Bab 11
***
"Maaf sekali ya, pak. Saya turun di sini aja, saya naik ojek daring. Saya tidak ingat ada tugas yang diberikan Pak Haidar, buat basic project Rekayasa Perangkat Lunak. Saya pikir tugas saya selesai semua, nyatanya malah masih ada satu. Maafkan saya."
Naura bilang tidak ada tugas yang harus dikerjakan. Nyatanya apa? Rindra justru kembali menyayangkan sikap Naura yang lupa akan tugas kuliah. Lagipula mustahil saja Rindra memaksa Naura melaksanakan pekerjaan sebagai pengasuh tanpa mengerjakan tugas dari Pak Haidar. Tentu Rindra mengizinkan Naura pergi ke U-tion tanpa diantar ke tempat yang dituju mahasiswinya.
Setelah menurunkan Naura di jalan, Rindra langsung pulang ke rumah tanpa basa-basi. Ketika sampai di depan rumah besarnya, Rindra terkejut dengan kedatangan mobil MPV yang dia duga adalah Hendra.
Benar saja, Rindra turun dari mobil tanpa memasukkannya ke garasi lalu sepatu Oxford miliknya membuat ketukan di lantai saat memasuki rumah melalui ruang tamu.
"Papa?" Rindra memanggil, memastikan pria paruh baya yang sedang menyiapkan makanan di meja adalah Hendra.
"Ayah!" seru Toni keluar dari dapur, berlari cepat menghampiri Rindra dan memeluk kaki jenjang terbungkus celana kain.
"Rindra?" Hendra mengikuti langkah Toni saat lari barusan dan tiba-tiba mengernyit heran. "Katanya pengasuh Toni sampai di rumah lebih dulu. Papa lihat kok nggak ada?"
"Pengasuh Toni sedang ada kesibukan, pa. Katanya ada tugas yang harus dikerjakan," jawab Rindra spontan.
"Pengasuhnya masih mahasiswa?" Hendra bertanya penasaran.
"Iya, masih mahasiswa." Rindra blak-blakan tentang latar belakang sang pengasuh, tentu agar Hendra percaya.
"Terus apa gunanya dia lebih mementingkan tugas daripada menjaga Toni? Sepertinya pengasuh yang kamu pekerjakan itu bakal tidak amanah, seperti lari dari kewajiban." Hendra menggerutu kala berbalik menuju ruang makan. Rindra mengikuti papa mertuanya sembari menggendong Toni. "Cuma yah, kalau tiba-tiba dia nggak ingat tugas, terlebih nantinya dia nggak bakal mengerjakan tugas itu, pastinya dia nggak akan dinilai oleh dosennya bukan?"
"Begitulah, pa." Rindra menanggapi dengan antusias. "Papa maklumi saja. Dia mahasiswa yang sangat sangat sibuk. Padahal, dari hari sebelumnya dia amanah kok. Dia juga menjaga Toni apalagi dia cepat banget akrab dengan Toni."
Rindra mendadak berdecak kagum ketika melihat beberapa makanan tersaji di meja. "Apa semua ini, pa? Papa yang beli atau bagaimana?"
Hendra tertawa pelan sebelum menjawab. "Papa beli. Pun keinginan si kecil pintar ini." Kedua tangan Hendra sigap meraih Toni ketika Rindra menyerahkan padanya.
"Duduklah, selagi Eka ambilkan piring untuk kita," pinta Hendra cepat kemudian keduanya duduk berseberangan seraya membuka tutup wadah makanan plastik transparan hingga aroma menguar ke atas.
Tepat setelahnya, sekretaris Hendra yang hanya mengenakan kemeja biru muda dengan lengan digelung pun membawa susunan piring ke meja. Kemudian membagikannya pada Hendra, Rindra juga si kecil yang mulai duduk di samping Hendra.
"Kak Eka nggak makan?" tawar Rindra namun spontan sang sekretaris menggelengkan kepala sambil tersenyum.
"Saya sudah makan, Pak Rindra. Barusan, sama Pak Hendra." Itu yang dia ucapkan sebelum melenggang pergi menjauhi meja makan.
"Harus kamu tahu, nak. Papa itu belum bertemu dengan pengasuhnya Toni." Hendra membuka obrolan seraya menyalin tumis kangkung serta orak tempe ke piring. "Penasaran juga kenapa dia justru uring-uringan begitu?"
"Aslinya tuh dia mau ke sini, pa," jawab Rindra berusaha membela si pengasuh agar tidak buruk di mata Hendra. "Cuma dia benar-benar lupa kalau ada tugas kuliahnya. Nggak apalah, bukan cuma dia yang biasa suka lupa. Mahasiswa Rindra yang lain kadang begitu."
"Benar juga sih, hanya kebetulan saja papa tidak ketemu sama pengasuh Toni itu. Papa sangat penasaran rupanya biar papa merasa aman kalau Toni dijaga olehnya."
Hendra sungguh menyayangi cucunya. Itu yang Rindra tangkap saat melihat raut cemas papa mertua.
"Papa gimana kerjaan?" tanya Rindra mengalih topik. "Lancar-lancar saja atau bagaimana, pa?"
Selanjutnya helaan napas berat Hendra yang terdengar. Rindra yang sedang menyalin ayam balado langsung melempar tatapan tak intens pada mertuanya.
"Siang dan malam ada rapat. Mana di perusahaan kedatangan investor baru. Ya ... ginilah kesibukan papa."
Rindra tak lagi berbicara hanya mengatup mulut. Tentu sudah benar mencari pengasuh dan menemukan Naura. Dugaannya kini sungguh terlihat. Papa mertuanya sangat sibuk bahkan tidak memiliki waktu luang seperti biasanya. Rindra saja susah melobi Hendra hanya sekadar bertemu. Eka sendiri yang bilang ke Rindra bahwa Hendra sedang rapat. Nyaris dua puluh empat jam Hendra menghabiskan waktu hanya untuk rapat.
"Tapi untuk urusan Toni, papa usahakan bisa senggang untuk menjaganya."
Spontan Rindra mendongak ketika akan menyendok nasi yang dibumbui sambal balado. "Papa kok ngomong begitu? Bukannya papa sibuk? Jangan seperti itu, pa. Bagaimana dengan pekerjaan? Rindra nggak mau kalau papa begini, nanti Aurel juga nggak akan suka."
"Papa tuh menyayangi Toni seperti papa menyayangi Aurel. Semua kasih sayang papa ke Aurel, papa lampiaskan ke Toni. Biar Toni tahu banyak yang menyayanginya," ucap Hendra gundah.
"Pa." Rindra memanggil pelan. "Jangan sedih gitu, apalagi ada Toni di samping papa." Rindra langsung mengarahkan pandangan pada putra kecilnya yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Berulang kali anak kecil itu menyendok nasi ke mulut, seolah-olah Toni tak mendengar apa-apa darinya juga Hendra.
"Gimana makanannya, sayang? Enak?" Hendra pun spontan berinteraksi pada sang cucu.
"Enak, kakek. Tapi lebih enak kalau ayah yang buat. Ayah pintar sekali masak."
Seketika saja Hendra melempar tatapan pada Rindra, memancarkan ketulusan. Hendra pastinya tahu Rindra melakukan berbagai macam cara agar Toni senang dan nyaman. Apalagi Toni yang mulai suka Rindra memasak apa pun untuk sang cucu.
"Semoga Toni juga pintar masak kayak ayah ya," harap Hendra sambil mengacak rambut mangkuk Toni.
"Tiap hari Toni sering lihat ayah masak. Sampai tadi Toni di dapur cuma mau ambil teflon, tapi nggak nyalakan kompornya. Kata ayah, tidak boleh sampai ayah yang nyalakan."
Mendengar suara lucu nan polos dari Toni membuat kedua orang dewasa itu menyimak bak pendengar dongeng.
"Anak ayah memang nggak pernah lupa ya nasihat ayah ke Toni," celetuk Rindra seraya tersenyum merekah. "Jadi Toni mau masak telur ya waktu kakek datang?"
"Iya. Tapi Toni nggak mau kena marah ayah. Jadi Toni cuma naruh teflonnya di kompor."
"Anak pintar." Hendra mencubit pelan pipi Toni. "Penurut sekali kamu, nak."
Rindra mulai menonton mereka dengan senyuman ringan. Rindra mengingat terhadap ketegasan Hendra barusan bahwa papa mertuanya menuangkan kasih sayang ke Toni sama seperti Aurel. Maklum saja papanya tidak memiliki siapa-siapa lagi setelah mama mertua juga istrinya meninggal. Hanya dirinya dan Toni saja keluarga Hendra sekarang.
Akan tetapi, dugaan kuat yang sempat tercantum di ingatannya muncul ketika mengaitkan Naura dan Hendra. Apalagi ketika Naura penasaran dengan satu foto yang dia taruh di ruang tamu tepat di samping lemari.
'Naura yang dimaksud papa itu sungguh Naura Aneisha? Kalau dipikir-pikir, mustahil Naura orang lain. Dari cerita-cerita yang kudengar dari kedua sudut pandang, bisa dipastikan kalau Naura versi papa itu memang Naura Aneisha. Perlu aku selidiki ini, tentang keluarganya dan semuanya.'
Sudahlah, hal tersebut nanti saja dilakukan. Rindra kini sedang fokus melihat Hendra dan Toni yang terus melempar senyuman. Bahkan mereka berdua tertawa bersama yang membuat Rindra juga ikut tertawa meski terdengar pelan.
"Oh iya, pa. Hari ini papa sungguh ingin istirahat di sini?" Mendengar Hendra yang berniat menjaga Toni sepanjang hari membuat Rindra inisiatif bertanya.
"Tentu. Besok pagi papa ke kantor lagi. Eka juga papa biarkan istirahat di sini," jelas Hendra.
"Apa tidak masalah, pa? Papa nggak mau pakai baju formalnya Rindra?" Sang menantu mulai menawarkan. "Tenang, muat kok ke tubuh papa."
Hendra membalas dengan tertawa begitu ringan. "Kamu ini apa-apaan sih, nak? Tak apa sesekali papa merehatkan diri dari pekerjaan yang banyak. Dengan bertemu Toni, energi papa terisi."
Rindra membenarkan. "Betul, pa. Toni bahkan makin lengket loh sama papa. Sungguh, sehari Toni nggak sama papa, Toni terus aja bicara tentang kakeknya."
Lagi-lagi Toni asyik dengan kesendiriannya tanpa mendengar obrolan dua orang dewasa di sekitarnya.
"Toni, kakek boleh nggak nginap di rumahnya Toni?" Inisiatif Hendra meminta izin pada anak si pemilik rumah. Tentu dia melakukannya agar Toni tambah senang.
"Boleh banget, kek!" seru Toni antusias kemudian turun dari kursi seraya menarik pelan tangan berkerut kakeknya. "Nanti Toni dibacain dongeng lagi sama kakek. Toni suka waktu kakek peragain beruang, terus niruin suaranya juga. Toni pengen itu lagi ya, kek."
"Iya. Apa pun buat cucu kakek." Hendra mencubit gemas hidung mancung Toni.
"Tampaknya Toni senang dibacakan dongeng dari papa," celetuk Rindra.
"Iya. Waktu kamu bawa Toni ke ruangan papa, dia pengen dibacain dongeng. Terus ya, papa bacakan cerita tentang kancil. Terus ada tentang beruang juga, papa bacain juga buat Toni. Dia malah kesenangan sampai cerita selesai."
"Perkembangan Toni sungguh bagus ya, pa. Bahkan kita sama sekali nggak pernah kasih ponsel ke Toni. Pun kalau dikasih pun, cuma sekali."
Sebagai orang tua, Rindra pastinya senang melihat Toni tumbuh di lingkungan yang baik. Tentu hal tersebut merujuk kepada pesan Aurel kala sakit. Bahwa Rindra harus menjadi ayah panutan untuk Toni. Kini pun terwujudkan.
"Ya sudah. Kalau mau kakek bacain dongeng, Toni habiskan dulu makanannya." Hendra meminta dengan nada bicara bak anak kecil. "Kasihan tuh Toni biarin makanannya, bisa nangis kalau dibuang."
"Baik, kakek." Toni mendekati kursi dan duduk kembali lalu memegangi sendok untuk melanjutkan makan.
Rindra tak henti-hentinya tersenyum ketika Toni begitu cepat menuruti permintaan Hendra. Persis sama dengan Aurel.
"Nak, bagaimana kalau kita ngopi setelah ini?" Hendra menawarkan pada Rindra. "Papa suruh Eka antar ke minimarket untuk beli kopi. Toni juga nggak apa diajak, asal dia bisa bersama Eka."
Rindra spontan menoleh kepada Eka yang sedang duduk di ruang tamu, mengerjakan sesuatu di laptop.
"Boleh, pa."
***
"Lo diantar sama siapa tadi?" Kania tiba-tiba melemparkan pertanyaan itu, menyebabkan pena Naura terhenti di atas halaman bukunya. Mata Naura terangkat, dan tatapan tajam Kania menemui matanya. Tatapan itu seperti menggali, mencari petunjuk dalam ekspresi Naura. Kecurigaan Kania terasa begitu tiba-tiba dan tidak masuk akal, namun Naura merasa ada lebih banyak yang ingin disampaikan oleh sahabatnya daripada sekadar pertanyaan tersebut.
"Kenapa lo kepo?" Naura merespons dengan nada sedikit kasar. Dia merasa ada lapisan lain di balik pertanyaan itu, seperti Kania tahu lebih dari yang terlihat. "Ah, jangan-jangan lo lihat gue masuk dalam sebuah mobil ya?"
"Waktu itu gue buru-buru dari lapangan tenis dekat rektorat kampus. Dari kejauhan, gue lihat sahabat gue dengan totebag warna kremnya masuk dalam mobil. Nggak lihat jelas sih mobilnya apa, karena jauh banget cuy. Tapi biar jauh pun, gue tahu lo sedang berdiri di depan gedung fakultas."
Meski jantungnya berdegup kencang, untungnya Kania tidak tahu Naura diantar oleh Rindra. Bisa panjang masalah jika Kania tahu. Malahan Kania bakal heboh seperti saat mengetahui Naura mengundurkan diri dari U-tion.
Sejenak Naura mengalihkan atensinya dan menoleh ke belakang melihat orang-orang keluar masuk minimarket. Bahkan dentingan lonceng ketika mendorong pintu itu menjadi ciri khas U-tion. Naura sering mendengarnya kala bertugas sebagai kasir. Rindu sekali Naura dengan tempat kerjanya itu.
Dari tempat duduknya saja yang berjarak kurang 10 meter dari pintu masuk membuatnya nyaris menangis.
"Nau. Lo pasti kangen ya kerja di U-tion?" tanya Kania seperti tahu kegundahan Naura. "Udah, gue baik-baik saja kok kerja di U-tion. Tanpa lo juga gue nggak sedih berkepanjangan."
Naura mengulum senyum ringan. Meski Kania tidak penasaran tempat kerja Naura sekarang, Naura tetap saja akan merahasiakan detailnya ke Kania. Walau harus bilang dirinya kerja sebagai pengasuh, dia tidak boleh blak-blakan dengan detailnya pada sang sahabat.
"Gue juga sengaja manggil lo ke sini untuk mengobati rasa kangen lo," tambah Kania sambil mengangkat kedua tangan dan menaruh telapaknya di belakang kepala. Seolah-olah bangga dengan inisiatifnya. "Hasilnya, lo jadi nangis, kan?"
"Lo ini." Naura memukul pelan lengan sahabatnya ketika posisi Kania sudah seperti biasa. "Lo malah bikin jiwa gue meronta-ronta untuk berdiri dan mengambil rompi warna ungu lalu melayani pelanggan di depan kasir."
Kania tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Sudah, sudah. Gimana teori yang sudah lo tulis? Selesai?"
Naura spontan menunjukkan hasil kerjanya pada Kania. "Sudah. Terus apalagi? Langsung buka laptop?"
"Iya, kan Pak Haidar mau kita brainstorm tentang proyek pengembangan perangkat lunaknya. Tunggu, gue buka laptop dulu." Kania mengangkat tas berbentuk persegi panjang dari bawah kursi kemudian membuka resleting tas tersebut dari kiri ke kanan.
Ketika Kania mulai mengeluarkan laptop dan menaruhnya di meja, Naura mendadak mengalihkan atensinya lagi dan melihat sebuah mobil MPV terparkir di sekitar teras U-tion. Spontan saja Naura memasang mata untuk melihat siapa yang menuruni mobil.
Tampak sesosok pria paruh baya dengan tubuh berisi keluar di sisi kiri mobil dan pria tinggi kemeja polos warna nila lengan panjang di sisi kanan.
"Loh, itu kan ... papa?" Naura tahu bapak berkacamata juga uban di sekitar rambut atas. "Iya, papa."
Selagi Kania fokus dengan laptopnya, Naura membalikkan tubuh dan memicingkan mata sekali lagi dari tempatnya.
'Hah? Kok sama ... Pak Rindra? Tunggu, tunggu. Kenapa bisa ya? Jadi ... benar papa punya sesuatu yang disembunyikan dari gue? Terus Pak Rindra ...?'
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top