamu? Aku siapkan banyak hadiah untukmu, termasuk beberapa kumpulan foto kenangan kita dari awal bertemu sampai kita memiliki Toni.
Oh iya. Tentang permintaan mencari adikmu, aku sudah usahakan mencarinya. Cuman ya, asal kamu tahu saja, sayang. Aku sudah datangi alamat yang sempat kamu kasih ke aku. Hasilnya nihil, katanya penghuni yang tinggal di sana sudah pindah rumah. Maaf untuk hadiah itu, aku belum bisa kabulkan. Nama Naura banyak, bukan cuma satu Naura aja. Pun aku nggak tahu nama lengkapnya siapa. Kalau papa bisa bantu, semoga saja papa dapat kabulkan.)
'Tunggu. Pak Rindra cari ... gue?' Naura menunjuk dirinya sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top