Bab 3 - Makhluk Tuhan Penuh Kode

POV RANGGA

Ini adalah hari kedua saya menginjakkan kaki di Surabaya. Terbiasa dengan kebebasan, rasanya aneh saat harus berdiam diri di mes menunggu jadwal piket, yang sudah tentu bukan hari ini.

Bermodal meminjam motor milik senior, saya pun berniat mengunjungi beberapa tempat yang menjadi ikon di Kota Pahlawan ini. Salah satu tempat yang ingin saya kunjungi adalah daerah Kenjeran. Tempat eksotik di mana kita bisa melihat hamparan laut luas, dan tak lupa jembatan terpanjang di Indonesia yang membentang sejauh 5.438 meter, menghubungkan pulau Madura dan Jawa.

Kawasan Kenjeran cukup asyik rupanya. Ada beberapa tempat wisata di sana. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Sky Dome, sebuah duplikasi Temple of Heaven yang ada di Beijing, sebuah tempat wisata yang cukup unik. Tidak seperti aslinya di Tiongkok yang menjadi cagar budaya dan tidak sembarang orang bisa masuk, Sky Dome di sini bisa bebas dimasuki oleh wisatawan.

Hati ini begitu takjub melihat tempat wisata yang begitu megah dan memiliki ciri khas zaman kuno, tetapi keindahan arsitekturnya tidak usang dan tidak kalah dari zaman modern seperti saat ini.

Dari Sky Dome, sebenarnya saya ingin masuk ke area Pantai Ria Kenjeran, hanya saja Jembatan Surabaya yang ada di depan sana sepertinya lebih menarik. Info itu saya dapatkan dari seorang penjual minuman di pinggir jalan, saat meminta rekomendasi tempat yang harus saya kunjungi di sekitar sini.

Saya lantas melajukan motor ke arah yang ditunjuk si penjual tadi. Benar saja, dari Jembatan Surabaya, keindahan selat Madura terbentang indah. Namun, tidak seperti yang dikatakan penjual minuman tadi, di sini tidak begitu ramai. Mungkin karena siang hari, orang akan malas berada di bawah terik hanya untuk melihat pesona laut dan kampung warna-warni di bawah sana.

Saya menepikan motor, mencoba melihat laut lebih dekat dari pembatas jembatan. Tak jauh dari tempat saya berdiri, seorang gadis sedang berusaha naik ke pembatas seperti ... oh tidak, saya tidak bisa membiarkan orang lain mengakhiri hidupnya di depan mata sendiri.

Sekuat tenaga saya berlari lalu menarik tubuh rampingnya hingga tubuh kami sama-sama terjatuh. Jantung ini berdetak sangat kencang, diiringi kelegaan saat berhasil menolongnya.

“Au ... sakit,” pekiknya seraya berusaha bangkit dan menepuk telapak tangan lalu merapikan baju juga tasnya.

“Mbak, tolong ya, jangan bunuh diri di sini. Kasihani para polisi dan tim SAR yang harus mencari jasad Anda di bawah laut itu nantinya. Lagi pula, di sini dangkal, Anda nggak akan mati. Mungkin mentok patah kaki atau tangan, atau bisa juga gegar otak,” cicitku.

Namun, ini aneh. Dia tak menegur atau marah, justru terlihat sibuk mencari sesuatu. Segera dia menegakkan tubuh dan membalikkan badan menatap ke arah saya sambil memicing.

“Maaf, siapa yang mau bunuh diri, ya?” tanya gadis ini dengan galak. Benar-benar aneh. Bukankah tadi dia sudah siap terjun sambil membentangkan tangan? Untuk apa dia melakukan hal itu kalau bukan untuk melompat?

Saya menjelaskan apa yang saya pikirkan saat melihatnya. Dia pun menghela napas panjang dan pasrah, enggan untuk menanggapi celotehan saya. Hanya ucapan terima kasih karena sudah membuat es krimnya terjatuh ke laut di bawah sana yang terlontar dari bibir dengan polesan lipstik entah warna apa mereka menyebutnya, tapi menurut saya itu warna natural bibir dengan sedikit saja kemerahan.

Syukurlah dia tidak benar-benar berniat untuk bunuh diri, atau saya akan menganggapnya gadis bodoh yang tak bisa menikmati hidup. Bukankah semua manusia sudah memiliki batas usianya masing-masing? Lalu kenapa sebagian orang menganggap bunuh diri adalah jalan terakhir dari penyelesaian masalah? Tidakkah mereka memiliki Tuhan yang harusnya mereka percayai untuk bisa membantunya keluar dari masalah?

Gadis itu lantas kembali ke mobilnya, sedangkan saya yang merasa bersalah, langsung menuju penjual es krim yang sebenarnya sudah hendak pergi, mencari rezeki di tempat lain. Beruntung beliau mau memberitahukan es krim yang gadis itu beli sebelumnya.

Dua bungkus es krim sudah di tangan, berniat untuk saya berikan padanya sebagai pengganti miliknya sekaligus permintaan maaf karena telah salah paham.

“Jangan pernah menangisi laki-laki yang sudah menyakiti Mbak ....” Oh, rupanya dia memang sedang ada masalah percintaan? Tapi, siapa yang peduli? Dia tidak akan membagi masalahnya dengan saya, dan saya tidak berminat untuk kepo dengan urusannya.

“Semoga anaknya cepat sembuh, ya, Pak. Ongkosnya sudah saya bayar via aplikasi.” Ternyata sopir itu bukan sopirnya. Dia ke sini dengan taksi online.

Melihatnya lebih dekat seperti ini, membuat visualnya jadi lebih cantik. Dengan cepat saya menggelengkan kepala, menepis sekaligus menyadarkan diri bahwa dia hanya orang baru.

“Ini buat Anda.” Saya menyerahkan dua bungkus es krim padanya, tetapi dia hanya mengambilnya satu dan menyerahkan yang lain pada saya.

Kami menikmati es krim bersama sambil duduk di trotoar. Kami mengobrol hal-hal random, hingga akhirnya dia menegur saya yang terlalu formal dengan menyebut diri sebagai “saya” alih-alih aku seperti orang kebanyakan. Hal itu juga yang mungkin membuatnya menerka tentang profesi yang sedang saya geluti. Tanpa sengaja, bibir ini refleks memuji kenikmatan rasa es krim coklat dipadu butiran kacang.

Kekehan kecil terdengar dan itu membuat saya menoleh ke arah samping. Senyumnya manis juga.

“Bukannya semua es krim memang enak?” katanya dan saya menjelaskan tentang enak dan nggak enaknya sebuah rasa menurut versi saya pribadi.

Tak lama dari percakapan itu, es krim kami sama-sama habis dan dia bangkit, berpamitan untuk pulang karena taksi online berikutnya sudah berada tak jauh dari tempat kami berada.

Sambil menunggu, kami hanya terdiam, bahkan sejak tadi tak ada satu pun di antara kami yang memulai untuk memberi tahu nama masing-masing. Bukannya enggan, hanya saja saya belum mendapat momen yang pas untuk mengajaknya berkenalan.

Suara dering ponsel terdengar, dia lantas mengambilnya dari dalam tas untuk berbicara dengan orang lain.

“Ya sudah, saya cancel aja ya, Pak kalau gitu?” Batal lagi? Tapi kenapa? Ingin rasanya mulut ini lancang bertanya, tetapi bukankah itu tidak sopan? Argh! Sial! Sayangnya saya tidak bisa menahan lagi.

Saya menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, tetapi dia menolak. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk memintanya menjadi tour guide untuk hari ini saja. Bukan tanpa alasan, dia seorang gadis yang baru saja patah hati. Rasanya tidak aman kalau dia sendiri dalam keadaan seperti ini. Sopir taksi bukanlah orang yang bisa dipercaya sepenuhnya. Tak ada jaminan kalau mereka juga tidak akan mengganggunya, bukan?

Setelah beberapa menit membujuk, akhirnya dia menyetujui, dengan syarat itu tumpangan gratis. Tentu saja saya menyetujuinya.

Saya menyerahkan satu helm padanya, kemudian menyalakan motor. Namun, dia tak juga naik, masih mematung di samping sambil memilin rantai tasnya.

“Kenapa?”

Alih-alih menjawab, dia hanya menunduk, lalu kembali menoleh pada saya.

“Ada apa?” Tuhan, kenapa Engkau menciptakan makhluk penuh sandi seperti ini? Sejujurnya saya lebih paham sandi morse daripada memahami ciptaan-Mu yang jenis ini.

Lagi-lagi dia menunduk sambil mengerutkan dahi. Dia menggerakkan matanya ke arah bawah, di mana rok yang dia kenakan hanya separuh paha. Apabila dia memaksakan naik, pasti akan makin menampilkan bagian tubuh yang lebih dalam lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top