Bab 15

***

Sepekan telah berlalu. Bahkan saat Rindra menyuruh Naura libur kerja, ternyata hingga sekarang Naura belum datang ke rumahnya ataupun mengkonfirmasi kepadanya. Rindra bahkan memilih abai ketika mengajar di kelas Naura hari Rabu. Tentu dia melakukannya semata-mata memaklumi kesedihan yang masih membekas dan dirasakan Naura kala tahu fakta yang sebenarnya.

Selesai dengan kewajiban mengajarnya, Rindra pun keluar dari gedung fakultas dan berjalan menuju belakang kampus untuk memesan sesuatu di kantin. Berhubung waktunya jam makan siang. Banyak mahasiswa berkumpul di satu kantin sebesar lapangan bulutangkis. Seperti biasa, Rindra memesan semangkuk bakso di kedai dekat pintu masuk kantin. Tak lupa Rindra juga pesan es teh manis yang berada tepat di sebelah kiri kedai bakso.

Sembari menunggu makanannya diantar, Rindra tak sengaja melihat Naura duduk sendirian di pojok seraya menyantap nasi goreng. Segera saja Rindra menghampiri mahasiswinya yang sepanjang hari membuat wajah gelisah.

"Cuma karena kamu baru tahu tentang kakakmu, kamu harus seperti ini terus?" tanya Rindra seraya menarik kursi panjang, bahkan melayangkan protes padanya.

"Pak Rindra? Bapak kenapa duduk di tempat saya?" Naura seakan enggan menerima siapapun yang numpang di mejanya, termasuk Rindra.

"Kamu masih sedih, bahkan sehari lalu saat saya mengajar di kelas kamu, malah gundah. Kalau saja kamu nggak tahu apa pun dari papa saya, tentu saya pasti akan memarahi kamu."

"Bapak tidak tahu rasanya kehilangan orang yang dicintai. Saya sangat menyayangi Kak Aurel, dia seperti kakak kandung saya sendiri."

Suara Naura masih serak, apa gadis itu masih saja menangis? Rindra menduga hal tersebut.

"Naura. Kamu juga harus tahu. Saya juga merasakan kehilangan ketika Aurel meninggal karena penyakit. Berulang kali dokter bilang ada harapan sembuh dan sebagainya, tapi nyatanya? Sama saja.

"Boleh bersedih di awal, tapi seterusnya kita harus menyisihkan rasa bahagia dalam diri kita. Biar kita tidak terlalu terpaku oleh kesedihan. Pun nggak baik juga kita sedih terus."

Naura tak peduli celotehan dosennya dan tetap menyendok makanannya. Kebetulan semangkuk bakso pesanan Rindra datang disertai es teh milik Rindra.

"Setelah makan kamu jangan pergi dulu," perintah Rindra sambil mengadukkan isi mangkuk. "Ada hal penting yang harus saya bicarakan."

Rindra tahu makanan milik Naura tersisa setengah bahkan nyaris habis di piring. Dengan menyuruh Naura seperti itu disertai nada tegas, yakin Naura akan mendengarnya.

Benar saja. Setelah menutup makanan dengan es jeruk, Naura masih duduk di tempat bahkan mengalihkan atensi kepada ponsel. Kini dia memainkan benda pipih itu terlebih dahulu sembari menunggunya.

Rindra mulai menyeruput kuah serta menyantap bola daging besar ke mulut. Seraya tatapannya beralih pada Naura yang masih memegangi ponsel. Baiklah, dia tidak boleh membuang waktu karena dia juga akan ke kantor Hendra untuk menjemput anaknya di sana.

Beberapa menit berlalu, Rindra tampak menghabiskan sisa-sisa kuah hingga menunjukkan kekosongan di mangkuk putih. Rindra langsung menyedot minuman miliknya dengan sedotan kemudian mengambil tas briefcase-nya di samping dan membuka isinya.

"Naura. Saya kasih kamu sesuatu. Saya harap itu bisa membuat kamu lebih baik."

Tidak peduli reaksi Naura, dosen itu menyodorkan amplop putih tepat di hadapan Naura.

"50% dari total gaji yang harusnya diberikan beberapa pekan ke depan." Rindra menjelaskan. "Kamu ambil saja, itu buat dirimu sendiri. Kamu sudah membuat Toni menyukai kamu dan lebih ceria dibanding dulu."

Sejenak Naura termangu. Hanya karena tangisan justru mempermudah jalannya mendapatkan uang? Naura memang punya tabungan, tapi Naura harus memenuhi keinginan konsumtif mamanya sehingga uang miliknya nyaris habis.

"Ambillah. Kamu boleh beli buat kebutuhan dan lain-lain," desak Rindra sambil menggerakkan amplop putih tersebut agar segera diambil Naura. "Kamu baru seminggu bekerja sama saya dan kamu sudah mendapatkan hasil yang baik dari pekerjaanmu. Jadi ambil saja uangnya."

Mungkin saja Naura masih merasakan kesedihan atas Aurel, tapi menangis terus menerus hanya membuat dirinya lemah. Pun akan menguras tenaga bila tetap berlarut-larut.

"Saya ambil ya, pak." Naura meminta izin lalu mengangkat tangan meraih amplop pemberian Rindra. Tentu dia tidak membuka isinya sampai perkuliahan selesai. Dia masih ada satu jadwal lagi sebelum pulang.

"Besok saya mulai kerja," kata Naura mengkonfirmasi. "Tapi saya bisanya hanya malam saja. Mungkin saya nggak bisa nganter Toni ke sekolah di pagi hari. Karena tugas kuliah saya lagi padat-padatnya."

"Boleh. Tapi tetap, untuk gaji tidak akan saya kurangin. Meski kamu minta kerja cuma di malam hari."

Kabar baik harusnya membuat Naura bahagia atau membuat senyuman di bibir, tetapi Naura hanya mengangguk kaku sebagai tanggapan. Dia tak ingin berlebihan hari ini, sebab masih ada kesedihan yang tersisa dalam diri.

"Kamu ada jadwal kuliah hari ini?" tanya Rindra seolah menjadi kebiasaan ketika ketemu Naura.

"Ada, pak. Satu aja."

"Saya kasih saran untuk kamu. Tolong jangan larut dalam kesedihan. Apalagi kan mendiang istri saya sudah tenang di atas sana. Sudah, lebih baik fokus ke kuliahmu dan membanggakan mamamu. Meski saya tahu kamu pasti membenci mamamu karena dia menyusahkan, walau begitu dia tetaplah mama. Ibu. Yang melahirkan kamu dan membesarkan kamu."

Memang benar yang diucapkan Rindra, tapi mengingat Yulianti yang sering memaksanya untuk bekerja juga mengambil semua penghasilannya tentu adalah hal yang menyakitkan. Bagaimana bisa Yulianti dengan mudahnya merampas uang miliknya sementara mamanya sendiri tidak bekerja?

Mengingat hal itu membuat Naura mendengus keras. Pun dia melupakan saran dari dosennya, tidak termasuk saran tentang melupakan mendiang kakaknya.

"Kamu nggak ada urusan di luar?" tanya Rindra kembali. "Kalau misalnya ada, saya akan antar."

Naura menggeleng cepat. "Nggak ada kok, pak. Setelah kuliah ini saya mungkin langsung pulang ke rumah."

"Ya sudah kalau begitu. Saya duluan, karena saya masih ada jadwal mengajar sampai sore."

Rindra berdiri dari kursi panjang yang setengah jam dia duduki. Kali ini dia sungguh tidak peduli akan tanggapan Naura selanjutnya.

Sementara itu, Naura menoleh ingin melihat punggung Rindra yang mulai menjauh. Lalu beralih pada amplop putih yang dia pegang sekarang. Niat awal membuka setelah semua jadwal kuliah selesai diikutinya, namun rasa penasaran tentang berapa isi dalamnya tentu menggebu-gebu.

Seperti saat memegang amplop dari sang papa, Naura tidak sabar mengetahui berapa setengah gaji yang diberikan Rindra padanya?

Naura membuka tutup amplop dan menggoyangkan isinya. Naura mengintip dalamnya, agak tebal. Segera Naura keluarkan dari amplop, kemudian menghitung uang yang didapatkannya.

Tunggu, ada selipan catatan setelah menghitung lembar uang kelima warna merah. Bentuk tulisan miring dari catatan tempel warna kuning tentu Naura hafal. Itu tulisan papanya.

Naura hanya menyimak tulisan tersebut dan dibaca dalam hati.

(Ada tambahan 800 ribu dari papa. Lebih baik jangan kasih ke mamamu. Pakailah buat kebutuhan kuliahmu, atau kalau mau sisihkan buat makan juga tidak apa-apa. Papa kasihan melihatmu yang terus larut dalam kesedihan.)

Setelah kejujuran itu, Hendra jadi tambah bersikap baik pada Naura. Lebih dibanding awal. Naura merasa menceritakan semuanya pada papa adalah hal bagus. Setidaknya Hendra kembali membuka pikiran tentang keburukan mamanya. Naura juga berharap, dia sangat ingin tinggal bersama papanya.

Namun satu hal yang menurutnya tak disangka. Tentang Rindra yang menjadi bagian dari keluarga Hendra. Naura baru tahu suami kakaknya adalah Rindra, tapi jika aturan Naura ikut Hendra, pastinya Rindra adalah kakak iparnya dan Toni adalah keponakannya.

"Nggak kebayang memanggil Pak Rindra dengan sebutan 'Kak'? Pasti awkward banget," ungkap Naura bicara dengan dirinya sendiri. "Meskipun begitu, gue kan masih ada keterikatan kerja sama beliau. Setidaknya menyelamatkan diri dar sifat konsumtif mama yang makin menjadi-jadi."

Ketika Naura menenteng totebag miliknya di lengan, dia mendapatkan satu pesan di ponselnya. Kebetulan dia memegangnya di tangan sebelah kanan. Segera dia mengeceknya dari bilah notifikasi.

Dari Hendra, papanya.

(Naura. Malam ini kamu ada waktu senggang? Ketemu sama papa di restoran, nanti papa kasih tahu tempatnya.)

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top