37. Curse The Pain
I didn't have it in myself to go with grace
'Cause when I'd fight, you used to tell me I was brave
And if I'm dead to you, why are you at the wake?
Cursing my name, wishing I stayed
Look at how my tears ricochet
Taylor Swift—My Tears Ricochet
***
Suasana di rumah keponakan Ragana sudah ramai dengan anak-anak beserta para orang tua. Kata Ragana, keponakannya berulang tahun yang keenam, dan sebentar lagi akan memasuki bangku sekolah dasar. Sepertinya, Ragana merupakan paman yang sangat menyayangi keponakannya, dilihat dari bagaimana antusiasnya laki-laki itu saat menceritakan tentang keponakannya yang bernama Tarania Mecha di sepanjang perjalanan.
Keyakinan Adira semakin bertambah begitu hebohnya Tarania menyambut sang paman. Bahkan, gadis kecil itu terus menggandeng Ragana untuk dikenalkan pada teman-temannya. Sementara Ragana dikuasai oleh Tarania, Adira berdiri di sudut ruangan, menyaksikan keramaian di ruang tamu yang sudah disulap menjadi pesta anak-anak. Meski baru pertama kali berkunjung, Adira merasa cukup nyaman. Rumah sederhana berlantai satu ini memiliki taman kecil di halaman depan—seperti memberitahu secara tidak langsung kalau sang nyonya rumah menyukai bunga—dengan suasana sejuk yang membuat semua orang betah untuk tinggal.
Omong-omong tentang nyonya rumah, Adira belum melihat orang tua Tarania. Sedari tadi, dia hanya bertemu dengan orang tua teman-teman gadis kecil itu. Dia juga tidak sempat bertanya kepada Ragana yang kali ini sedang bersenang-senang. Topi kerucut di kepala, bola merah di hidung, dan tarian yang mengingatkannya pada permainan ular tangga. Mungkin kalau orang-orang di sana tidak mengenal Ragana, mereka akan mengira kalau Ragana adalah badut paling formal yang disewa oleh orang tua Tarania.
Tanpa sadar, Adira tersenyum. Ragana yang memang ramah pada siapa pun, tampak jauh lebih baik saat bergabung bersama anak-anak. Tawa dari para makhluk kecil itu menjadi penghibur di antara banyaknya masalah yang tercipta di masa dewasa. Adira juga menyukai anak-anak, tapi dia tidak seluwes Ragana yang bisa membuat mereka sangat lengket.
“Tante, Tante pacarnya Om Raga, ya?” Tiba-tiba saja, Tarania muncul. Gadis kecil dalam balutan gaun ala peri itu menarik keliman gaun Adira sambil menatapnya berbinar-binar. Ah, ini juga menjadi alasan kenapa Adira sangat menyukai anak-anak. Mereka masih sangat polos, dengan pemikiran lugu yang menggemaskan.
“Halo, kamu Tarania, kan? Salam kenal, ya.” Adira agak menunduk, mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Tarania.
“Halo juga, Tante.” Barangkali malu karena bersikap ceroboh, Tarania menggoyang-goyangkan tubuhnya. “Aku baru lihat Tante. Om Raga belum pernah bawa pacar.”
Adira tersenyum kecil. Dari mana Tarania mengetahui tentang kata tersebut? Apakah dia tahu apa maksud dari pacar?
“Tante temannya Om Raga. Bukan pacar. Memangnya kamu tahu pacar itu apa?” tanya Adira, yang langsung mendapat anggukan mantap dari Tarania.
“Tahu! Kalau Om Raga suka sama perempuan, berarti itu pacar. Kalau enggak suka, berarti hanya teman. Berarti Om Raga enggak suka sama Tante, ya?”
“Nia!” Panggilan dari seorang wanita cantik yang kira-kira usianya di pertengahan 30-an, seketika membuat Adira dan Tarania berpaling.
“Mama!” Dengan gembira, Tarania memeluk pinggang wanita itu, sementara Adira menegapkan tubuh, tersenyum untuk menyapa wanita yang dipanggil Mama oleh Tarania.
“Kamu … Adira?” Wanita itu menelisik penampilan Adira dari bawah ke atas, seolah-olah menilai sosok yang dibawa oleh sang adik.
“Iya, saya Adira—”
“Sarah. Panggil aja Kak Sarah, seperti Raga.” Sarah langsung memperkenalkan diri.
“Ah, iya. Kak Sarah.” Diam-diam, Adira memindai Sarah. Wanita itu tampil elegan meski tidak berlebihan. Kalau dilihat baik-baik, dia dan Ragana memiliki kemiripan di mata dan senyum. Hanya saja, kalau Ragana berkulit terang, maka Sarah satu tingkat di bawahnya. Walaupun demikian, siapa pun akan terpikat pada senyum meneduhkan Sarah yang seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja.
“Maaf, ya, Adira. Raga masih diculik sama suami saya. Dia butuh bantuan, dan cuma ada Raga. Saya nggak bisa kalau urusan angkat-angkat barang gitu. Maklum, masih ngeri sama jahitan di perut abis caesar walaupun itu udah enam tahun lalu.” Tanpa perlu ditanya, Sarah sudah mengatakan kondisi yang terjadi. Spontan, Adira melirik ke arah posisi Ragana sebelumnya. Dan, benar saja. Laki-laki itu sudah hilang entah ke mana, menyisakan anak-anak yang bermain satu sama lain.
“Nggak apa-apa, Kak.” Mungkin Adira hanya akan kikuk karena tak terlalu mengenal orang-orang ini, sampai Ragana datang.
“Kakak pengin banget temenin kamu, tapi acara Nia harus segera dimulai. Jadi, sekali lagi maaf karena harus tinggalin kamu sendirian.” Ekspresi sesal yang ditunjukkan Sarah membuat Adira merasa tak enak. Dia langsung mengangguk, tak mempermasalahkan apabila Sarah meninggalkannya. Toh, kalaupun Sarah berada di sini, Adira tak bisa memastikan kalau dia akan nyaman.
“Saya tunggu Mas Raga aja, Kak,” ucap Adira.
“Kalau begitu, saya pamit, Adira. Nia, kamu ikut sama Mama. Nanti lagi main sama Tante Adira. Say bye dulu.” Sarah mengusap bahu Tarania yang polos.
“Bye, Tante!” Tarania melambai-lambaikan tangannya dengan senyum lebar, memperlihatkan gigi ompongnya di bagian depan.
“Bye, Nia.”
Dan, dia kembali sendirian. Tak ada yang bisa Adira lakukan selain berdiri diam. Dia melirik ke kanan-kiri, barangkali ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Namun, alih-alih menemukan sesuatu yang seru, Adira justru dikejutkan dengan kedatangan Gema. Berkali-kali, Adira memastikan kalau minusnya tidak bertambah atau mungkin dia hanya sedang berhalusinasi, tapi sosok Gema tetap berada dalam jangkauan indra penglihatannya, sedang kebingungan dengan tangan menggenggam sebuah kado berukuran sedang.
Cepat-cepat, Adira berpaling. Dia berusaha untuk bersembunyi, tapi sayangnya Gema lebih cekatan. Laki-laki itu menyadari kehadiran Adira dan langsung mendatanginya, menahan pergelangan Adira yang hendak kabur.
“I got you. Apa kamu nggak capek lari dari aku terus, Ra?”
“Gem, lepas. Kita lagi di acara orang.” Adira mencoba melepas pegangan Gema, tapi sulit. Lagi pula, kenapa Gema bisa berada di sini? Memangnya, ada hubungan apa Gema dengan Tarania dan Ragana?
“Nggak bisa. Aku butuh penjelasan.” Dengan mudah, Gema menarik Adira lalu membawanya keluar. Mereka butuh bicara, dan di dalam bukan tempat yang cocok. Selain akan menarik perhatian, mereka juga bisa menimbulkan keributan. Meski enggan, Adira hanya bisa berpasrah. Gema tak sepenuhnya salah. Dia memang tak bisa terus-menerus menghindari Gema. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka harus membicarakan mengenai langkah selanjutnya dari hubungan ini.
“Demi Tuhan, Ra. Aku nggak tahu masalah kamu sama aku sampai-sampai kamu menjauh. Sebelumnya, kita baik-baik aja. Tapi, begitu acara selesai dan aku mau ketemu kamu, you suddenly disappeared. If I'm wrong, tell me. Don't go.” Begitu mereka tiba di luar, Gema segera meluapkan rasa frustasinya. Bahkan, kado yang berada dalam genggaman, diremas kuat.
Adira diam saja. Dia pun bingung harus memulai dari mana. Pasalnya, walaupun dia bertekad untuk menyelesaikan semuanya, nyatanya keberanian Adira menciut di hadapan Gema yang kalut. Otaknya memberi perintah untuk mengabaikan perasaan tak nyaman di dada dan melupakan kejadian kemarin. Anggap saja dia tidak melihat apa pun, tapi kesedihannya tak bisa disembuhkan segera. Dia mulai sulit mempercayai Gema.
“Ra, jawab. Aku nggak butuh diamnya kamu. Aku pengin tahu, kesalahan apa yang udah aku lakuin. If you don't tell me, I won't know and hurt you even more.” Gema mengacak rambutnya kasar. Semula, dia memang malas untuk datang ke sini, tapi kini dia cukup bersyukur. Setidaknya, dia bisa menangkap Adira yang terus mengajaknya bermain kejar-kejaran.
“Ada hubungan apa kamu sama keluarga ini?” Bukannya menjawab pertanyaan Gema, Adira justru bertanya hal lain.
“Seriously, Ra? Bisa-bisanya kamu tanya itu di saat aku butuh penjelasan kamu?” Gema tak mengerti dengan jalan pikiran Adira. Meski kesabarannya hampir terenggut paksa, dia tetap menjawab, “Papa aku menikah lagi sama kakak Ragana—aku juga baru tahu kalau mereka kakak-adik. So, don't show that kind of face.”
Adira terkejut, tentu saja. Jadi, luka yang sempat Gema ceritakan hingga Raden menutup diri, diciptakan oleh Sarah? Kakak Ragana lah sumber kesakitan dari sebuah keluarga kecil yang seharusnya dipeluk bahagia. Lengkung senyuman yang terukir di dalam sana seolah-olah sedang mengejek duka salah satu keluarga selama bertahun-tahun yang menimbulkan trauma berkepanjangan. Adira … masih tidak menyangka dengan apa yang didengarnya.
“Forget it. Aku udah nggak peduli sama apa pun yang berkaitan dengan keluarga baru papa. Jadi, bisa kita lanjutkan obrolan kita yang sebenarnya, Ra? Karena aku benar-benar bingung dengan sikap kamu yang tiba-tiba berubah.”
Adira mengembuskan napas berat. Semuanya terasa memusingkan. Jalinan benang merah di antara mereka terlalu banyak kebetulan, hingga Adira sangsi kalau bumi benar-benar luas. Dari sekian banyaknya kemungkinan, kenapa harus mereka bertiga? Seperti dia memang tidak bisa berjauhan dengan Gema.
Nggak, nggak. Kamu udah mantapin hati, Ra. Nggak boleh goyah.
“Gem, kamu tahu kalau hubungan ini dari awal salah. Baik kamu, maupun aku, nggak pernah benar-benar terikat dengan hubungan ini. Kita juga nggak pernah jujur tentang perasaan kita. Kayak, hubungan kita beda banget sama orang lain.” Adira mulai mengeluarkan keresahannya, sedangkan Gema memilih untuk mendengarkan dengan seksama. “Kamu baik, Gem. Banget malah. Hubungan pertama aku ternyata nggak seburuk itu. Kamu banyak bantu, dan menarik aku dari zona nyaman. Kamu bikin aku menjadi pribadi yang lebih berani. Kamu mengubah aku tentang cara menikmati hidup. Aku … sangat berterima kasih untuk itu.”
Dada Adira seketika sesak, hingga dia kesulitan bernapas. Tangan saling mengepal di sisi tubuh, sambil mendongak, menahan air matanya supaya tidak terjatuh. Belum apa-apa, Adira sudah merasa kehilangan. Dia rindu kenangan yang mereka buat, rindu kejahilan Gema, rindu saat-saat mereka bisa berbicara nyaman satu sama lain, bukan seperti ini. Ketegangan melingkupi keduanya, dengan tanda-tanda perpisahan yang berada di ujung tanduk.
Gema mengernyit. “Kamu bicara apa, Ra? What's wrong with us? Everything is fine, right? Kata-kata kamu kayak nggak mau kita berhubungan lagi.”
“Iya.” Kenyataannya memang begitu. Mereka terlalu banyak membuang-buang waktu untuk menjalani hubungan yang tidak jelas ini. “Kayaknya udah saatnya kita ambil jalan masing-masing, Gem. Terlalu banyak kebohongan yang bikin aku muak. Kita selesai sampai di sini, ya?”
Adira menangis. Dia tidak bisa menahan air matanya lebih lama. Bibir bawahnya digigit, mengurangi isakan yang hampir lolos. Kalau sudah begini, siapa yang bisa disalahkan? Gema yang masih berharap pada masa lalunya, atau Adira yang mulai serakah? Dia terlalu banyak berandai-andai hingga melupakan segala resikonya.
“Enggak-enggak, kamu bercanda. Kita baik-baik aja, Ra. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, kasih tahu aku. Jangan kamu pendam sendirian. Berkali-kali aku udah make sure kamu kalau hubungan ini bukan main-main.” Gema menolak mentah-mentah. Dia maju, hendak menggapai tangan Adira, tapi gadis itu justru melangkah mundur, seakan-akan tidak mau lagi berurusan dengannya.
“Bilang kalau ini cuma prank. Just don't do that. I will follow all your wishes. Kita baik-baik aja, Ra.”
“Aku mau selesai, dan keputusan aku udah bulat. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku.”
“Tapi, yang aku mau itu kamu. Gimana bisa kamu bilang kayak gitu?” Seperti ada yang meremas hatinya, Gema membungkuk dengan memegang dadanya. Di sana, sakit sekali. Dia tidak tahu kalau akhirnya akan begini. Dia tidak menyangka kalau Adira memiliki banyak keraguan kepadanya. Padahal, sebisa mungkin Gema meyakinkan Adira, tapi tetep saja. Adira dan banyaknya persepsi di kepala, berhasil mengalahkan Gema.
“Aku butuh ruang, Gema. Jadi, aku mohon. Jangan ganggu aku. We're done, and there's nothing more to talk about.”
Selesai. Mereka benar-benar selesai. Adira menutup mulut, lalu berbalik meninggalkan Gema yang masih terpaku. Tak sengaja, dia mendapati Ragana berdiri tak jauh dari posisi mereka. Hanya saja, Adira yang saat ini sedang kacau, tidak membutuhkan siapa pun. Dia hanya ingin sendiri, menikmati patah yang memeluk tubuhnya. Meski, jauh di dalam hati kecilnya, Adira ingin sekali kembali kepada Gema, bersikap egois, dan berkata kalau dia ingin terus bersama.
Namun, untuk sekarang, Adira menekan perasaan itu. Biarkan dia menikmati pahitnya sebuah akhir dari kebahagiaan semu. Gema berserta dunia laki-laki itu, bagai ketidakmungkinan yang berusaha Adira genggam. Dan, Adira sudah jatuh cinta pada ketidakmungkinan mereka.
Because the risk of loving is falling. She is ready to love, then she must be ready to fall.
End.
***
Dann, ini adalah surprise untuk kalian wkwkwk. Iya, kalian nggak salah baca kok. Aku juga gak ngeprank. Ini memang end. Selesai. Over atau apa pun itu. Gantung? Ah, enggak. Endingnya jelas, kok. Buktinya mereka putus wkwkwk
Apakah ada yang bertanya? Mungkin tentang kenapa endingnya sad, sih? Kok, mereka putus? Harusnya happy end, dong. Sini sini, biar aku kasih tau dikit.
Jadi, seperti yang Adira bilang, dari awal hubungan mereka dimulai dengan cara yang nggak bener. Gema yang anggap Adira pelarian, dan Adira yang iya iya aja karena dia suka sama Gema. Akhirnya, mereka cuma bisa saling nyakitin. Toh, kata Hara, Gema belum pasti sama perasaannya. Jadi, menurutku, ending ini pas dan gak terkesan memaksakan. Cmiiw.
Kalian bebas kok misuh-misuh, nggak apa-apaaaa wkwk, aku senang membacanya. Dan, kalau ada yang tanya tentang sequel, mungkin ada mungkin juga enggak. Tergantung, apakah hubungan mereka pantas untuk diberi kesempatan kedua atau enggak xixixixi
Dan, selain itu, aku mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan yang selalu kalian berikan untuk aku. Aku nggak tahu harus membalas kalian dengan cara apa. Meski ceritaku banyak kurangnya, tapi kalian tetap mau membaca dan memberi semangat yang sangat berarti.
Dengan selesainya cerita ini, maka otomatis aku akan kembali dengan cerita yang lain. Kalian suka genre apa? Atau mau kuspill dikit-dikit? Mudah-mudahan, bisa dipublish dalam waktu dekat, ya. Dan sesuai harapan kalian. Aamiin.
Sooo, sekali lagi terima kasih atas waktunya. Sampai jumpa lagi dengan cerita aku yang lain!
Bali, 01 Januari 2025
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top