36. Shattered Dreams

I'm so depressed, I act like it's my birthday every day

I'm so obsessed with him but he avoids me like the plague

I cry a lot but I am so productive, it's an art

You know you're good when you can even do it

With a broken heart

Taylor Swift—I Can Do It With A Broken Heart

***

Maharani dibuat keheranan akan sikap Adira yang jelas-jelas menghindari Gema. Tidak satu dua kali, bahkan saat mereka nyaris berpapasan dengan Gema—hanya berjarak beberapa langkah—Adira akan buru-buru mengajaknya berbalik atau menjauh, seolah-olah kalau bertemu, Adira telah melakukan kesalahan besar. Gema tentu sama bingungnya. Senyum yang muncul dan bibir terbuka begitu melihat Adira, hendak melontarkan banyak pertanyaan mengenai hilangnya gadis itu, seketika lenyap. Dia tak sempat untuk sekadar menyapa, karena Adira sudah lebih dulu pergi layaknya angin topan.

Tidak cukup sampai di situ. Adira juga absen dari kantin. Alasannya klasik; sudah sarapan di rumah dan perutnya begah. Padahal, kenyataannya Maharani dapat mendengar suara aneh dari perut temannya. Maharani tentu ingin bertanya, tapi Adira memilih tutup mulut. Sepertinya, ada banyak hal yang sudah dia lewatkan selama tak bertemu Adira. Bisa-bisanya, Adira yang selalu mengagung-agungkan Gema, tiba-tiba berubah haluan seperti melihat setan.

“Lo kenapa main kucing-kucingan sama Gema, sih? Kita udah muter-muter gedung fakultas, loh. Lo takut Gema bakal susul lo ke kelas?” Maharani sudah lelah. Kakinya yang memang jarang digunakan untuk olahraga, mulai menunjukkan tanda-tanda kerewelan. Dia memutuskan duduk di kursi yang berada di taman kecil sambil meluruskan kaki.

“Aku nggak mau ketemu dia dulu, Ran. Lagi males aja.” Jawaban ambigu Adira tentu semakin menimbulkan kecurigaan. Maharani menyipit, menatap temannya yang sengaja meliarkan pandangan ke arah lain.

“Lo bertengkar sama Gema? Kenapa? Dia udah nggak butuh lo lagi? Atau lo yang mulai sadar kalau Gema cuma manfaatin lo?” Maharani skeptis kalau mereka bertengkar. Adira yang terlalu buta pasti akan selalu membela Gema, begitu juga Gema yang meski masih abu-abu, tapi tak menampik kalau laki-laki itu mulai menaruh perhatian pada Adira. Terbukti dari prilaku Gema yang kalang-kabut setelah dihindari Adira.

“Enggak. Aku cuma pengin sendiri aja. Kadang, punya hubungan sama orang yang terkenal humble kayak dia bikin aku agak tertekan. Aku butuh udara segar.” Adira menghirup udara banyak-banyak. “Lagi pula, udah lama kita nggak punya waktu berdua, kan, Ran? Kamu selalu sibuk sama organisasi kamu, dan aku pikir aku terlalu banyak menghabiskan waktu sama Gema. Jadi, ya, kupikir kita butuh ruang. Aku kangen kamu.”

Bohong. Jangan kira Maharani akan percaya begitu mudahnya. Dia sudah mengenal Adira cukup lama, jadi dia tahu kalau gadis itu tak akan bisa mengelabuinya. Dari dulu, Adira paling buruk dalam berakting, maka dari itu guru-guru tak memilihnya untuk berlakon.

“Terus, kenapa lo menghindari Gema? Seharusnya, kalaupun lo pengin kita berdua, lo bisa nyapa Gema, dong. Kalian pacaran, jadi basa-basi sama pacar nggak bakal bikin dunia gonjang-ganjing kayak sinetron burung terbang.”

“Ya … nggak ada salahnya untuk ambil space, kan, Ran?”

“Salah. Salah banget kalau lo bersikap begitu untuk kabur dari masalah. Sebenarnya, lo kenapa, sih, Ra? Gue tahu lo ada masalah sama Gema. Lo nggak mau cerita sama gue? Walaupun untuk sekadar meringankan beban lo?” Lama-lama Maharani gemas juga dengan Adira. Meski begitu, Adira tak bisa untuk dipaksa. Semakin dituntut, maka Adira akan merasa semakin terbebani. Jadi, Maharani yang memiliki kesabaran setipis tisu, mencoba untuk bersikap lunak, supaya Adira tidak menjauhinya juga.

Adira memajukan bibir. Dia malas sekali kalau harus kembali mengulang cerita yang sama. Hanum pun begitu. Saat mengatakan kalau Gema sempat mencarinya ke rumah, Hanum meminta penjelasan, mungkin menyadari ada yang tidak beres dengan hubungannya dan Gema. Hanya saja, Adira enggan untuk berterus terang. Siapa yang menyangka kalau Maharani juga ikut penasaran.

“Nanti aku bakal cerita, Ran. Tapi, nanti. Nggak sekarang. Aku masih bingung cara menghadapi Gema. Bingung kalau sewaktu-waktu Gema butuh penjelasan.” Adira meremas jari-jarinya. “Kata lainnya adalah, aku pengin putus.”

Maharani terperangah, menatap Adira seolah-olah apa yang dia bicarakan merupakan sesuatu yang paling mustahil di muka bumi ini. Setahu Maharani, Adira dan Gema baru saja menjalani hubungan, yang di mana Adira bertingkah seperti orang kasmaran setengah mati, yang rela memberikan dunianya kepada Gema. Namun, di taman kecil fakultas ekonomi, dengan semilir angin yang berembus lembut, Adira mengungkapkan kalau dirinya ingin putus? Apakah singa sudah bertelur?

“Lo yakin sama keputusan lo?” tanya Maharani. Ya, walaupun dia cukup senang karena pada akhirnya Adira terbebas dari Gema, tapi tetap saja dia sangsi.

Adira mengangguk mantap. “Iya. Kayaknya banyak hal yang mendasari ketidakcocokan aku sama Gema. Kamu juga tahu, kan, kalau aku sama Gema ibarat bumi dan langit? Nggak bakal bisa satu. Aku nggak bisa mengimbangi dunia Gema, begitu juga dia. Kita harus tetap berada di poros masing-masing.”

“Kalau memang keputusan lo udah bulat, gue cuma bisa dukung. Mudah-mudahan lo nggak nyesel sama pilihan lo.”

Adira hanya tersenyum singkat. Mungkin, mungkin saja. Dia akan menyesal sebentar, menangisi Gema selama berhari-hari, dan mengingat kenangan indah yang sudah diukir bersama. Namun, setelah itu, dia harus bangkit, bertemu orang baru, mencari pengalaman lebih banyak, dan kembali menatap hidup. Setiap fase tersebut memang harus dilalui oleh orang-orang yang patah hati, bukan?

Saat Adira membiarkan hatinya terbuka untuk Gema, dia memang harus siap dengan segala resikonya.

“Tapi, Ran. Kamu harus bantu aku.”

“Bantu apa?” Kalau Adira memintanya untuk membantu move on dari Gema, Maharani selalu siap. Haruskah mencarikan Adira sosok laki-laki yang jauh di atas Gema? Atau mengajaknya hunting tempat makanan?

“Aku … ada janji. Tapi, aku nggak bisa dandan—maksudku, aku nggak tahu penampilan yang cocok untuk aku. Bisa bantu, nggak?”

“Bareng laki-laki?”

“Iya.”

Kejutan kedua. Mendadak, Maharani kehilangan kosa kata. Mungkin, ekspresinya kali ini seperti sedang melihat hantu. Adira … benar-benar mengejutkannya. Dia bahkan tidak mendapatkan satu pun laki-laki, tapi Adira nyaris memiliki dua? Gadis itu tidak perlu pusing-pusing lagi. Begitu putus, sudah ada laki-laki lain yang merentangkan tangan untuk memeluknya. Ternyata, Adira tidak sepolos yang dia kira.

“Sure. Gue bakal bantu lo dandan supaya Gema nyesel karena udah sia-siain lo.” Maharani menyunggingkan senyuman lebar hingga nyaris mencapai telinga.

Wah, Does she need to learn from Adira how to charm a man?

***

Sekali lagi, Adira mematut penampilannya di depan cermin di kamar Maharani dengan gugup. Celana dan atasan sederhana yang biasanya dikenakan, berubah menjadi gaun manis berwarna merah muda yang membalut tubuh kurusnya. Ini merupakan ide Maharani yang tiba-tiba mengajaknya pergi ke mall seusai pulang dari kampus.

Bingkai kacamata yang selalu bertengger di batang hidung Adira, menghilang, digantikan softlens berwarna cokelat muda yang memang dirinya punya—dipakai sewaktu-waktu kalau ada acara. Namun, Adira lebih menyukai kacamata, karena kontak lensa hanya akan membuat matanya kering hingga harus membawa obat tetes.

Untuk rambut, Maharani membiarkannya tergerai dengan ujung bergelombang. Sebagai penutup, Adira menggunakan heels tiga sentimeter yang dipinjamkan oleh Maharani. Hiasan serba dadakan tersebut nyatanya melebihi ekspektasi Adira. Dia … cukup terpukau, meski ada setitik kesedihan karena penampilannya ini dipakai untuk pergi bersama laki-laki lain, alih-alih Gema.

Hah! Mengapa dirinya terus-menerus mengingat laki-laki itu? Gema saja tidak pernah memikirkannya saat sedang bersama Zora.

“Ya ampun, cantik banget temen gue!” Maharani mengelilingi tubuh Adira dengan wajah puas. Si Kutu Buku telah berhasil menjelma menjadi seorang putri. Maharani sedikit menyesal karena baru sekarang bisa mengubah dandanan Adira. Padahal, temannya itu memiliki wajah yang memang cantik, hanya saja keengganannya dalam memakai riasan membuat keindahan Adira tertutupi.

Mendengar pujian tersebut, sontak saja pipi Adira memanas. “Apa, sih, Ran. Namanya juga perempuan, pasti cantik. Kalau ganteng, ya, laki-laki.”

Maharani menggeleng. “Lo beneran cantik, Ra. Kenapa nggak dandan dari dulu aja, sih?”

“Dikira Ondel-ondel Betawi nanti kalau aku dandan.” Adira masih saja belum terbiasa dengan pujian dari Maharani.

“Nggak. Percaya sama gue, lo beneran cantik. Kalau masih ragu, kenapa nggak lo tanya langsung sama si Raga? Dia ada di bawah juga, kan, sekarang?” Maharani mendorong pelan punggung Adira supaya keluar dari kamarnya, membawa gadis itu turun ke lantai satu, tempat Ragana berada.

Ada satu fakta lagi yang mencengangkan Maharani. Adira meminta untuk berdandan di rumahnya, sekaligus supaya Ragana menjemputnya di sana, bukan di rumah Adira sendiri. Alasannya karena tidak mau diwawancara dadakan oleh orang tuanya maupun Hanum yang memiliki jiwa kepo tingkat tinggi. Terlebih, orang tua Maharani sedang tidak ada di rumah. Jadi, kemungkinan Adira akan dicurigai mempunyai hubungan dengan Ragana, sangat sedikit.

Adira dan sifat ibu perinya. Memangnya, Maharani tidak tahu kalau Adira hanya ingin supaya Gema menjadi satu-satunya laki-laki yang boleh menemui orang tuanya.

“Jangan panggil dia Raga, Ran. Nggak sopan kamu. Umur dia di atas kita. Panggil Mas Raga.” Adira menegur Maharani seiring dengan langkah mereka yang menuruni tangga, berderap menuju ruang tamu.

Maharani hanya memutar bola mata, malas. “Ya, ya, ya. Mau namanya Raga. Mas Raga, Mas Jiwa, terserah. Yang penting, just take his hand, and go have fun. Gue menunggu berita baik.”

“Berita baik apanya?”

Mengabaikan Adira, Maharani langsung menyapa Ragana yang duduk membelakangi. “Hai, Raga. Adira-nya udah siap.”

Seperti adegan slow motion, Ragana berdiri, lalu berbalik dengan gerakan perlahan. Tubuhnya yang terbalut kaus putih dengan blazer biru tua sebagai luaran dan celana chino berwarna senada, tampak menawan. Untuk sesaat, laki-laki itu mematung, sebelum senyum terulas indah di bibirnya.

“You look perfect, Adira.” Ragana mendekat, dengan tatapan tak lepas dari Adira yang terlihat malu-malu. “Gue tahu lo cantik, tapi hari ini lo kelihatan stunning.”

Adira yang bingung harus menjawab apa, hanya tersenyum tipis. Kemudian, Ragana menekuk lengan kanannya, meminta Adira untuk menyambutnya, yang segera dilakukan gadis itu.

“Maharani, kami pergi, ya. Gue pinjam Adira sebentar, nanti bakal gue balikin tanpa lecet sedikitpun,” ucap Ragana, yang dibalas tawa oleh Maharani.

“Wajib. Jagain teman gue. Pokoknya dia harus pulang dengan penampilan yang sama kayak ini.” Maharani melambai begitu mendapat ibu jari dari Ragana. “Have a good time! Lo harus bersenang-senang, Ra!”

Maharani hopes that Ragana's appearance will bring a little happiness to Adira. 

***

Tidak ada note, hanya ingin menginformasikan kalau hari ini aku double update, dan ada kejutan untuk kalian. Ready?

Bali, 01 Januari 2025

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top