Bab 18

***

Rindra sedang membereskan meja sebelum beranjak dari kampus menuju kantor. Rindra hanya memasukkan laptop serta berkas lainnya di tas briefcase warna abu-abu gelap. Di ruang dosen tidak ada siapapun sebab dosen lainnya sedang memenuhi aktivitas mengajar. Hanya Rindra yang selesai hari ini.

Rindra mengecek jam di pergelangan tangan, pukul 16.00 sore. Harusnya dia tidak boleh telat untuk melakukan satu pekerjaan di kantor. Lekas dirinya mengangkat tas kerja dan melangkah cepat keluar dari ruang dosen.

Begitu Rindra dekat dengan pintu kaca gedung, dia mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana untuk menelepon salah satu rekan timnya.

Sementara itu, Naura melihat Rindra yang terburu-buru keluar dari gedung kampus, ketika selesai menuruni tangga dari lantai dua. Matanya salah fokus saat secarik kertas di kantong celana Rindra terjatuh saat merogoh ponsel. Alhasil, dia sempat memanggil Rindra dengan keras namun tak didengar dosen itu. Malahan Rindra sungguh menjauh seraya Naura berusaha mengambil kertas tebal tersebut.

"Duh, jangan bilang ini penting banget buat Bapak." Naura cemas kertas itu kini berada di tangannya dan entah dengan cara apa mengembalikannya.

"Siapa tahu ini hal pribadi, mumpung Pak Rindra belum pergi. Gue harus kasih cepat."

Naura berniat melangkah keluar, namun baru dua kaki dipijaknya, Naura justru menahan diri. Seolah rasa penasarannya menggebu terhadap kertas tersebut. Mungkin saja adalah hal yang omong kosong melihat kertas usang itu, tapi perasaan Naura mengatakan bahwa ada sesuatu penting di dalamnya.

Bagaimanapun Naura menemukan banyak fakta setelah bekerja pada Rindra, salah satunya adalah papanya yang ternyata mertua dosennya sendiri. Juga Aurel yang merupakan istri dosennya sendiri. Akankah membuka kertas itu kembali menemukan jawaban?

"Apa semacam suratkah?" tebak Naura. "Kalaupun isinya cuma catatan pengingat atau hal-hal terkait materi yang Pak Rindra ajar ya nggak apa-apa. Gue bisa kembalikan pada empunya. Mana tahu penting, kan?"

Naura memilih untuk tidak membukanya dulu melainkan memasukkannya ke dalam saku celana pensil yang dipakainya. Nanti saja dia baca kalau ada waktu.

Sungguh, sehari saja Naura tidak ke rumah Rindra membuat banyak teka-teki belum terpecahkan dari keluarga papanya yang baru. Bagaimana jika papanya menyembunyikan sesuatu yang sejak awal tak Naura ketahui?

Naura baru ingat dia akan dijemput sekretaris papanya. Untung Naura belum memesan taksi daring. Jadinya dia tinggal menunggu di depan gedung kampus.

Belum semenit menunggu, mobil MPV memasuki pekarangan kampus. Naura melihatnya dari jauh, sekitar hampir 10 meter. Mobil yang biasa Hendra gunakan untuk kepentingan pekerjaan.

"Ayo, Naura. Bapak Hendra menunggu kamu!" seru Eka dari dalam mobil, tak lama setelah menepikan kendaraan.

Naura sangat bersemangat kemudian menuruni sepuluh anak tangga dan membuka pintu mobil, duduk di samping Eka yang menggunakan sabuk pengaman.

Pria berambut klimis itu menyapa Naura dengan sikap wibawa kemudian Eka menjelaskan bahwa Naura akan diantar ke kantor Hendra terlebih dulu sebab Toni ada di sana setelah dijemput Eka.

"Anda lapar? Mau saya belikan sesuatu?" tawar Eka kemudian.

"Loh, kok tiba-tiba begini sih, Pak Eka?" Naura terkekeh sebentar.

"Ini perintah Pak Hendra. Untuk menawarkan ke putri Bapak."

"Apa boleh nih?" Naura memastikan perkataan Eka dan anggukan mantap dari sekretaris itu menunjukkan keseriusan.

"Ini juga masih sore, Naura. Kita akan makan malam jam setengah 8. Nggak apa-apa untuk menambah tenaga sebelum makan besar," tambah Eka.

"Oke deh, ke drive-thru McD. Saya mau pesan sesuatu," perintah Naura tanpa penekanan. Justru pembawaannya santai agar tak ada yang tegang satu sama lain.

Eka tertawa renyah kemudian bersikap hormat layaknya menerima permintaan atasan. "Baik, siap. Apa pun untuk putri Bapak Hendra."

Meski dirinya bukanlah anak sedarah Hendra, tapi Naura merasa ada kebahagiaan bila dianggap sebagai putri papanya sendiri. Membayangkannya jadi tersenyum sendiri, walaupun badai akan datang entah kapan. Tentu bersumber dari mamanya, bila saja nantinya tahu Naura sering menghabiskan waktu dengan Hendra. Akan tetapi sebisa mungkin Naura tidak boleh membuat mamanya tahu hal tersebut. Dia harus menutupinya seakan tidak ada yang terjadi.

***

Rindra menyelesaikan pekerjaan di kantornya hingga menjelang malam. Dia hanya melakukan optimasi serta mengikuti rapat harian.

Bolak balik kampus serta kantor menjadi kebiasaan Rindra sehari-hari. Rindra memiliki shift di siang hari kadang pula di sore hari ataupun malam. Tergantung dari jadwal mengajar yang dia punya. Kini dia hanya mengajar hingga jam empat sore jadi leluasa baginya untuk bekerja.

Sembari mengitari lobby, Rindra mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana kemudian menelepon Hendra. Dia tahu anaknya sedang ada di ruang kerja Hendra setelah Eka menjemput Toni di sekolah. Jadi hanya memastikan keadaan.

"Halo, pa? Gimana Toni? Dia sudah makan bekalnya, kan?" tanya Rindra ketika kakinya masih terayun menuju parkiran mobil. "Oh, baguslah. Tiap hari Rindra bikinin bekal biar dia nggak banyak jajan di luar. Terus papa kasih makan apalagi?"

Rindra masuk dalam mobil seraya mengikat tubuhnya dengan sabuk pengaman. Ponsel masih ditempel di telinga. "Nggak masalah buat Rindra, selama Toni senang. Baiklah, Rindra ke perusahaan papa ya untuk jemput Toni."

Rindra yang tadinya tersenyum antusias tiba-tiba mengendur. "Oh, papa sendiri mau ke rumah buat antar Toni? Tidak apa. Palingan Toni tidak mau lepas dari papa."

Sudah menjadi hal biasa bagi Rindra, terlebih Toni yang kadang menempel bila nyaman berada di sekitar Hendra.

Rindra memutuskan telepon terlebih dulu kemudian menyalakan mesin mobil dan meninggalkan kantor tempatnya bekerja. Esok hari dia kena jadwal malam, tentu dia harus mempersiapkan diri melakukan pekerjaannya dengan maksimal.

Sementara itu, Naura sedang asyik menyantap sop iga disertai nasi putih di piring. Bukan hanya Naura saja melainkan Toni di sampingnya ikut makan. Hendra di depannya juga menyantap tumis kangkung yang dia salin ke piring putih.

Mereka bertiga berada di restoran keluarga yang menyajikan berbagai macam makanan laut. Mereka duduk tepat di tengah restoran, juga banyak pelanggan di sekitarnya.

"Gimana makanannya, Naura? Enak?" tanya Hendra tiba-tiba membuat atensi Naura terhadap makanan teralihkan.

"E–Enak, kok. pa," jawab Naura gugup.

"Ini restoran favoritnya Aurel. Papa sering ajakin bersama Rindra. Entah keberapa kali kami ke sini. Waktu Aurel hamil Toni, terus pas Toni masih bayi, dan Toni berumur dua tahun. Papa nggak akan lupa waktu-waktu bersama Aurel juga Rindra."

Naura mengangguk memahami. "Berarti di sini juga restoran favoritnya Pak Rindra, ya?"

"Betul. Kadang-kadang tiap akhir pekan kalau ada kesempatan, papa sama Rindra sering ke sini. Hanya sekadar membangkitkan kenangan. Yah walaupun di tengah-tengah kami harus seperti orang cengeng lagi mengingat Aurel."

Naura juga merasakan demikian, sama seperti papanya. Dia berusaha sekuat tenaga agar tidak mengeluarkan air mata ketika membayangkan senyum merekah kakaknya. Tapi tetap saja, bola-bola kristal tercipta dan merembes sampai membasahi pipi. Itu yang sempat dirasakan.

"Cepetan makan, Nau. Masih sisa banyak tuh." Hendra mempersilakan seraya mendorong pelan piring sajian lebih mendekat pada Naura.

"Kak Eka mana? Sekretaris papa?" tanya Naura celingak-celinguk di sekitar meja.

"Dia sedang berjaga di sekitar mobil. Tadinya papa ajak tapi nggak mau. Ya nanti tinggal minta bungkus, supaya dia ikut merasakan makanan di sini," jawab Hendra dibalas anggukan pelan dari Naura.

"Oh iya, papa lupa ngabarin Rindra kalau papa telat antar Toni ke rumahnya. Padahal tadi papa bilang secepatnya antar Toni. Apa perlu papa ajakin juga ke sini?"

Hendra menaruh sendok serta garpu di piring kemudian merogoh ponsel miliknya di saku jas. Berniat menelepon menantunya.

Mengingat Rindra, secarik kertas di celana Naura seolah terpanggil untuk dikeluarkan. Naura spontan memegang permukaan celananya dan mengambil kertas lipat itu dari tempat dia selipkan. Diam-diam Naura menunduk dan melihat sebagian isi kertas usang tersebut, seraya curi kesempatan memandang papanya yang sedang sibuk menelepon Rindra. Khawatir bila Hendra menanyakan kertas di tangannya.

Rasa penasaran Naura menggebu-gebu, dia membuka lipatan kertas itu dan membaca kalimat pertama yang tertulis.

(Untuk Aurel Utami Putri yang aku sayang ...)

"Nau. Rindra mau ke sini sekitar kurang sejam, katanya ada urusan sebentar." Hendra memanggil Naura seketika menutup lipatan kertas tersebut dan menaruh kembali di saku celananya.

"Oh, Pak Rindra juga ikut ke sini, ya?" tanya Naura ikut antusias. "Bagus deh, si kecil samping Naura bakal ketemu ayahnya." Naura merujuk ucapannya barusan pada Toni yang kebetulan berjarak dekat dengannya, lalu tak ragu mengacak rambut Toni dengan gemas.

"Pulang nanti mau diantar sama Eka atau Rindra?" Sang papa memberikan opsi.

"Sama Kak Eka aja, pa." Naura cepat menentukan pilihannya seraya mengibas tangannya sungkan apabila memilih Rindra. "Takutnya Pak Rindra akan repot kalau diantar Naura. Mana ada anaknya juga, Naura jadi nggak enak."

"Ngapain merasa nggak enak, Nau? Kakak iparmu juga itu."

Secara teknis memang benar. Kakaknya menikah dengan Rindra, otomatis Rindra adalah kakak iparnya. Hanya saja Naura tampak kurang menerima dengan anggapan tersebut. Walau menggelikan, Naura merasa dia tetap harus sadar diri. Tinggal selangkah lagi dia akan menemukan jati diri keluarga sambungnya. Jika demikian, maka dia bisa menerima fakta Rindra adalah kakak iparnya selain dosen di kampusnya.

"Kata-kata yang Pak Rindra tulis di awal, 'Untuk Aurel Utami Putri yang aku sayang'. Benar-benar itu adalah surat, tapi ... kok bisa disimpan di saku celananya Pak Rindra? Apa dia ingin membacanya lagi seraya membangkitkan kenangan?" Naura bergumam seraya memandang makanannya yang belum habis di piring.

Mungkinkah surat yang belum dibaca hingga habis akan menemukan petunjuk bagi Naura? Hal-hal yang tak diketahui Naura tentang Aurel, selama menjadi istri Rindra?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top