Bab 5 - Pelukan Hangat
Pria ini ... pintar sekali membujuk wanita, sampai aku pun akhirnya pasrah dan mengikuti kemauannya. Dia mengantarku pulang sekaligus berhasil membuatku berbelanja baju baru untuk bisa menutupi kulit dari paparan sinar matahari langsung selama berkendara.
Namanya Rangga, orang yang asyik diajak ngobrol dan berbagi banyak hal. Wawasannya luas dan beberapa kali memberi masukan yang cukup masuk akal untukku.
“V n’ V Ciputra itu, kan, apartemen kamu?” tanyanya seraya menunjuk ke sebuah gedung yang cukup tinggi tak jauh dari tempat kami berada.
“Iya, bener.” Perlahan dia menepi untuk masuk ke depan gedung apartemenku.
“Makasih, ya Rangga, udah nganterin aku. Aku nggak tahu, kalau nggak ada kamu mungkin sekarang aku masih terjebak macet di dalam taksi online.” Aku melepas helm dan kembali menyerahkan padanya.
“Sama-sama,” ucapnya.
“Oh ya, mau mampir dulu nggak?” Sungguh, aku hanya basa-basi mengajaknya untuk mampir, tapi siapa sangka kalau rupanya dia mengiakan ajakan tersebut.
Rangga memarkirkan motor dan aku menunggunya di depan lobi. Aku menghela napas kasar, sedikit menyesal mengajaknya masuk, karena kupikir dia akan menolak. Sejujurnya aku ingin menyendiri, mengintrospeksi diri untuk menyadari kesalahan apa yang sudah kuperbuat hingga Adit tega selingkuh.
Aku dan Rangga masuk dan menuju unitku yang ada di lantai 16.
“Unit apartemen ini milik kamu? Atau sewa?” tanya Rangga saat kami berada di dalam lift.
“Punya orang tuaku. Aku masih kaum miskin yang sebenarnya masih butuh bantuan dari pemerintah. Hehehe.”
“Bisa aja. Punya orang tua kamu, berarti punya kamu juga, kan?”
“Nggak juga. Menurutku, milikku adalah apa yang aku dapatkan atau beli sendiri. Ini aku anggap sebagai fasilitas atau pinjaman dari mereka yang harus dikembalikan nantinya.”
Rangga mengangguk hingga denting lift terdengar, menandakan kalau kami sudah sampai di lantai yang kami tuju. Kami keluar bersama ke arah unitku. Namun, saat hendak membuka pintu, rupanya itu tidak terkunci.
“Kenapa, Ra?” tanya Rangga yang mungkin penasaran kenapa aku terdiam beberapa saat.
Apa Adit ada di dalam? Yang punya kuncinya kan cuma aku dan dia doang, berarti bener.
Aku menatap Rangga penuh arti, berharap kehadiran pria ini tak akan memperburuk masalah di antara aku dan Adit.
“Nggak pa-pa, kok. Ayo, masuk.” Aku hendak membuka pintu tetapi Rangga mencegahku.
“Ra, wajah kamu tegang banget dan pucat gitu. Kamu sakit? Kita periksa ke dokter gimana?” tawarnya tetapi aku menolaknya dengan tegas.
Kami pun akhirnya masuk, tetapi baru beberapa langkah, kami pun berhenti seraya menatap sosok pria tinggi berwajah bulat dengan sedikit janggut menghiasi dagunya. Susah payah aku menahan emosi yang siap meledak dan menyerbunya dengan rentetan pertanyaan tentang wanita lain yang bersama kekasihku tadi.
“Sayang, siapa dia?” tanya Adit dengan alisnya yang menukik tajam.
“Temenku,” jawabku sesingkat mungkin.
“Temen tapi sampai kamu ajak masuk ke sini?”
Pertanyaan yang menyebalkan. Bisa-bisanya dia sok cemburu pada Rangga, padahal di belakangku dia begitu asyik dengan wanita lain. Malas merespons, aku menggandeng Rangga masuk lebih dalam dan memintanya duduk di kursi pantry. Tak peduli apa yang akan Adit katakan tentang kami. Aku sudah sangat lelah hari ini.
“Ra, sebaiknya aku pulang dulu ya,” pamit Rangga hendak beranjak.
“Rangga tunggu. Kamu udah antar aku pulang, beliin aku baju ....” mata Rangga seketika membulat sempurna, diikuti alisnya terangkat bersamaan. “Seenggaknya kamu minum dulu. Aku buatin kopi mau?”
“Ta-tapi, Ra ....”
“Sebaiknya jujur sama aku, kalian ada hubungan apa, Ra? Nggak mungkin kalian nggak ada hubungan, tapi kamu ajak dia sampai masuk ke sini!” protes Adit yang membuatku menghentikan tangan ini yang sedang sibuk menyeduhkan secangkir kopi untuk Rangga.
Aku beralih melayangkan sorot tajam kepada kekasihku ini. “Sebelum aku jawab, bisa kamu jawab dulu pertanyaanku? Greenlake Citraland itu rumahnya siapa? Aku udah pacaran sama kamu lama, aku kenal semua keluargamu, alamat bahkan nomor telepon mereka aku tahu, tapi nggak pernah tahu, kamu punya sepupu cewek yang rumahnya di GLC?”
Adit mulai mengalihkan pandangannya dariku. Bola mata itu bergerak tak keruan seolah menghindari adu tatap denganku. “Itu ....”
“Dan kalau memang sepupu, nggak mungkin dong ya sampai cium-cium kamu di depan Secret Boutique?”
“Ra, aku bisa jelasin ....”
“Jelasin apa? Mau jelasin kalau dia selingkuhanmu?”
“Cukup, Ra! Jangan mengalihkan pembahasan kita! Aku udah tanya duluan tentang pria ini, kenapa justru kamu nyudutin aku?” Baru kali ini Adit membentakku seperti ini. Rasanya sangat menyesakkan. Pelupuk mata ini perlahan mulai dipenuhi air mata. Bahkan kepala ini terasa begitu panas menahan emosi.
Rangga bangkit dan mendekati Adit. “Sorry, Bro, tapi cowok sejati nggak ngebentak cewek. Kalau Anda butuh penjelasan, biar saya yang jelaskan ....”
“Bacot!” Adit langsung melayangkan tinju yang cukup keras ke pipi Rangga hingga tersungkur. “Jangan pernah ikut campur urusan gue sama Aira! Lo bukan siapa-siapa! Paham!”
“Rangga!” Aku bergegas menghampiri dan membantu pria yang baru beberapa jam aku kenal ini untuk bangkit.
Setelah memastikan Rangga baik-baik saja, aku langsung menghampiri Adit kemudian menamparnya. “Mulai detik ini, kita putus. Aku nggak bisa menjalin hubungan dengan pembohong seperti kamu!”
“Kamu lebih milih dia?”
“Terserah apa katamu. Sebaiknya kamu keluar dari sini. Aku muak lihat kamu!”
“Fine!” Adit pun pergi dari apartemenku setelah meletakkan key card cadangan di atas pantry.
“Kamu nggak pa-pa?” tanyaku kembali fokus pada Rangga yang ujung bibirnya berdarah karena ulah Adit. Dia hanya menggeleng pelan.
Ya Tuhan, sial sekali nasib pria ini. Karena diriku dia harus babak belur.
“Tunggu di sini, aku ambilkan kompres dulu.” Aku bangkit mengambil baskom, es, dan handuk kecil untuk mengompres wajah polisi tampan ini.
Pelan-pelan aku menekan sudut bibirnya yang berdarah, tetapi entah kenapa hatiku rasanya begitu sesak. Semua kenangan indah bersama Adit terlintas begitu saja dalam benak. Sambil menunduk, tanpa terasa buliran bening mulai menetes dan membasahi pipi, sesekali aku menyeka air mata ini dengan punggung tangan sebelah kiri.
Rangga menahan tangan ini, mungkin aku terlalu keras menekan bibirnya. Netra kami saling bertemu saat kepalaku terangkat untuk memastikan apa yang terjadi.
“Jangan ditahan, Ra. Kalau mau nangis, nangis aja. Kalau kamu butuh waktu sendiri, saya akan pergi dari sini.”
Entah setan apa yang merasuki pikiranku, tiba-tiba saja aku berhambur ke dada bidang Rangga. Meluapkan semua kesedihan di sana. Tak ada protes yang dia layangkan, seolah memahami hanya sebuah sandaran yang kubutuhkan saat ini. Lama berselang aku merasa ada yang sedang membelai pelan rambut panjang yang terurai, dan tak sedikit pun aku ingin menolaknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top