Bab 14

***

"Darimana kamu?" sergah Yulianti begitu tahu Naura berada di ambang pintu. Jam malam Naura baru pulang dan disambut sang mama yang menyulut amarah.

Naura membiarkan tasnya jatuh dengan lembut di kursi, memunggungi tatapan tajam yang dilemparkan mamanya. Lembutnya angin malam terasa sangat menyenangkan ketika melepaskan sepatu kets-nya. Meskipun suara desisan halus itu tak sepenuhnya dapat meredam aliran pertanyaan mamanya yang terus mengalir.

"Kenapa lama pulangnya?" tanya Yulianti kemudian. "Tadi mama pesan berlian pakai COD, tahu nggak? Mama WA kamu berkali-kali tapi tidak ada respon. Mama pikir kamu cepat pulang supaya mama bisa minta uang COD ke kamu."

Dengan langkah yang tak tergesa-gesa, Naura mengabaikan mamanya kemudian melangkah masuk ke dalam dapur yang penuh dengan aroma makanan dan kenangan. Kulkas membuka pelukannya dengan ramah, mengungkapkan segala kelezatan yang ada di dalamnya. Naura meraih botol jus jambu yang sudah dia beli sebelumnya, menggenggamnya dengan erat.

"Gara-gara kamu yang pulang telat jadi mama pinjam uang tetangga karena uang COD-nya nggak cukup!" Yulianti mulai berseru ketika tahu dirinya diabaikan sang putri. "Pokoknya kamu harus kasih mama dua kali lipat dari yang mama pinjam di tetangga tadi."

Naura tetap tidak peduli. Dia mulai menuangkan jus jambu di gelas besar dan meneguknya tanpa henti.

"Heh! Kamu dengar nggak sih mama ngomong?" teriak Yulianti tidak menerima, lalu wanita paruh baya itu meraih gelas yang dipegang Naura dan melototi putrinya tajam. "Kamu ini. Makin hari makin melawan mama saja, ya. Diajar sama sama sikapmu kayak gitu?"

"Mama jahat." Naura berucap tak ragu. "Setelah menyakiti Kak Aurel, mama juga nggak ngebiarin Naura berkunjung ke keluarga papa sesekali setelah tahu Kak Aurel menikah. Mama seolah menahan Naura, dan banyak yang Naura tidak ketahui. Semua gara-gara mama!"

Mengingat Yulianti tidak suka masa lalu disinggung begitu saja oleh Naura membuat amarahnya makin tersulut dan tatapannya kepada Naura pun makin tajam.

"Sudah mama bilang, jangan ungkit papa sama kakak tidak tahu dirimu itu!" peringat Yulianti dengan suara melengking. "Mama nggak mau dengar apa-apa lagi dari mereka, mereka sudah mama anggap tidak ada. Jangan bilang, kamu mencari-cari papa kamu itu, kan? Makanya kamu berani bilang begitu?"

"Selain menguras harta papa dan tidak terima papa pisah dari mama, ternyata menahan Naura untuk bertemu dengan mereka ya sama saja mama membuat Kak Aurel menderita. Mama ini tidak punya hati atau bagaimana?" Telunjuk Naura pun tak ragu mengarah pada wanita yang telah melahirkannya. Naura bahkan tidak peduli di hadapannya adalah mama kandungnya, selama mengetahui fakta sebenarnya dari sang papa, Naura menambah rasa bencinya pada Yulianti.

"Ini anak makin kurang ajar saja. Sudah gila kamu!" Tangan Yulianti terangkat dan berniat melayangkannya pada pipi bulat Naura. Namun saat akan menamparnya, Yulianti menahannya. Justru melotot tajam pada Naura sebagai gantinya.

"Mama jahat, mama tidak punya hati! Kak Aurel menahan rasa sakitnya dan mama nggak kasih Naura kesempatan bertemu dengan Kak Aurel! Naura benci sama mama!"

Air mata Naura jatuh seperti hujan gerimis, menciptakan jejak basah di lantai dapur, saat dia memisahkan diri dari ibunya yang masih berada di sana. Dengan langkah ragu, dia bergerak menjauhi dapur, menuju tangga yang membawanya ke lantai dua. Setiap anak tangga yang dia pijak menghasilkan dentingan keras, seperti detak hati yang berat.

Tiba di kamar pribadinya, Naura menghentikan langkahnya dan dengan perlahan menutup pintu. Napasnya tersengal-sengal, dan dia merasakan dada yang sesak karena emosi yang meluap. Dia mendekap diri di balik pintu, seperti mencoba menemukan perlindungan dari dunia yang begitu membingungkan.

Naura tentu sangat bodoh, selama enam tahun dia tidak tahu sama sekali tentang keluarga sambungnya. Justru terlalu terperdaya oleh mamanya sehingga sempat dibenci Hendra karena sering membela sang mama.

Aurel, sosok kakak sambung yang kini sudah tiada, datang dalam ingatannya. Dia merenung tentang bagaimana kebahagiaan Aurel terlihat begitu nyata, padahal di balik senyumnya tersimpan penderitaan yang tak terbayangkan. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya seperti sebatang pohon tumbang yang lambat laun merunduk hingga akhirnya roboh.

Naura merasakan kepedihan yang mendalam. Dia berharap bisa berbicara dengan Aurel, memberinya dukungan, dan meyakinkannya bahwa dia tidak sendirian. Namun, takdir berkata lain. Keputusan orang dewasa telah mencabut kesempatan itu darinya, meninggalkan luka yang begitu dalam.

Teringat kembali ketika Hendra menceritakan semuanya pada Naura. Dia sempat terkejut bahkan tidak menyangka akan fakta terbaru tersebut.

***

Beberapa jam sebelumnya

"Aurel meninggal karena suatu penyakit. Sudah setahun Aurel pergi."

Naura melihat Hendra yang bergetar saat mengucapkannya. Bahkan dirinya pun mulai gemetaran. Seakan tak percaya dengan apa yang didengar dari papanya. Naura berpikir, Aurel pasti sedang dirawat di sebuah rumah sakit yang mana Naura sendiri tidak tahu. Makanya kala mereka bertemu setelah sekian lama, Naura mendesak Hendra untuk memberitahu tempat dirawatnya Aurel.

"Papa tahu. Kamu sangat menyayangi putri kandung papa sendiri seperti kakak yang sedarah. Tapi memang ini adalah waktu yang tepat. Harusnya papa enggan bilang ini pada kamu, secara papa ingin lupakan semuanya. Aurel sudah bahagia itu sudah cukup."

"Lalu di mana makamnya, pa?" Naura kembali meraih tangan berkerut papanya. "Besok Naura akan ziarah ke makamnya Kak Aurel. Naura mau pergi sendiri, mau ketemu Kak Aurel."

"Bukan waktu yang bagus untuk ziarah, nak." Hendra melepas pelan genggaman tangan Naura, seakan memposisikan dirinya sebagai seorang ayah. "Nanti saja. Sekalian Rindra dan Toni ikut."

"Tapi, tapi ... itu ..." Naura tak dapat mengendalikan diri. Yang bisa dia lakukan kini adalah menumpahkan air mata sebanyak-banyaknya. Dia tak mampu membuka mulut lagi. Suara tangisannya-lah yang terdengar menghiasi seisi ruang tamu.

"Pa? Kok papa bisa di sini?" Rindra melenggang masuk dalam ruang tamu dan melihat Hendra yang menunduk serta Naura yang menangis tersedu-sedu.

"Papa?" Rindra melepas pegangan tas briefcase-nya kemudian menghampiri Hendra yang tampak mengusap mata menggunakan sarung tangan.

"Papa ... memberitahu semuanya tentang Aurel pada Naura?" tebak Rindra langsung menurunkan tubuhnya berlutut pada Hendra. "Jadi, Naura yang pernah papa singgung waktu kita ngopi, berarti ..."

Rindra sejenak mengalihkan pandangannya pada Naura, yang kini sedang menangis meraung-raung. Rindra bahkan tidak menyangka, mahasiswa biasa yang bekerja di rumahnya, ternyata memiliki keterikatan keluarga. Bahkan Rindra juga ingat Hendra pernah blak-blakan mengatakan bahwa Naura Aneisha adalah putri sambung mertuanya. Rindra jelas dengar nama lengkap Naura disebutkan di mulut Hendra kala itu.

"Anak ini benar-benar anaknya papa?" tanya Rindra menarik kesimpulan. "Lalu, kenapa semua itu ..."

Rindra berusaha tidak memercayai hal itu. Rindra mencoba mengartikan kejujuran mertuanya adalah kebohongan semata. Namun ingatan yang datang begitu saja membuat dugaannya sangat kuat, bahwa Naura memang ada keterkaitan dengan sang papa.

"Semuanya benar. Memang semuanya benar, nak." Hendra mengkonfirmasi di depan Rindra, bahkan tangisannya belum juga mereda.

"Naura ini berusaha mencari-cari keluarga sambungnya, termasuk kakaknya. Naura ... Naura tidak menerima kenyataan tentang Aurel, nak," tambah Hendra makin menambah isak tangisnya.

Kini Rindra mulai membaca situasi terkini, tetap terpaku pandangan pada Naura yang tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Juga menyebut nama Aurel dia tiap tangisan. Rindra seolah menebak Naura telah mengetahui semuanya atas perantara papa mertuanya.

Rindra tak perlu bertanya lebih jauh lagi, justru membiarkan mereka menumpahkan kesedihan masing-masing. Kemudian Rindra menuju teras untuk menghampiri Toni dan Eka yang sedang bermain mobil-mobilan.

"Bapak Rindra kenapa?" tanya Eka ketika melihat Rindra yang sedang duduk di lantai dekat pot tanaman. "Bapak kelihatan gelisah. Ada apa, pak?"

"Ayah kenapa?" Toni ikut bertanya, lalu melepaskan mainan mobil-mobilannya dari tangan kemudian berjalan menghampiri Rindra.

"Ayah kenapa sedih?" tanya Toni seraya meraih wajah ayahnya dan mengelusnya pelan.

Rindra menoleh kepada Toni yang cemas terhadapnya kemudian membentuk lengkungan bibir seakan mengkondisikan dirinya baik-baik saja.

"Nggak kok, nak. Memang ayah kelihatan sedih ya?" Segera Rindra menghapus air mata yang cepat mengalir sampai pipi kemudian mulai merentangkan kedua tangan dan memeluk putranya begitu erat.

"Ayah tadi juga keluar air mata," jujur Toni. "Toni nggak bohong, Toni lihat sendiri."

"Ugh, pintarnya anak ayah." Alih-alih menanggapi, Rindra memuji kepekaan anaknya.

Sejenak Rindra menghela napas, dia memilih untuk bicara yang sebenarnya pada Toni. "Iya, ayah sedih. Karena teringat ibu kamu."

"Ayah mau ingkar janji ya? Kata ayah, tidak boleh sedih lama-lama. Terus ayah malah menangis lagi. Toni nggak suka lihat ayah nangis."

Suara polos Toni mendorong Rindra untuk terus mengelus punggung sang anak.

"Iya, sayang. Iya. Ayah nggak akan nangis lagi. Ayah janji."

Toni melepas pelukan Rindra dan kedua tangan mungilnya terangkat dan memegang wajah sang ayah. Masing-masing ibu jarinya menghapus air mata yang membekas.

"Kalau ayah nangis, nanti gantengnya ilang loh."

Rindra tertawa pelan meladeni kepolosan sang anak. Seolah Toni banyak tahu tentang penampilan.

"Iya. Ayah sudah berhenti nangis. Nih lihat." Walau Rindra meyakinkan bahwa dirinya benar-benar tidak menangis, suara Rindra masih serak. Mungkin masih larut dalam kesedihan yang dia rasakan.

***

Naura pun merasakan hal sama. Dia larut dalam kesedihan setelah tahu kakak sambung yang dia sayang meninggal hampir setahun. Dia memilih tidak keluar kamar walau mamanya di luar memanggil-manggil bahkan berusaha mendobrak pintu.

"Heh, Naura! Kamu masih mau menangis kayak orang cengeng begitu?" Yulianti berteriak di depan kamar putrinya. Pintu cokelat itu masih digebraknya. "Jangan nangis! Nanti tetangga dengar, dikira setan yang menangis!"

Naura sungguh tidak peduli, dia menutup telinganya rapat-rapat. Enggan mendengar protes dari mamanya.

Bertemu papanya tentu menjadi keberuntungan bagi Naura. Namun mendengar kabar tentang kakaknya adalah hal yang membuatnya rapuh seketika. Bagaimana tidak? Naura-lah yang menyelamatkan Aurel ketika tahu kakaknya diperlakukan kejam oleh sang mama. Naura menyayangi Aurel bak kakak kandungnya sendiri. Saat itu Naura terus meminta Yulianti untuk berubah sikap pada Hendra juga Aurel. Naura juga kala itu masih membagi kasih sayang kepada Hendra, Aurel, bahkan Yulianti.

Mengingat mamanya yang sangat keterlaluan tak mengurungkan niat Naura untuk memulai benci. Naura telah sadari hal tersebut setelah enam tahun berpisah dari Hendra dan Aurel.

Ketika Naura mengusap air mata yang membekas di wajah, Naura mendapatkan satu pesan dari Rindra melalui ponsel. Segera Naura membukanya dan membaca.

(Naura. Besok nggak usah datang ke rumah. Saya kasih kamu waktu libur kerja. Tenangkan diri kamu. Kalau situasi sudah terkendali, kamu boleh konfirmasi ke saya.)

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top