9. Get Closer To You
Happy reading!
***
Can i go, where you go?
Can we always be this close forever and ever?
And oh, take me out and take me home (forever and ever)
You're my, my, my, my, my lover
Taylor Swift-Lover
***
Adira merasa sudah gila. Entah karena kafein yang sedang dia sesap atau memang otaknya sudah rusak, hingga dia ingin kembali merasakan bibir Gema yang lembut hanya dengan melihat laki-laki itu sedang menjilat benda lembab tersebut.
Gema melakukannya tanpa sadar, barangkali terlalu fokus menulis lirik untuk single Dwell Band selanjutnya, tapi logika Adira tak bisa mengenyahkan pikiran-pikiran kotor yang berputar mengelilingi. Meski begitu, Adira mencoba tetap santai, bersikap tak peduli dan berjalan melewati Gema.
"Adira? You here. Ngapain?"
Padahal, Adira berusaha untuk tidak menganggap keberadaan Gema, tapi justru laki-laki itu yang lebih dulu menyapanya, membuat Adira mau tak mau menoleh sambil tersenyum tipis.
"Hai, Gem! Ini, abis bikin kopi, supaya nggak ngantuk." Adira menunjukkan gelas kopi yang masih terisi penuh kepada Gema.
"Lo suka kopi?" tanya Gema, meletakkan buku catatannya di atas paha.
"Enggak terlalu. Bikinnya juga kalau memang lagi ngantuk banget. Tapi, sorry banget, ya, aku minta air panas sama pinjam gelasnya." Sebenarnya, Adira sudah meminta izin kepada bibi yang kebetulan berada di dapur, tapi tetap saja, sebagai orang asing yang bertamu di sini, Adira merasa harus meminta izin juga kepada Gema, anak dari pemilik rumah, meski hal itu dilakukan setelah menyeduh kopi.
Gema mengangguk. "Nggak apa-apa, pakai aja. Gue tahu pasti ngebosenin banget ngajarin Raden. Anak itu susah buat dideketin. Seharusnya, gue yang minta maaf karena mungkin lo kesusahan menghadapi adik gue."
Adira langsung menggeleng, membantah ucapan Gema. Ya, walaupun Raden memang masih menjaga jarak dengannya, tapi anak itu tetap menghargainya sebagai guru les. "Lama-kelamaan bakal akrab, kok, Gem. Dia cuma butuh waktu untuk bersosialisasi."
"Terus, sekarang dia lagi apa?" Karena posisi Gema yang berada di ruang keluarga yang dekat dengan dapur, sementara Raden belajar di ruang santai yang terhubung dengan ruang tamu, dia tidak bisa melihat adik satu-satunya.
"Lagi bikin tugas. Aku tinggal sebentar."
"You can sit, if you want. Nggak enak ngobrol sambil berdiri." Gema menepuk bagian di sebelahnya yang masih kosong. Tentu saja Adira tertarik mendengarnya. Daripada semakin mengantuk, lebih baik dia mengobrol bersama Gema, barangkali dia bisa pamer kepada Hanum karena sudah menemani Gema untuk menulis lirik lagu.
"Makasih, Gem." Adira mendaratkan bokongnya di bangku sebelah Gema.
"Sama-sama."
"Kalau kamu sendiri gimana, Gem? Do you like coffee?" tanya Adira, mencoba mencari topik pembicaraan. Dari buku Kiat-Kiat Mendekati Gebetan yang dia baca, supaya komunikasi terus berjalan, dia harus bisa memancing obrolan.
"Gue? Hm..." Gema memutar-mutar pulpennya menggunakan jari, yang justru tampak keren di mata Adira. "Not really, but lately, i've been drinking more coffee. Why?"
"Aku lihat stok kopi di rak, jadi aku pikir itu punya kamu atau mama kamu. Are you having such a hard time that you take it out on coffee? Or ... are you having trouble sleeping?" Tiba-tiba, Adira teringat dengan ucapan Raden tempo lalu. Apa mungkin Gema sedang banyak pikiran? Mungkin bukan hanya masalah internal saja, melainkan juga masalah terkait hubungannya dengan Zora.
"Maybe it's not quite right to say having a hard time, maybe ... too busy?" Gema mengangkat bahunya dengan ekspresi tidak yakin.
"You can't sleep well?"
"We can sleep when we die, right?"
Adira sempat terdiam saat pertanyaan itu terlontar dari mulut Gema. Tidak ada yang salah memang, tapi kedengarannya tidak terlalu baik di telinga Adira. Membahas kematian adalah sesuatu yang sensitif dan enggan untuk dibicarakan.
"Are you okay, Adira? It seems, you don't like what i'm saying. Sorry?" Melihat keterdiaman Adira, Gema kembali bersuara.
"Bukan gitu, tapi aku kurang setuju aja. Setiap orang berhak untuk mendapatkan tidur yang baik, tanpa harus dead terlebih dulu. Kamu juga seharusnya gitu. Kalau udah merasa lelah, kamu bisa tidur." Adira mengeluarkan pendapatnya.
"Semakin kamu sibuk dengan urusan kamu dan mengabaikan sekitar, kamu nggak bakal tahu arti tidur yang baik itu kayak apa. Istirahat bukan berarti kamu malas, tapi kamu mencoba untuk mewaraskan pikiran kamu."
"Oke-oke, gue paham, Ra. Ini cuma pemikiran aneh gue aja. Just a joke. Sorry kalau gue bikin lo merasa nggak nyaman." Dicerca dengan rentetan kata-kata, Gema langsung menampilkan senyuman manisnya, satu-satunya cara yang ampuh untuk membuat Adira kembali rileks.
"By the way, lo mau baca lirik lagu yang gue tulis? Belum selesai, tapi gue butuh saran atau kritik yang membangun. And, i think you can do that," lanjut Gema.
Adira terkesiap dengan tawaran Gema. Tak pernah terpikirkan bagi Adira kalau dia akan menjadi orang pertama yang diberi kepercayaan untuk mengomentari isi lirik lagu buatan Gema. Bukankah ini sebuah kemajuan dari kedekatannya dengan Gema? Walaupun memang, dari awal laki-laki itu bersikap humble kepadanya.
"Memangnya boleh?" Adira bertanya ragu-ragu.
"Sure." Gema langsung menyerahkan buku lirik lagunya kepada Adira. Dan, saat manik indah gadis itu menjatuhkan tatap pada judul lirik, dia langsung jatuh cinta.
"Adored Lover." Gumaman Adira ternyata didengar oleh Gema.
"Tentang seseorang yang memuja kekasihnya, dan ingin meyakinkan kalau perasaannya bertumbuh setiap hari, supaya sang kekasih tetap setia di sisinya." Tanpa diminta, Gema sudah menjelaskan maksud dari lirik lagu tersebut. Senyum yang merekah seolah-olah menjadi bukti kalau Gema sangat percaya diri dan bangga dengan lirik yang dia rangkai.
Kemudian, Adira melanjutkan bacaannya ke bagian isi.
Your beautiful holy eyes look at me questioningly
Like you want to express your confusion
But, you just stay silent, waiting for me to explain everything
So, how to start?
Oh, my love
If you knew that i really adore you
Your name is always on my mind
Never once did you leave my memory
Baru sampai sana. Padahal, Adira mulai terbuai dengan isi di dalamnya. Simpel, tapi indah. Terlebih, Gema yang membuatnya. Terasa seperti lirik tersebut ditujukan untuk Adira. Oh, apakah dia sedang berbunga-bunga? Atau ... dia hanya terbawa suasana?
"Gimana? Lo ngerasa aneh atau ada yang perlu ditambahi?"
Adira berdeham, karena tenggorokannya tiba-tiba gatal. Berusaha untuk fokus, dia kembali membaca ulang lirik tersebut sebelum berkata, "I still remember the taste of your lips even though our kiss is over. Like drugs, everything in you is really addictive."
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Adira. Dia pun bingung saat tiba-tiba pikirannya melayang ke malam festival bersamaan dengan penggalan kalimat yang terucap. Bisa jadi, itu merupakan perwakilan dari isi hatinya yang masih ingin mencicipi manisnya bibir Gema yang bercampur dengan anehnya rasa alkohol.
Alis Gema sempat berkerut samar, membuat Adira mengira kalau laki-laki itu kurang menyukai idenya. Namun...
"You are so naughty, Love. But, that's what makes me love you. Stay by my side. Don't lie to your feelings. Let's spend a beautiful night with a sweet kisses and me."
Senyum kepuasan terbit di sudut-sudut bibir Gema. Seakan-akan mereka baru saja menciptakan sebuah karya fantastis yang akan menggemparkan dunia.
"This is a masterpiece. Dari tadi gue stuck sama lirik ini, tapi kata-kata lo bikin pikiran gue terbuka. Makasih banyak, loh, Ra. Udah bantu gue." Secara spontan, telapak tangan Gema mengusap rambut Adira pelan, yang tanpa disadari menimbulkan getaran di dada Adira.
"Nanti gue bawa lirik ini untuk dibaca sama anak-anak Dwell Band yang lain. Mudah-mudahan mereka juga suka. Tapi, gue perlu izin lo juga. Lo nggak masalah kalau gue pakai kata-kata lo tadi?"
Adira yang masih mencerna tindakan tiba-tiba Gema, hanya bisa menggeleng seperti pajangan dashboard mobil. "Eng-nggak apa-apa. Pakai aja, lagi pula itu spontanitas, kok."
"Oke kalau begitu. Sekali lagi, makasih ya Adira."
"Sama-sama, Gema."
Adira tentu tak bisa menolak permintaan Gema. Bahkan, meski Gema meminta hatinya, Adira akan selalu bersedia. Because Adira realized that her feelings for Gema were increasing.
***
Adira memang pernah melihat sebuah motor Harley Davidson terparkir di garasi rumah Gema, dan dia langsung membayangkan bagaimana kerennya Gema menggunakan motor tersebut. Namun, hari ini dia mendapat kesempatan untuk menjadi penumpang Harley Davidson yang dikendarai oleh Gema.
Sepertinya, Adira harus menandai hari keberuntungannya di kalender begitu sampai di rumah.
"Gue antar lo pulang pakai motor, ya?" tanya Gema seraya menyodorkan helm kepada Adira, sementara dirinya sudah memakai pengaman kepala.
"Iya, nggak masalah. Sama saja, kok. Kecuali kalau jalan kaki. Kejauhan, bisa-bisa kaki aku copot sebelum sampai rumah." Sahutan Adira memberikan tawa kecil dari bibir Gema. "Tapi, tumben banget kamu pakai motor?" lanjut Adira.
"Jarang kepakai soalnya. Sekalian test mesinnya, masih bagus atau enggak. Mobil gue juga lagi habis bensin, belum beli." Gema mulai menaiki motor tersebut, sebelum membantu Adira untuk duduk di belakangnya.
"So, ready to go, Miss Adira?" Gema melirik Adira melalui spion.
Adira cekikikan lalu mengangguk. "Yes! I'm ready, Mr. Gema."
"Jangan lupa pegangan, nanti lo kejengkang."
Adira menurut. Dia mencengkeram sisi-sisi jaket kulit Gema sebagai pegangan. Ketika motor Gema keluar dari halaman rumah, mulai membelah jalanan ibukota yang sebentar lagi akan berganti menjadi Nusantara yang letaknya di Kalimantan Timur, Adira merasakan semilir angin membelai kulit wajahnya.
Belum pernah dia begini. Berboncengan dengan laki-laki yang bukan merupakan ayahnya. Memang, rasanya agak canggung. Tubuhnya juga sedikit menegang dengan tatapan yang memperhatikan lalu-lalang. Mungkin kalau mereka memakai mobil, Adira masih bisa rileks, karena jarak mereka tidak terlalu dekat.
Sedangkan, kalau memakai motor seperti ini, selain jarak di antara mereka yang sangat dekat, Adira juga jadi bisa menghidu aroma parfum Gema yang bercampur dengan aroma shampo, membuatnya beberapa kali menarik napas untuk menghirupnya dalam-dalam.
"Ra? Orang tua lo suka apa? Martabak manis atau martabak telur?"
"Hah? Gimana, Gem?" Suara Gema yang kurang jelas karena angin dan suara kendaraan, membuat Adira agak mencondongkan kepalanya mendekat ke arah Gema.
"Orang tua lo suka martabak manis atau martabak telur? Atau kue pukis? Atau makanan apa gitu." Gema kembali mengulang pertanyaannya, dengan beberapa tambahan.
"Untuk apa?" Adira mengerutkan kening.
"Untuk dimakan, dong, Adira. Nggak mungkin untuk dijadiin koleksi, kan."
"Eng ... maksud aku, kamu kenapa tanya kayak gitu? Orang tua aku nggak nitip apa pun."
Motor Gema tiba-tiba memelan, lalu menyingkir ke sisi jalan, tempat di mana banyak pedagang-pedagang kaki lima sedang berjualan. Laki-laki itu menghentikan laju motornya tepat di depan penjual martabak, menambah kebingungan di wajah Adira.
"Nggak enak kalau datang dengan tangan kosong. Setidaknya, gue kasih sesuatu sebagai camilan," ucap Gema sambil melepas helm.
"Bukannya biasanya juga gitu? Kamu langsung pulang." Paling-paling, Gema menitipkan salam untuk orang tua Adira. Hal itu semata-mata karena Adira merasa kalau Gema hanyalah abang dari muridnya yang sering mengantarnya pulang.
Benar. Adira-lah yang meminta Gema untuk tidak mampir ke rumah, meski laki-laki itu sempat berkeinginan untuk sekadar bertamu sebentar.
"Sesekali, Ra. Nggak apa-apa. Nggak enak juga kalau langsung pulang kayak biasanya. Kelihatan nggak punya sopan-santun." Gema turun dari motor dengan Adira yang masih berada di posisinya.
"Lo diem di sini dulu." Tanpa diduga, Gema menanggalkan jaket kulit dan menyampirkannya di pundak Adira.
"Biar lo nggak kedinginan. Udara malam nggak baik untuk kesehatan. Lain kali, jangan lupa bawa jaket. Maaf, karena kita pulangnya agak telat. Nanti gue yang jelasin ke orang tua lo." Gema sempat menepuk bahu Adira pelan sebelum kakinya melangkah menuju penjual martabak.
Adira hanya bisa termenung. Bahkan, mulutnya tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya tangannya yang memegang jaket Gema supaya tidak terjatuh. Gema memang baik kepada siapa pun, tapi untuk Adira yang berhati lemah, apa yang laki-laki itu lakukan membuat harapannya semakin terbuka lebar.
Can Adira hope that one day, Gema will like her too?
***
Halooo!!! Balik lagiii. Nggak ada note sih hari ini. Babay!!
Bali, 18 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top