FRIENDS #3

"Karena di balik setiap rahasia, ada kebenaran yang mungkin tidak mudah untuk diterima."

SMA Abdi Bangsa, Bandung.

Andara telah kembali dan muncul dari balik pintu. Namun, perempuan itu tidak sendirian. Ada Julio dan Adrian di belakangnya. Anak perempuan itu kemudian menghampiri Samuel dan memecah atmosfer canggung yang tercipta karena kata-kata Braga tadi.

Samuel, Fajar dan Braga sontak menoleh ke arah Andara. Perempuan dengan rambut hitam panjangnya itu berhenti tepat di depan meja Samuel, lalu menyodorkan sekantung plastik hitam berukuran sedang sembari tersenyum lembut. "Bu Ami nitipin ini buat lo," katanya memberi tahu.

Semua orang saling melempar pandangan bingung untuk beberapa saat, sebelum akhirnya tangan Samuel bergerak untuk mengambil kantung tersebut dari tangan Andara. "Makasih."

"Itu seragam buat lo." Andara bersedekap dan menunjuk kedua anak laki-laki yang masih berdiri di belakangnya dengan mengangkat dagu. "Kenalin, ini Julio sama Adrian."

Julio pun mengulurkan tangannya terlebih dahulu dan memperkenalkan diri sembari menjabat tangan Samuel. "Julio Aksana, lahir bulan Juli, anak pecinta alam," tukasnya dengan cepat.

"Samuel."

Lalu, Samuel beralih pada laki-laki yang disebut Andara bernama Adrian tadi. Ia juga tampak menyodorkan satu tangannya dan mengangkat wajahnya sedikit. "Adrian."

"Samuel," ulangnya pada Adrian.

Andara kemudian menyela. "Adrian ini jago banget bahasa inggrisnya, dia ketua ekskul english club di sini." Kemudian wajah anak perempuan itu beralih pada Adrian yang berada di sisi kirinya, tanpa sedikitpun melepaskan senyum di bibirnya yang tipis dan merah muda. "Kalau Adrian, jago matematika. Tapi, adik kelas lebih suka sama dia karena dia ini anak pecinta alam."

Samuel ikut tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya. Ia cukup mengerti bahwa Andara ingin memperkenalkan kedua temannya itu pada Samuel, tapi bukankah hal-hal itu tidak terlalu penting bagi sesama laki-laki?

"Gua udah bilang sama dia, kita di sini wajib gabung satu ekskul kalau mau dapat nilai tambahan," pungkas Braga percaya diri. "Dari postur badan, Samuel nih kayaknya cocok gabung sama tim basket. Lu mau, 'kan gabung di tim basket sekolah?"

"Ai sia, mamaksa batur weh." (Kamu kok maksa-maksa orang lain begitu) Fajar menoyor kepala Braga dan membuatnya meringis kesal di mejanya, sebelum menoleh ke sebelahnya, ke arah Samuel. "Lo pilih aja ekskul yang sesuai sama hobi lo. Jangan mau diajakin sesat sama playboy macam dia."

"Sirik aja lu, Jar!" balas Braga. "Ekskul basket nih lagi jadi ekskul terfavorit gara-gara menang kompetisi kemarin. Masa lu nggak tahu."

Samuel melihat Braga dan Fajar bergantian, kemudian mendengus geli. Ia lantas menengahi perdebatan kedua teman barunya itu dengan bertanya, "Kalau misalnya kita nggak ambil satu ekskul, gimana?"

"Nilai lo bakal standar di B, nggak bakal bagus kalau lo mau lanjut kuliah di jurusan kedokteran," jelas Andara. Ia kemudian menurunkan tangannya dan merangkul Braga yang duduk di depannya. "Kalau lo mau jadi fakboi nya SMA Abdi Bangsa, lo bisa gabung sama anak ini." Braga mendelik sinis pada Andara, sebelum akhirnya Andara melepaskan tangannya dari bahu laki-laki itu. "Soalnya selain main basket, lo juga bakalan diajarin tebar pesona ke cewek-cewek sama Aga. Iya, 'kan, Ga?"

Braga mendesis. "Enak aja. Gue gini-gini termasuk pemilih ya. Nggak sembarang tebar pesona ke cewek-cewek atau adik kelas gitu, gue gini-gini punya standar yang ... cukup tinggi lah kalau bisa dibilang," katanya mengoreksi.

Namun dengan cepat, Andara mendaratkan pukulan pelan di puncak kepala Braga. "Nggak usah pidato, deh. Seisi sekolah juga tahu kalau lo itu suka godain junior di tim basket."

"Tau nih, Aga," tambah Julio. "Kemarin cewek yang namanya Melisa sampai ngechat gue, gara-gara Braga pakai nomor gue buat telponan. Parah emang kelakuannya."

"Belum lagi yang namanya Sisil ya, Jul?" timpal Fajar memperparah keadaan.

Lagi, Julio menyahuti dengan penuh semangat. "Beuh! Si Anita yang adik kelas juga tuh." lalu ia dan Fajar tertawa bersama di sana, membuat ekspresi wajah Braga berubah masam. "Parah kali teman kita ini, Jar. Belum kena karma aja dia," lanjut Julio dengan logat bataknya yang tiba-tiba saja terdengar fasih.

Disinggung habis-habisan oleh Julio dan Fajar, membuat Braga tiba-tiba berdiri dari kursinya. Samuel, Andara, Julio, Fajar bahkan Adrian sontak mengalihkan pandangan mereka kepada laki-laki yang sudah dua tahun menjabat sebagai ketua tim basket Abdi Bangsa itu. Mereka tampak heran, penasaran, seolah-olah menunggu, bagaimana reaksi Braga kali ini dalam menghadapi sikap jahil kedua temannya tersebut. Namun, Braga justru merapihkan jambul pendek yang ada di rambutnya itu dan menyeringai. "Gua nggak pernah ya ngegoda mereka, tapi kalau merekanya yang tergiur sama kegantengan gua ini, gua bisa apa, Man?"

Andara pun menoyor kepala Braga dengan cepat. "Sok ganteng."

Samuel yang memerhatikan kedekatan teman-teman barunya itu pun merasa cukup lega, karena meski ini adalah kali pertama mereka bertemu, tapi kehangatan itu perlahan-lahan menjalar ke seluruh tubuh Samuel. Sampai akhirnya matanya berhenti pada satu orang di sana;Andara.

Bagaimana mungkin perempuan seramah dan sehangat Andara memiliki rahasia kelam? Meski tidak menyebutkan dengan gamblang rahasia-rahasia apa yang dimiliki oleh Andara, Samuel yakin bahwa kata-kata Braga mengarah kepada sesuatu yang kurang baik.

Belum sampai satu menit Samuel memerhatikan Andara, tiba-tiba saja sebuah dering ponsel terdengar dan Andara lah yang bergerak merogoh saku rok seragamnya. Ia memeriksa ponselnya dan mulai menempelkan layar benda berukuran tipis itu di telinga.

"Ada apa?" tanya Andara.

Yang membuat semua anak laki-laki di sekitarnya menjadi berhenti berbicara dan memerhatikan Andara.

"Shinta meninggal, Dar," kata suara di seberang sana.

Dan di saat itu juga, Andara merasa bahwa dunianya seketika berhenti berputar. Ia membulatkan matanya tak percaya secara refleks dan bersusah payah mengulang, "Me--meninggal?"

"Shinta bakal dimakamin sore ini, Dar. Lo bisa kesini, 'kan?"

Belum sempat Andara menjawab pertanyaan Miko, seluruh tubuh perempuan itu tiba-tiba saja terasa lumpuh. Kakinya lemas, seolah tanah tak lagi menjadi pijakannya. Andara menjatuhkan ponselnya ketika perlahan ia merasa tubuhnya menjadi ringan. Dan pada detik berikutnya, satu-satunya yang dilihat oleh anak perempuan itu adalah kegelapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top