Bab 4 - Wanita yang Menarik

POV RANGGA

Saya melepas jaket bomber yang menempel di badan kemudian menyerahkannya kepada gadis ini. Dia tampak ragu untuk menerimanya, terlihat dari tatapannya seolah penuh tanya dengan tangan masih menggenggam rantai tas berwarna keemasan.

“Pakailah. Untuk menutupi kaki Anda ... maksudnya, kamu.” Saya teringat akan tegurannya karena cara bicara yang terlalu kaku. Mungkin dia benar, tetapi saya pun sudah berusaha mengubahnya walaupun tetap butuh proses.

“Serius?” tanyanya dengan alis menukik sebelah berbarengan dengan sebelah mata lainnya menyipit.

Saya terkekeh mendengar pertanyaan tersebut. “Seriuslah. Pakai aja.”

“Tapi, ini jaketmu aku dudukin, loh. Nggak pa-pa?” Ya Tuhan, kenapa wanita selalu saja mendebat hal yang sudah jelas? Sabar, Rangga, sabar.

“Nggak pa-pa, ayo pakai terus naik.” Dia pun langsung mengikat lengan jaket itu lalu memegang bahu saya untuk naik ke atas motor.

Sorry, ya,” ungkapnya, entah untuk apa. Saya hanya meresponsnya dengan sebuah anggukan kecil.

Saya hendak menarik gas motor untuk melaku ke tempat tujuan, tetapi sebuah ingatan kecil terlintas yang mengurungkan niat saya melakukan hal itu. Kaca helm yang sudah tertutup, kembali saya buka.

“Kenapa? Nggak jadi antar aku pulang?” tanyanya, dan lagi-lagi membuat saya terkekeh.

“Bukan, masalahnya kita belum kenalan, dan kamu juga belum kasih tahu saya alamat kamu di mana,” ucap saya dengan jujur. Harusnya sejak tadi saya melakukan ini? Entah kenapa mendadak rasanya saya begitu cupu. “Saya Rangga, tapi di tempat kerja biasanya dipanggil Daffa.”

Terdengar kekehan dari belakang yang diikuti sebuah jawaban darinya. “Aku Aira Anjani, bisa kamu panggil Aira. Apartemenku di jalan Mayjen Sungkono, Gunung Sari. Tahukah?”

“Jujur, belum sih. Bisa nanti kamu tunjukin saja arahnya?” pinta saya dan diiakan olehnya.

Motor benar-benar melaju dengan kecepatan sedang. Awal perjalanan, tak ada satu pun dari kami yang berusaha mencari topik obrolan. Saya begitu canggung, mungkin dia pun merasakan hal yang sama.

Beberapa kilometer sudah kami menyusuri jalan macet, hingga saya melihat sebuah butik. Setelah melewati lampu merah, saya pun langsung menuju butik tersebut.

“Ayo, turun.” Saya mengajak Aira ke dalam butik itu.

“Kamu mau beli sesuatu?” tanyanya sembari melepas helmnya.

“Iya. Nggak pa-pa, kan?” Dia hanya membalasnya dengan anggukan pelan.

Kami pun masuk ke dalam butik. Seorang penjaga langsung menghampiri kami dan menanyakan apa yang sedang dicari.

“Celana dan jaket untuk mbak yang ini ya, Mbak.” Aku menunjuk pada Aira dan sontak saja itu membuat wajah cantiknya mengernyit penuh tanya.

Kedua sudut bibirnya terangkat membentuk bulan sabit dan menampilkan dekik di salah satu pipinya. “Tapi, kan aku nggak lagi mau beli apa pun di sini, Rangga.”

“Iya, saya tahu. Tapi, saya nggak mungkin membiarkan kulit kaki dan tangan kamu terbakar sinar UV.”

“Aku pikir kamu nggak rela jaketmu aku dudukin.” Segera tawa mengembang menghiasi wajah, tetapi segera dia tutup dengan telapak tangannya.

“Saya rela aja. Tapi, umumnya cewek Indonesia itu nggak rela kulitnya kena sinar matahari. Jaket saya kan nggak bisa nutupin seluruh kulit kaki dan tangan kamu.”

Wanita di hadapan saya ini lantas menaikkan sebelah alisnya, kemudian menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Oke, deh. Kali ini kamu bener. Kalau gitu aku pilih celana dan jaket yang pas dulu, ya. Kamu tunggu aja di sana.” Aira menunjuk sebuah bangku berbentuk oval yang ada di salah satu sudut butik.

“Oke.” Saya langsung berbalik badan menuju bangku. Setelah itu mengambil ponsel dari saku untuk mencari tahu apartemen yang ada di jalan Mayjen Sungkono, sembari membiarkan Aira mencari apa yang cocok untuknya.

Beberapa kali mencari, akhirnya aku yakin sebuah apartemen bernama V n’ V Ciputra merupakan hunian wanita yang kini sedang berada di ruang pas. Sepertinya wanita ini bukanlah wanita biasa, mungkin dari kalangan menengah ke atas, karena mustahil dia bisa tinggal di apartemen yang cukup mewah ini.

Cukup lama dia di dalam sana, hingga akhirnya keluar dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya. Celana jins berwarna abu rokok dipadu kaus V-Neck polos berwarna navy dan jaket warna biru, makin membuatnya terlihat dewasa dibanding penampilan sebelumnya.

Untuk sejenak kelopak mata ini terasa mati rasa, begitu sulit berkedip. Namun, panggilan Aira sukses membuyarkan lamunanku.

“Sudah?” tanya saya.

“Udah, menurut kamu gimana?” tanyanya balik jujur saja membuat saya salah tingkah.

“Cantik.” Ingin sekali rasanya menggigit lidah yang lancang memuji ciptaan Tuhan ini. Entah apa yang akan dia pikirkan setelah mendengar pujian yang mungkin justru lebih terkesan sebuah gombalan.

Thank you,” sahutnya yang kemudian berjalan menuju kasir dengan tangan sambil merogoh tasnya.

“Totalnya 268 ribu, ya, Mbak,” ucap sang kasir yang kemudian hendak Aira bayar.

“Biar saya saja yang bayar.” Saya langsung mengambil dompet dan mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di atas meja kasir.

Namun, saat kasir hendak mengambil, Aira dengan cepat mencegahnya. “Jangan, Mbak.” Dia menoleh pada saya dengan tatapan yang nggak bisa diartikan. “Sorry, tapi aku nggak biasa terima apa pun dari orang baru.” Aira mengambil uang itu dan mengembalikannya ke telapak tangan saya.

“Tapi, saya yang ajak kamu ke sini tanpa persetujuan kamu. Jadi, saya yang harus bayar.” Saya berusaha memberinya pengertian. “Lagi pula, tadi kamu sudah menerima es krim dari saya, padahal belum kenalan.”

“Rangga, ini beda. Pokonya aku nggak bisa terima kalau kamu bayarin baju ini, atau aku akan pulang sendiri.”

Wanita yang menarik. Biasanya banyak wanita yang berlomba ingin mendapat traktiran, tapi Aira sepertinya bukan tipe seperti itu. Baiklah, saya harus mengalah, karena bagaimana pun juga, harga dirinya akan terlukai kalau saya tetap memaksa. Saya sendiri tidak ingin ada siapa pun yang melukai harga diri saya.

Kembali saya masukkan uang itu ke dalam dompet, dan segera keluar setelah Aira menyelesaikan pembayarannya. Dia mengembalikan jaket pada saya sebelum kami kembali melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan, saya mencoba mengajaknya mengobrol, menanyakan banyak hal tentang Surabaya. Dari sini saya menyadari sesuatu, dia adalah wanita yang friendly dan punya pendirian. Lalu, bagaimana bisa ada pria yang dengan bodohnya melepaskan wanita sepertinya?

“Kalau boleh tahu, kamu tugas di mana?” tanyanya di sela pembahasan kami tentang tempat hang out yang asyik di kota ini.

“Di Polda. Baru sih, makanya masih bingung banget sama daerah sini. Kalau kamu sendiri, kerja di mana?”

“Aku lagi magang di HAD LAW FIRM ....”

“Wow, calon pengacara rupanya.”

“Ya, kalau bukan karena ortu yang maksa, kayanya aku nggak akan sekolah di jurusan ini, deh.”

“Oh ya? Kenapa?”

“Capek banget. Jam kerja nggak nentu, apalagi gaji, kan kalau magang gini? Enaknya tuh zaman sekarang jadi influencer. Asal berani aja tampil depan kamera.”

“Menurut saya, kamu tetap bisa menjadi influencer, mengedukasi masyarakat tentang ilmu hukum yang kamu punya. Ya, seperti Koko Joseph Irianto misalnya.”

“Nggak dulu, deh, ilmuku masih cetek. Salah kasih ilmu, bisa-bisa menyesatkan. By the way, kamu asli mana, sih? Logatmu kaya nggak asing.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top