6. Clouds In The Sky
When Emma falls in love, its all on her face
Hangs in the air like stars in outer space
'Cause when Emma falls in love, she's in it for keeps
She won't walk away unless she knows she absolutely has to leave
Taylor Swift—When Emma Falls In Love
***
Jarak yang membentang itu terasa nyata. Keakraban yang terjalin kemarin, hanyalah sebuah formalitas karena saling membutuhkan dan kerja sama. Dengan kata lain, percakapan maupun tawa yang bergulir di antara mereka, sebatas basa-basi bisnis belaka.
Padahal, mereka pernah duduk berdampingan di dalam mobil jep Gema, mendengarkan lagu dari radio yang sama, bahkan kedua tangan mereka sempat saling mengisi ruas-ruas yang kosong saat Gema menyemangati Adira.
Namun, pagi ini, Adira kembali ke realita. Gema yang sering dipuja-puja, nyatanya memang memiliki kehidupan yang berbeda darinya. Gema Sandyakala bukan sekadar Gema, kakak dari calon muridnya. Melainkan sang peramai suasana yang kedatangannya selalu disambut suka cita.
Teman di mana-mana, tawa khas yang membuat orang di sekitarnya ikut merasa bahagia, dan juga keramahan yang tak semua orang punya. Gema nyaris sempurna di mata Adira, kalau saja laki-laki itu tidak menceritakan latar belakang kepadanya.
Mungkinkah pesona yang dia tunjukkan, hanya topeng untuk menutupi kekurangannya? Dia ingin orang-orang mengenalnya sebagai Gema yang ceria, bukan Gema yang penuh luka?
Seperti jari-jari indah Gema yang lihai memetik gitar, pasti ada beberapa masa di mana jari-jari Gema terluka dan berdarah karena terkena senarnya saat belajar menghapal kunci lagu. Itu semua hanya perlu waktu untuk memperlihatkan pada dunia kalau dia bisa.
"Lipbalm lo udah dikembaliin sama Gema? Gimana ceritanya?"
Wajah Maharani yang muncul di hadapannya membuat sosok Gema tertutupi. Adira menghela napas, lalu mengaduk-ngaduk mie ayamnya yang mulai mengembang. Kelasnya dimulai sekitar satu jam lagi, jadi dia memilih untuk mampir ke kantin fakultas sebentar, sekaligus ingin melihat Gema yang tentu tak akan absen dari tempat kesayangan.
"Ya, tinggal kembaliin. Selesai, deh." Adira tersenyum kikuk saat mata Maharani memicing, curiga. Wajar saja, karena kemarin Adira memutuskan untuk tidak menagih lipbalm-nya kepada Gema, tapi secara tiba-tiba, seperti sulap, benda tersebut sudah ada di tangan Adira lagi, menggantung di resleting tas.
"Lo diem-diem ketemu sama Gema, ya? Ngaku lo! Kapan ketemunya? Waktu gue ada kelas?"
Pertanyaan bertubi-tubi itu agak menyulitkan Adira untuk menjawabnya. Dia ingin berbohong lebih jauh, tapi takutnya akan ada kebohongan-kebohongan lain yang akan diciptakan, yang ditakutkan akan membuat pertemanan mereka menjadi renggang atau mungkin hancur.
"Bukan gitu, Ran. Ketemunya juga nggak sengaja kali." Adira melirik Gema yang masih asyik dengan kegiatannya. Vokalis Dwell Band itu memang serba bisa. Lihat saja, sekarang dia bahkan menyumbangkan suaranya untuk menghibur orang-orang di kantin.
"Terus?"
"Ehm, jadi..." Adira menggaruk rambutnya, bingung harus menjelaskan dari mana. Tubuhnya agak condong ke depan, mendekat kepada Maharani. "Kamu tahu, kan, kalau aku buka bimbel? Nah, kebetulan aku sudah dapet calon muridnya. Baru satu, sih."
"Apa hubungannya sama Gema? Jangan bilang kalau calon muridnya itu dia?"
"Ih, nggak lah! Ngapain dia bimbel sama aku?" Adira langsung membantah sambil terkikik geli, tak bisa membayangkan kalau Gema benar-benar mencalonkan diri untuk menjadi muridnya. Yang ada Adira tak fokus mengajar dan terus-menerus salah tingkah di hadapan laki-laki itu.
"Jadi? Gimana caranya dia bisa ngembaliin lipbalm lo?" Maharani mengernyit saat melihat Adira tertawa, padahal tidak ada yang lucu dari obrolan mereka.
Sebelum melanjutkan bicaranya, Adira memasukkan daging suwir ayam ke dalam mulutnya. "Adiknya Gema, calon murid aku."
"Hah? Lo serius?" Barangkali karena suara Maharani yang cukup kencang, permainan gitar Gema sempat terhenti sesaat, dengan orang-orang di kantin yang menatap mereka aneh.
Adira tentu malu, hingga rasanya dia ingin menghilang sekarang juga. Apalagi, matanya tak sengaja melakukan kontak dengan Gema, membuat laki-laki yang memakai celana jeans belel itu melayangkan senyuman tipis lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
"Ran, kagetnya nggak usah lebay gitu, bisa kan? Dilihatin anak-anak, malu!"
"Kok bisa, adiknya Gema yang jadi calon murid lo? Nggak ada yang lain?" tanya Maharani, mengabaikan ucapan Adira. Dia tentu tak peduli dengan tanggapan orang-orang di sekitarnya. Kalau ada yang protes, dia juga bisa ikut protes.
"Raden itu calon murid aku satu-satunya. Kalau enggak ketemu, mungkin aku bakal ngira kalau Raden cuma anak-anak pada umumnya, yang dikasih les tambahan karena nilainya kurang."
"Namanya Raden? Lo nggak ada curiga begitu dari awal? Muka mereka memang nggak mirip?" Maharani langsung memasang wajah datar saat Adira meringis pelan.
"Aku kayaknya terlalu antusias, deh, sampe nggak mikir apa pun dan langsung nerima." Mau bagaimana lagi. Dia sudah menunggu cukup lama. Kalau dia melepas Raden tanpa alasan apa pun, butuh waktu berapa lama lagi sampai ada orang tua murid yang ingin menyewa jasanya?
"Jadi, waktu kalian ketemu, Gema kembaliin lipbalm lo?"
Adira mengangguk. "Gitu, deh."
Maharani diam sebentar, lalu tiba-tiba berbalik, menatap Gema. Adira yang penasaran, mengikuti arah tuju temannya. "Kenapa, Ran?"
"Gema memang ganteng, Dir. Terkenal juga. Kelihatan baik. Tapi, inget. Walaupun dia green flag, dia masih punya satu problem," ucap Maharani tanpa melepas tatapannya dari Gema.
"Problem? Apa?"
"Belum bisa move on. Kejebak friendzone. Gue saranin sama lo, kalau lo suka sama Gema, jangan pernah taruh perasaan yang terlalu dalam sama dia, sebelum dia selesai sama masa lalunya. Karena kalau lo tetap nekat, lo bakal tersakiti."
Bertepatan dengan ucapan Maharani, kantin fakultas kedatangan seorang gadis yang menjadi alasan Gema tidak bisa move on. Adira mendadak termenung, hanya netranya saja yang mengikuti pergerakan gadis itu. Mau dilihat dari sisi mana pun, gadis itu sangatlah cantik, dengan senyum yang tak kalah manis. Siapa yang tidak akan jatuh cinta kepada gadis yang memiliki penampilan menarik dan masuk kriteria sebagian besar kaum adam?
Zora Adhisti. Sahabat Gema yang juga merupakan cinta tak berbalasnya.
Can Adira be like Zora, whom Gema loves? Or is she just an admirer whose love will not be reciprocated?
***
Mungkin, kalau para gadis di kampusnya atau tim pemuja Gema tahu bagaimana Adira bisa selangkah lebih maju untuk closer to Gema, mereka akan iri kepadanya. Meski berstatus sebagai guru les Raden, adik Gema, tapi dia satu-satunya orang asing yang diizinkan untuk datang ke rumah Gema secara cuma-cuma.
Terlebih, Adira bisa melihat pemandangan langka secara langsung; Gema yang membuka kaus oblongnya, menampilkan enam roti berbentuk kotak yang terhampar di atas perut, menyisakan celana pendeknya, dan bersiap untuk berenang.
Posisi Adira yang berada di teras belakang, dekat dengan kolam renang, hanya dipisahkan oleh dinding berbahan kaca, membuat semuanya menjadi semakin jelas. Menciptakan perasaan geli yang menyusup ke dada Adira.
Siapa yang sangka kalau kedatangannya kali ini bersamaan dengan Gema yang juga sedang ada di rumah? Tidak ada aktivitas apa pun. Entah itu band, atau tugas kuliah. Hanya bersenang-senang sambil memantau Raden di hari pertama les.
Sepertinya, dia harus berterima kasih kepada Raden yang memintanya untuk melakukan kegiatan mengajar di teras belakang dengan dalih ingin mencari udara segar.
"Raden, hobi kamu apa?" Merasa tak baik untuk melihat Gema terus-menerus, Adira memfokuskan pandangannya kepada Raden yang sedang mengerjakan tugas.
"Hobi? Main sama Clowy." Jawaban itu terlontar tanpa melepas tatapannya dari buku tulis.
"Selain itu? Masa kamu nggak punya hobi sama sekali? Kayak menggambar, membaca, atau mungkin ... berenang?" Oke, kata terakhir tak sengaja Adira ucapkan karena usai melihat kegiatan tersebut. Tercetus begitu saja.
"Berenang? Kayak Bang Gema?" Raden langsung mendongak, menatap Adira yang terkejut dengan pergerakannya yang mendadak.
"Eh? I-iya, kayak abang kamu. Suka?" Adira berusaha menahan ekspresinya yang salah tingkah supaya tidak tampak aneh di depan muridnya itu.
Raden menggeleng cepat. "Nggak tertarik. Aku pernah coba renang, tapi kakiku keram dan hampir tenggelam. Lagi pula, Bang Gema berenang cuma di waktu-waktu tertentu."
"Di waktu tertentu?" beo Adira. Mungkinkah Gema memiliki sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain?
"Iya."
"Contohnya?"
Raden tak langsung menjawab, melainkan meletakkan pulpennya di samping buku, menatap Adira serius. "Miss suka sama Bang Gema?"
Kepala Adira seketika tertarik ke belakang. Tubuhnya agak menjauh, menghindari netra Raden yang semakin dilihat, semakin mirip dengan Gema. Apakah ekspresi Adira menggambarkan tentang perasaannya untuk Gema hingga Raden bisa membacanya dengan mudah?
"Hahaha, enggak. Cuma karena kamu tadi bilang gitu, Miss agak penasaran. Soalnya kamu juga diem-diem aja dari tadi. Biar ada topik obrolan maksudnya." Adira tertawa garing sambil mengibaskan tangan, menutupi kegugupannya di hadapan anak SMP itu.
"Oh." Raden kembali mengambil pulpen dan mengerjakan tugasnya. "Bang Gema bakal berenang kalau lagi stres. Miss, kan, nggak tahu gimana susahnya cari inspirasi. Untuk orang yang kerjaannya menghasilkan sebuah karya, inspirasi itu kayak keajaiban yang datangnya tiba-tiba, dan dibutuhin ketenangan."
Mendengar itu, Adira seperti sedang diceramahi. Serius, Raden masih menduduki bangku SMP? Kenapa pikirannya justru seperti orang dewasa? Ditambah lagi, tiap kali Adira ingin membantu, Raden akan langsung menolak. Alhasil, dia hanya memperhatikan anak itu mengerjakan tugas. Alih-alih guru les, Adira lebih mirip babysitter.
"Asal kamu tahu, Miss juga penulis." Adira tersenyum bangga, bermaksud menyombongkan diri. Kalau berhadapan dengan orang seperti Raden, sebaiknya dia tidak boleh merunduk bak padi yang sudah menguning. Minimal dia harus memberi Raden bom kecil sebagai peringatan supaya anak itu tidak meremehkannya.
"Penulis? Karyanya udah ada? Mana?" Raden melihat Adira sekilas.
"Ada, kok. Yang penting ada karya, kan? Daripada enggak sama sekali."
Raden hanya mengangguk-angguk, meski masih terlihat agak janggal di mata Adira.
"Kalau menurut kamu, penampilan Miss, gimana?" tanya Adira, sambil berpangku dagu pada pensil milik Raden.
"Penampilan?" Raden melirik Adira, tak minat. "Biasa aja."
Adira mengerucutkan bibir. Cuek banget. "Maksudnya, cantik atau enggak?"
"Cantik itu relatif, Miss. Kata mama, tiap perempuan punya kecantikannya masing-masing. Tapi, kalau di mata aku, Miss nggak menarik."
Adira dibuat ternganga oleh Gema versi mini itu. Rasa-rasanya, adiknya yang di rumah tidak semenyebalkan Raden. Walaupun mereka sering bertengkar, tapi kata-kata yang dilontarkan Raden benar-benar menusuk hatinya.
Apa dia enggak semenarik itu?
Menghela napas panjang, Adira merebahkan kepalanya ke samping, menghadap kolam renang. Berbicara dengan Raden hanya membuatnya darah tinggi. Namun, keinginan Adira yang ingin menenangkan hati, justru menimbulkan petaka baru, saat Gema muncul di hadapannya dengan tubuh dan rambut yang basah. Tetesan air meluncur dari rambutnya, melewati dagu, sebelum jatuh dengan sempurna.
Tak sampai di situ, Gema menengadah sambil menyisir rambutnya ke belakang, membiarkan matahari sore membiaskan cahaya ke arahnya.
Demi Tuhan ... apa yang harus Adira lakukan? She feels that falling in love is sometimes not good for her health.
***
Lanjut atau enggak??? Wkwk
Jangan lupa komen dan share yaa
Bali, 5 September 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top