4. Whisper In Face

And you stood there in front of me just close enough to touch

Close enough to hope you couldn't see what i was thinking of

I'm captivated by you, Baby

Like a firework show

Taylor Swift—Sparks Fly

***

Adira mengecek penampilannya dari spion taksi sekali lagi, memastikan kalau dandanannya sudah cukup rapi untuk bertemu dengan wali dari calon muridnya. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya dia menemukan wali murid yang ingin menyewa jasanya. Kalau dari biodata yang sempat dia baca, calon muridnya adalah seorang anak laki-laki yang baru saja masuk SMP. Dia juga sempat melihat foto anak itu. Tampan. Tipe anak kalem yang sepertinya tidak banyak bicara.

Oke, memang Adira agak ragu. Dia juga bukan orang yang banyak bicara, terlebih dengan orang baru, maka dari itu dia berteman dengan Maharani yang bisa menyesuaikan. Namun, demi calon muridnya, dia akan mencoba untuk memulai. Tak mungkin juga dia tiba-tiba mundur. Sulit untuk meyakinkan para wali murid supaya menyewa jasanya karena melihat latar pendidikan Adira yang belum lulus kuliah.

Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk menyewa jasa pengajar yang sudah lulus atau memang berprofesi di bidang yang dibutuhkan. Mereka takut kalau mengambil pengajar yang masih kuliah, anak-anak mereka tidak mendapat pelajaran yang sesuai karena terbagi waktunya dengan tugas si pengajar.

"Semangat, Adira! Mudah-mudahan cocok dan lancar." Adira menyemangati dirinya sebelum melangkah ke Kafe Cat yang menjadi tempat pertemuan. Adira terkejut dengan lokasi yang diberikan oleh si wali murid, tapi dia akhirnya maklum setelah mengetahui kalau calon muridnya merupakan penyuka kucing. Sesuai dengan namanya, Kafe Cat menyediakan ruang bagi pengunjungnya untuk membawa kucing dari rumah atau bermain dengan kucing yang memang berada di sana.

Saat tangan Adira membuka pintu, dia langsung disambut oleh seekor kucing jenis persia peaknose berbulu cokelat mendekati oranye yang sangat gembul. Adira tak bisa menahan gemas. Dia berjongkok untuk membelai bulu lembut itu—sesekali menggaruk pelan. Meski bukan pecinta kucing, tapi hewan menggemaskan itu memiliki tempat tersendiri di hati Adira.

"Hei, what are you doing here?"

Suara itu ... Adira langsung mendongak, dan entah takdir memang sedang bergurau dengannya atau sekadar kebetulan yang terjadi berulang kali, dia kembali menatap netra indah milik seseorang yang belakangan ini terus mengganggu pikirannya; Gema.

"Kamu ngapain di sini?" Adira bangkit dari posisi berjongkok, lengkap dengan wajah kebingungannya. Sebelum ini, mereka bahkan tidak pernah bertegur sapa. Kalaupun tak sengaja berpapasan, hanya Adira yang melirik diam-diam, memperhatikan dengan penuh kekaguman, sementara Gema tak pernah menganggapnya ada, seperti makhluk halus..

"Gue? Mau ngambil kucing gue yang tiba-tiba nyamperin lo." Mata Adira mengikuti pergerakan Gema yang mengambil kucing persia yang sedang menggesek-gesek bulunya di sepatu Adira. Jadi ... kucing menggemaskan itu, milik Gema? Dia tidak tahu kalau Gema punya hewan peliharaan, kucing pula. Mereka memang tidak sedekat itu.

"Kalau nggak salah, ini kali kedua kita ketemu, kan? What a surprise? Mungkin kalau sekali lagi kita ketemu, gue udah nggak bakal heran." Gema kembali berdiri sambil menggendong kucingnya, mengelus bulu halus itu lembut.

Adira hanya tersenyum meresponsnya. Gema tentu tidak tahu kalau mereka sudah bertemu tiga kali. Salah satu pertemuan mereka ... saat Gema dalam keadaan tidak sadar dan sedikit memalukan.

"Kalau lo sendiri, ada urusan apa? Mau belajar? Bikin tugas?" tanya Gema, menebak-nebak dari tas ransel yang tersampir di bahu Adira.

"Enggak. Aku mau ketemu calon murid, kebetulan aku buka les privat. Hitung-hitung untuk tambah uang saku."

Gema mengangguk. "It sounds good. Jadi, lo healing dengan nonton festival band gue sebelum nantinya sibuk ngurusin murid, ya? But, wait. Gue ngerasa ada yang aneh di sini. What is your student's name?"

Meski tidak mengerti dengan maksud Gema, Adira tetap menjawab, "Namanya Raden."

"Raden Buana?"

"Loh? Kok, tahu?" Rasa-rasanya, Adira hanya menyebutkan nama depan saja, tapi kenapa Gema bisa tahu? Gema bukan cenayang, kan, yang bisa menebak isi kepalanya?

Namun, secara tiba-tiba, sebuah pemikiran terlintas di otak kecil Adira, menciptakan bulatan besar di mulutnya. Jangan bilang...

"Dia adik gue. Selain mau bawa kucing gue jalan-jalan, alasan gue ada di sini, karena mau temenin Raden untuk ketemu sama calon guru lesnya. Kebetulan, nyokap gue nggak bisa nganter, lagi kerja."

Penjelasan yang diberikan oleh Gema, semakin mengejutkan Adira—semenjak mengenal Gema, banyak kejutan-kejutan yang terjadi di hidupnya. Seharusnya, Adira sudah curiga. Wajah Raden di foto tampak tidak asing. Sekilas seperti seseorang yang dia kenal, tapi dia berusaha untuk mengabaikannya. Mana tahu kalau ternyata Raden adalah Gema versi travel size.

Barangkali masih speechless, Adira hanya bisa tertawa, menertawakan kebodohannya yang tidak mengecek informasi mengenai calon muridnya secara detail. Dia terlalu senang karena ada yang menyewa jasanya, sampai-sampai melupakan hal-hal yang bisa menjadi petaka baginya.

Iya, petaka! Dekat dengan Gema bisa menjadi awal dari semua masalah yang akan menimpanya.

"Berarti, nama lo Adira Ilsa?"

Baru saja dibahas! Salah satu masalahnya adalah ini. Perihal nama. Susah payah Adira menjauh supaya Gema tidak mengetahui namanya, tapi selalu ada cara untuk membuatnya mati kutu di hadapan laki-laki itu.

Kepala Adira langsung gatal, padahal baru selesai keramas. "Eng—eh?" Mendadak, Gema menarik lengannya supaya berpindah ke samping.

"Ada yang mau lewat. Kita berdiri di dekat pintu, ngehalangin jalan orang." Gema memberitahu saat melihat ekspresi kebingungan Adira yang kentara.

"Makasih." Adira berucap kikuk.

"Kita ngobrolnya di sana aja. Adik gue udah nunggu." Gema menunjuk adiknya—Raden—yang sedang asyik memakan es krimnya, menggunakan dagu. Duduk Raden yang membelakangi membuat Adira tidak bisa melihat Raden dengan jelas.

Adira langsung mengiyakan dan mengikuti langkah Gema dari belakang, sambil menyesali pilihannya. Mungkin lain kali, dia tidak boleh terlalu senang atas apa pun yang belum diselidiki pasti.

"Gimana es krimnya? Enak?" tanya Gema saat duduk di depan Raden. Dia mempersilakan Adira untuk mengambil posisi di sebelahnya.

"As usual. So, you got Clowy." Raden hanya melirik singkat, sebelum kembali fokus dengan es krimnya.

"Sure. Hei, Buddy. Don't you want to see your teacher's face?" Gema memasukkan kucing bernama Clowy itu ke dalam pet cargo. Tubuh Clowy yang semakin berisi membuat tangan Gema agak pegal kalau menggendongnya terlalu lama.

"Udah, kok."

"Jadi, gimana? What is your first impression of Miss Adira?"

"Nggak menarik."

Jawaban Raden yang padat dan jelas seketika mengalihkan perhatian Gema kepada Adira. Tanpa diberitahu, Gema yakin kalau Adira merasa tidak nyaman dengan dua kata itu.

"Raden, jaga mulut kamu. Bang Gema nggak pernah ngajarin kamu untuk berkata yang enggak-enggak." Gema menegur Raden atas ketidaksopanannya.

Mendengarnya, Raden menghela napas lalu menatap sang kakak. "Lagi pula, aku nggak butuh guru les. Aku bisa belajar sendiri. Kenapa mama kasih guru ke orang yang nggak butuhin itu?"

"Karena kamu main game terus, tapi nggak mau bersosialisasi. Seenggaknya, dengan adanya Miss Adira, kamu bisa belajar banyak hal."

Adira yang menjadi penonton kedua saudara itu, hanya mampu diam. Meski memiliki kemiripan wajah, tapi sifat mereka sangat bertolak belakang. Tampaknya, adik Gema lebih sulit didekati daripada Gema sendiri.

"Give me space. Kali ini aja. Mama nggak bakal tahu." Raden memohon, dengan ekspresi yang masih sama; datar.

Gema hanya menggeleng pelan, walaupun pada akhirnya dia menuruti permintaan adiknya. "Kali ini aja."

Kemudian, Gema berpaling ke arah Adira. "Adira, untuk hari ini, belajarnya ditunda dulu, ya? Anggap aja perkenalan. Sebagai gantinya, lo bisa ikut kita."

Adira ingin menolak, tapi sulit. Lidahnya mendadak kelu. Hanya anggukan kecil yang menjadi jawaban atas ajakan Gema. Because, going out with Gema is a girl's dream.

***

Dari segi karakter, Raden boleh saja lebih dewasa dibandingkan Adira, tapi jiwa Raden masih sama seperti anak seusianya. Bebas. Lihat saja bagaimana senyum anak laki-laki itu mengembang bak bunga di musim semi saat menaiki robot binatang yang sudah diinginkan sejak minggu lalu—kata Gema di tempat pembelian tiket yang berada di salah satu lantai mall.

"Mewakili Raden, gue minta maaf sama kata-katanya yang kurang sopan tadi."

Adira yang sedang memperhatikan Raden, seketika menoleh. Tatap penuh penyesalan di mata Gema tak pelak melukiskan senyum menenangkan di sudut-sudut bibir Adira. Dia memang cukup terkejut dengan ucapan Raden—walaupun dia akui kalau apa yang dikatakan adik Gema, tidak sepenuhnya salah. Dia memang kurang menarik—tapi Adira berusaha maklum. Mereka baru bertemu sekali, jadi pendekatan masing-masing karakter belum dilakukan secara intens.

"Maaf diterima. Mungkin Raden memang tipe yang nggak akrab sama orang baru, makanya dia bilang kayak gitu. Kamu juga sempat bilang kalau dia kurang bersosialisasi, kan?"

Adira pernah membaca kalau anak-anak yang kurang bersosialisasi memiliki kecenderungan untuk bersikap lebih egois, apalagi kalau sering dimanja oleh orang tuanya. Rasa simpati di dalam dirinya berkurang, dan menjadikannya pribadi yang rentan terhadap kritikan.

"Dia jadi begitu setelah papa pergi." Gema menenggelamkan kedua tangan di saku celana. Bibirnya menipis, dengan perubahan raut yang signifikan.

"Pergi?" Adira membeo. Dia tidak pernah mendengar apa pun mengenai ini. Anak-anak di kampus juga tidak pernah membicarakannya, atau mereka mencoba untuk menyembunyikan, semata-mata sebagai bentuk respect kepada Gema.

"Pergi, meninggalkan keluarga. Mungkin gue bakal lebih lega if he dies. But, he doesn't. Orang tua kami cerai karena papa selingkuh. And, Raden was still young when it happened. But, that doesn't mean he doesn't know anything." Gema mendengkus pelan ketika ingatan itu kembali berputar di kepala. Masih terbayang bagaimana Raden menatap ayahnya dengan sorot kebencian, sementara sang ibu pura-pura kuat, meski Gema tahu kalau ibunya jauh lebih sakit.

"Do you hate him?" Pertanyaan bodoh sebenarnya. Atas apa yang dilakukan ayah Gema, bagaimana bisa laki-laki itu tidak membencinya, tapi Adira hanya ingin tahu perasaan Gema lebih dalam. Ini ... akan menjadi topik yang cukup sensitif untuk dibahas.

"Banget. Bahkan, gue nggak tahu harus bersikap kayak gimana kalau ketemu papa. But, that's better. Lebih baik mama melepas papa, dan kami hidup bertiga, daripada semuanya makin hancur. Raden mungkin masih berada dalam fase labil, tapi gue yakin, lambat-laun, dia bakal ngerti. Gue pastiin dia bakal mengerti. Harus."

Adira menatap Gema cukup lama, menelisik kedalaman manik indah yang biasanya menghanyutkan, kini memancarkan kesedihan. Ada kerinduan di sana, tapi berusaha ditutupi dengan kebencian yang membara. Hanya saja, Adira tak menyangka kalau Gema akan sedewasa ini. Di saat mungkin orang lain akan menyalahkan dalang di balik kehancuran yang terjadi, Gema justru menilai dari sudut pandang yang berbeda.

Barangkali, Gema sempat merasakan kesakitan, yang dia sembuhkan mati-matian demi keluarganya yang masih tersisa dan waktu yang tak pernah menunggunya bangkit dari kehancuran.

"Pasti sepi rasanya. Keluarga yang awalnya lengkap, sekarang tinggal bertiga. Mama kamu orang yang kuat. Kamu juga nggak kalah kuat." Tangan Adira gatal, ingin mengusap bahu tegap itu. Namun, dia tak akan melakukannya. Dipercaya untuk menjadi tempat bercerita saja sudah cukup bagi Adira.

"Gue nggak bakal sekuat itu kalau nggak ada mama. Life goes on, with or without him. We will not be stuck in the same place and condition all the time. Ada kalanya, kita harus membuang hal-hal yang hanya menjadi sumber masalah, dan fokus dengan apa yang ada di depan."

Adira mengangguk, setuju. Dia dibuat kagum dengan pemikiran Gema, sekaligus menambah pandangan baru mengenai laki-laki itu.

"Tapi, kenapa kamu cerita ini ke aku?" tanya Adira, penasaran juga. Bukankah mereka dekat karena situasi yang diatur oleh takdir? Bukan atas kemauan diri sendiri.

Gema mengangkat bahu. "Karena lo bakal jadi guru lesnya Raden. Sedikit enggaknya, lo harus tahu alasan kenapa dia jadi tertutup begini. Gue juga merasa kalau apa yang gue ceritain, bukan sesuatu yang harus ditutupi, karena memang begitu realitanya. Gue nggak bakal menampik." Dia merogoh sesuatu dari saku. "Lagi pula, gue pikir lo orang yang baik."

Adira menahan napasnya saat Gema menunjukkan lipbalm miliknya yang ternyata masih disimpan laki-laki itu. Demi Tuhan ... kenapa harus diingatkan lagi?

"Oh, iya. Makasih. Aku pikir hilang." Adira hendak mengambil lipbalm tersebut, tapi dicegah oleh Gema.

"Seharusnya, gue yang bilang makasih sama lo. Kalau enggak ada lo, mungkin teman-teman gue nggak bakal nemuin gue. Tentang apa pun yang gue lakuin ke lo tanpa sadar, karena waktu itu gue dalam keadaan mabuk, gue minta maaf."

Adira tidak mengerti apa yang sudah merasukinya hingga permintaan maaf Gema terdengar menyakitkan di hatinya. Kalau saja laki-laki itu tahu, apa mungkin Gema akan menyesalinya?

Satu yang pasti, Adira will never apologize, and regret what they have done.

***

Holaaa sayang sayangnya akuuuu. Kembali lagi dengan Syika di siniii. Sebenarnya nggak ada note sih, cuma pengen nyapa kalian aja biar ada topik mwuehehehe. Jadi, segitu aja dulu. Nanti kita bincang-bincang lagi yesss. Bye bye!

Sampai jumpa!

Bali, 24 Agustus 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top