Bab 10
***
Naura hafal bentuk wajah kakak sambungnya. Oval dan dagunya juga agak lancip. Naura tidak salah lihat saat memicingkan mata di ruang tamu rumah Rindra.
Entah kenapa, rasa penasaran Naura menggebu-gebu hingga esok hari. Saat Naura berjalan di sekitar pelataran kampus, mendadak dia dihampiri oleh dosennya, Rindra, seraya membuat ekspresi heran.
"Kenapa kamu kayak orang kebingungan begitu?" tanya Rindra. Langkah mereka mulai beriringan memasuki gedung kampus.
"Nggak, Pak. Saya cuma..." Mulut Naura mendadak kelu ketika ingin bicara apa yang dialami. Mereka berdua menghentikan langkah tepat di depan tangga.
"Kenapa? Dari semalam juga, kamu kayak orang linglung gitu, padahal kamu sedang bersama Toni di mall?"
Naura mengatur napas, bahkan kini dia tidak menatap dosennya melainkan mengarahkan pandangan ke arah berbeda.
Rindra frustrasi seraya berkacak pinggang. "Piye tho, Nau? Mukamu itu lho, dari semalam sampai sekarang itu kecut kayak kepikiran sesuatu buruk-buruk. Memangnya ada apa?"
"Nggak ada apa-apa kok, pak." Naura berkilah, padahal yang sebenarnya dipikirkan adalah wajah mendiang istri Rindra. Walau Naura berusaha untuk melupakannya, tetap saja ekspresi ceria dari foto tersebut tersimpan kuat di kepala.
"Atau saat kamu ke rumah semalam, kamu sungguh melihat foto itu?" tebak Rindra tiba-tiba.
Setahunya saat Rindra berjongkok memperbaiki baju anaknya, dia mencuri pandangan melihat Naura berjalan lurus di sekitar lemari. Rindra sendiri hafal dirinya menaruh bingkai fotonya dengan Aurel. Takut Naura berbuat macam-macam, dia segera berdiri dan menegur mahasiswinya. Tentu, jantung Rindra mendadak berpacu kencang. Padahal itu hanyalah foto biasa saja. Lalu ada apa sampai Rindra ketakutan begitu, malah memikirkan Naura akan melakukan sesuatu dengan foto itu?
Teringat kembali saat Hendra menyinggung tentang anak sambung beliau yang bernama 'Naura'. Dia masih ingat betul kala Hendra kesal mengingat gadis itu, namun satu hal yang ganjal, Hendra tidak mengungkit nama belakang. Dugaannya begitu kuat ketika Hendra mengatakan seorang Naura bekerja di minimarket yang pernah dia singgahi. Bahkan Naura satunya menceritakan hal yang sama dengan mertuanya.
Mungkinkah Naura yang kini ada di depannya itu sungguh memiliki hubungan dengan papa mertuanya? Justru yang sangat ingin tahu adalah Rindra sendiri, bukanlah Naura yang menyalurkan rasa penasaran dengan mengendap-endap melihat foto dekat lemari gelas.
"Iya, saya lihat foto itu." Naura mengaku. "Tapi apa salahnya untuk lihat, pak? Lihat foto kebahagiaan Bapak dengan istri Bapak sendiri? Memang salah?"
Rindra benar-benar menguatkan dugaan bahwa Naura Aneisha adalah Naura yang disinggung papa mertuanya. Terbukti dari sikap Naura yang membela diri habis-habisan.
"Salah," jawab Rindra ketus. "Kamu tuh harusnya tahu etika dan jangan jadi orang kepoan di rumah orang lain."
"Iya, saya tahu saya salah." Naura mendadak menurunkan intonasi bicaranya. "Jadi maaf kalau saja saya pernah kelewatan di rumah Bapak." Naura pun memilih mengakhiri perdebatan yang nyaris panas kemudian membungkukkan tubuh untuk menunjukkan rasa sopannya pada Rindra.
"Saya ada kelas, mungkin dosennya sudah masuk. Maaf saya mendahului Bapak." Naura cepat-cepat menapaki beberapa anak tangga, bahkan langkahnya sangat cepat menuju lantai dua.
Sementara Rindra hanya diam di tempatnya, lalu mendecih kesal dan berbelok arah ke kiri menuju ruangan dosen.
***
Jadwal kuliah Naura hanya dua, pun setelah mata kuliah pertama ada jeda panjang. Naura jadi punya kesempatan ke tempat kerjanya lagi hanya sekadar berbelanja. Ketika di sore hari dan Naura selesai mengikuti mata kuliah kedua, Naura berdiri di depan gedung fakultas ilmu komputer sembari membawa kantong kresek berlogo U warna ungu besar yang mana tinggal menyisakan minuman teh sebotol.
"Duh mana sih ojeknya?" Pandangan Naura beralih ke layar ponsel, menggerakkan ibu jari dan telunjuk di layar bersamaan. "Mana driver-nya tidak bergerak lagi. Masih di depan gerbang kompleks kampus, bukannya jemput gue. Gimana sih?"
Naura menggerutu seraya memukul berulang kali bagian depan ponsel miliknya. Padahal sejak hampir 10 menit dia memesan, tapi titik driver di peta tidak menunjukkan pergerakan.
"Hah? Malah di-cancel?" decak Naura dengan mata melotot ke layar ponsel. "Sial, padahal mau ke rumah Pak Rindra lagi untuk kerja."
Pada saat bersamaan, klakson mobil SUV hitam milik Rindra berbunyi tepat di hadapan. Spontan Naura terkejut bahkan membuat latahnya sendiri.
"Eh, eh! Ayam!" seru Naura mengangkat kedua tangan.
Jendela mobil itu terbuka, tampak seorang pria tertawa terbahak-bahak. "Hei, ngapain menunggu di situ? Kamu belum pulang?"
"Duh, ternyata Pak Rindra." Bahkan Naura sudah bisa menebak dari jenis mobilnya. "Saya belum dapat driver nih, pak. Rencananya saya mau pesan ulang. Mau ke rumah Bapak soalnya."
"Naiklah, saya antar." Rindra menawarkan dari dalam mobil.
Naura membelalakkan mata seraya termangu. Perlakuan baik dari dosennya untuk kedua kali, setelah sebelumnya Rindra mentraktir bakso. Kini justru yang pertama kalinya Naura menaiki mobil sang dosen.
"Ayo, daripada kamu berdiri begitu, nanti nggak dapat-dapat driver-nya? Mahasiswa lain juga udah pada pulang, gilirannya mahasiswa kelas sore. Cepetan."
Desakan dari Rindra justru mendorong Naura untuk menuruni tangga gedung sebanyak kurang dari sepuluh anak tangga. Kemudian dengan cepat Naura membuka pintu belakang mobil dan mengambil posisi nyaman untuk duduk di sebelah kanan.
"Kamu malah ngambil tempat di belakang. Berarti saya malah dianggap sopir. Benar-benar," gerutu Rindra kemudian memutar persneling mobil dan memutar kemudi melajukan kendaraan roda empatnya.
Keluar dari gerbang kompleks kampus, Rindra mengendarai mobil seraya berkesempatan melihat sesekali Naura dari kaca tengah. Tampak Naura sedang sibuk memainkan ponsel. Seumur-umur membeli mobil untuk dirinya sendiri, malah pertama kali ada yang numpang mobilnya. Naura-lah yang pertama.
Hanya saja melihat Naura gundah di depan gedung kampus membuat Rindra berinisiatif mengantar Naura sampai ke rumahnya, pun akan menjalan tugas sebagai pengasuh.
Ketika mobilnya terhenti di depan lampu merah, Rindra mendapatkan telepon. Ponselnya bergetar di saku, segera dia merogohnya bersamaan dengan TWS miliknya sebagai alat komunikasi. Headset bluetooth mulai terpasang di telinga sebelah kanan setelah mengusap tombol hijau menerima panggilan.
"Iya, halo, pa?" Rindra menyapa, tak peduli Naura mendengar dari belakang.
"Kamu di mana? Toni ada di rumah?" tanya Hendra di seberang.
"Katanya ada di rumah teman sekolahnya. Mengerjakan PR bersama. Orang tua temannya yang ngajak. Ini Rindra dalam perjalanan untuk menjemputnya."
"Oh, nggak usah. Jangan kamu yang jemput," cegat Hendra. "Biar papa saja. Tahu-tahu lihat kakeknya, Toni jadi senang. Kamu pegang alamat tempat Toni berada, kan?"
Rindra mendengus pelan. Kemudian dengan tangan yang memegang kemudi, Rindra lanjut menanggapi Hendra melalui telepon.
"Baguslah kalau papa mau jemput. Lagipula Toni juga udah lama nggak ke kantor, ketemu sama kakeknya."
Naura mendadak mendongak kepala saat tak sengaja menguping obrolan Rindra dengan seseorang yang dipanggil papa oleh sang dosen. Kata kantor menjadi tidak asing baginya, sebab dia pernah melihat Rindra menggendong Toni memasuki perusahaan milik papanya.
'Apa iya Pak Rindra ini ada hubungan dengan papa? Tapi hubungan yang seperti apa ya?'
"Oh, papa mau ke rumah? Bukannya setelah jemput Toni, papa langsung ke tempat tinggal papa?"
Naura masih saja curi pandang melihat keseriusan dosennya menelepon.
"Papa mau ketemu pengasuh Toni, cuma memastikan aja kalau pengasuhnya amanah atau tidak."
Rindra ber-oh panjang memahami maksud Hendra.
"Iya, datang saja, pa."
Naura spontan memfokuskan diri memandang layar ponsel, seolah tak ingin menguping pembicaraan Rindra.
"Baik, pa. Titip salam sama Kak Eka ya."
Rindra menekan tombol di permukaan headset bluetooth miliknya dan pandangannya terkunci ke depan untuk mengemudikan mobil menuju tempat tujuan.
"Oh iya, kamu ada tugas mata kuliah lain?" tanya Rindra seraya memasang mata di kaca tengah. "Untuk jaga-jaga aja, takutnya papa saya tiba-tiba ada rapat atau bagaimana."
"Nggak ada, pak." Naura menggeleng mantap. "Malah pas istirahat di tengah-tengah saya kerjain dua tugas."
"Baik. Saya harap nggak ada. Aturan papa saya mau datang, cuma khawatir aja papa nanti ngabarin ke saya bilangnya nggak bisa lama-lama di rumah setelah mengantar anak saya.
"Tapi kalau tidak ada pun, papa saya rencananya mau istirahat di rumah saya sebelum kembali ke tempat tinggal beliau. Seraya menjaga cucunya juga. Kamu jangan canggung ke papa saya. Mengerti?"
"Baik, pak." Naura mengangguk pelan.
Selanjutnya hanya keheningan yang mengisi. Rindra masih memutar kemudi dan pandangan tetap berada di depan. Sementara Naura memainkan ponselnya untuk mengecek pembaruan di sosial media.
Ketika asyik menggulir beberapa postingan, tiba-tiba notifikasi muncul dari atas layar. Menunjukkan pesan masuk dari sahabatnya, Kania.
Segera Naura membuka pesan tersebut dan spontan saja membuat matanya terbelalak.
(Nau. Lo baru pulang kampus? Sayang, padahal gue mau ajakin lo ke U-tion. Gue minta tolong dong, kasih tahu gimana ngerjain tugas basic project RPL. Di minimarket U-tion aja ngerjainnya, gue butuh bantuan lo yang pintar ini. Plis.)
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top