35. Temporary Bond

All my mornings are Mondays stuck in an endless February

I took the miracle move-on drug, the effects were temporary

And I love you, it's ruining my life

(I love you, it's ruining my life)

I touched you for only a fortnight

(I touched you) but I touched you

Taylor Swift—Fortnight

***

Seperti habis kecopetan, Adira menangis tersedu di depan minimarket, tak peduli pada orang-orang yang menatapnya keheranan. Hampir tiga puluh menit dia lalui dengan menangisi hubungan pertamanya yang kemungkinan akan kandas sebentar lagi. Memangnya, apa yang bisa dia pertahankan? Gema kembali kepada Zora, dan dia pasti sendirian.

Mengemis untuk memilihnya terkesan egois untuk dilakukan, yang hanya akan menyakiti semua pihak. Padahal, Gema baru saja menerbangkannya ke angkasa hingga dia lupa cara untuk kembali. Adira pikir, menjalin hubungan di umur dua puluh tahun hanya memerlukan visi dan misi yang sama, saling memahami, serta menjaga kepercayaan.

Namun, bagaimana jadinya kalau hanya dia yang melakukan itu? Sementara Gema justru masih berharap pada masa lalunya. Dia sudah mencoba memikirkan banyak dugaan, barangkali Gema tak bisa mengelak karena Zora memeluknya lebih dulu, atau sudut pandang Adira yang keliru karena posisi mereka agak tertutupi panggung.

Meski begitu, pertemuan rahasia keduanya pasti cukup intens sampai-sampai Gema tak bisa mengabarinya. Mungkin laki-laki itu terlalu bahagia dengan kehadiran Zora di hari spesialnya.

"Tapi, jangan bikin perasaan aku makin dalam sama kamu, Gem. Salah aku apa sama kamu?" Adira menarik napas susah payah. Air mata yang turun terus-menerus membuat hidungnya tersumbat. Patah hati pertama, ciuman pertama, dan hubungan pertama bersama orang yang sama. Benar-benar mengenaskan. Kalau tahu bakal berakhir begini, sudah dari dulu dia menolak ajakan Gema.

"Capek nangis." Adira menghapus air matanya, meski cairan tersebut justru terus mengalir membasahi pipi.

"Jangan-jangan, selama ini Gema memang sering interaksi sama Zora, tapi aku nggak tahu?" Praduga negatif mulai memenuhi kepala Adira layaknya bom yang bisa meledak sewaktu-waktu.

"Loh, Adira?"

"Astaga!"

Kemunculan wajah seseorang di hadapan seketika mengagetkan Adira. Dia yang terlalu fokus pada kesedihannya bahkan tak menyadari kalau ada sosok lain yang sudah berdiri di sana selama lima menit, memperhatikannya yang menangis sambil menggerutu.

“Mas Raga? Sejak kapan ada di sini?” tanya Adira, buru-buru menghapus air matanya secara kasar. Dia tidak mau Ragana mengetahui alasannya menggalau ria, padahal kemarin Gema bertindak seperti sosok pacar yang posesif.

Ragana diam sebentar, lalu menjawab, “Nggak lama. Tapi, masih sempat dengar lo bicara sendirian. Ada masalah? Kenapa nangis di sini? Nggak takut disangka gila?”

Mendengar pertanyaan Ragana yang sebenarnya bermaksud untuk menghibur Adira, tapi malah ditangkap berbeda oleh rungunya, gadis itu kembali menangis. Kini, tangisannya semakin kencang hingga wajahnya memerah. Tentu, Ragana panik luar biasa.

“Loh, loh, Ra? Kenapa nangis lagi?”

Ragana berusaha untuk menenangkan Adira, tak menyangka kalau kedatangannya ke minimarket untuk membeli tepung dan telor akan membuatnya ditatap seperti penjahat oleh orang-orang sekitar. Mereka menganggap kalau tangisan Ragana adalah penyebab Adira menangis—beberapa di antaranya juga ada yang meminta supaya Ragana tidak memutuskan hubungan mereka.

Putus hubungan bagaimana? Pacaran saja tidak. Dia sendiri tidak tahu akar masalah Adira.

“Kalau lo nggak berhenti nangis, awas ditangkap Satpol-PP terus dibawa ke Dinas Sosial!” Ancaman yang dilontarkan Ragana ternyata sukses membungkam Adira. Berangsur-angsur, tangisannya memelan sebelum benar-benar berhenti, meski isakannya masih terdengar sesekali.

Menarik ingusnya yang hampir keluar, Adira bertanya pelan, “Gimana cara move on, Mas?”

Alis Ragana naik sebelah. “Tiba-tiba banget. Lo ada masalah sama pacar lo?”

Adira tidak segera menjawab, melainkan menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan permasalahannya dengan Gema atau tetap bungkam. “Sedikit? Mungkin kami bakal putus.”

Raut wajah Ragana yang semakin menyiratkan keheranan membuat Adira sedikit menyesal. Mungkin laki-laki itu tidak percaya, begitu juga Adira. Sebelumnya, dia baik-baik saja dengan Gema, tapi tiba-tiba dia kepikiran untuk memutuskan hubungan mereka. Bukankah dia tampak seperti gadis labil?

Ragana menarik kursi di sebelah Adira, lalu duduk. “Move on nggak bisa dipaksa, Ra. Let it flow. Biarkan hati lo yang menentukan. Kalaupun lo pengin putus dan menghilangkan perasaan lo, ya, nggak apa-apa. Tapi, jangan terburu-buru. Lo harus mengikuti langkah-langkahnya. Enjoy every process. Mungkin bakal sakit, tapi lama-kelamaan lo bakal terbiasa dan akhirnya menemukan makna ikhlas.”

Bibir Adira mencebik, sedih. Kalimat panjang lebar Ragana terdengar seperti omong kosong yang tidak mungkin dia lakukan. “Tapi, aku nggak berani minta putus. Dia … aku suka sama dia, Mas. Mungkin udah ke tahap cinta dan nggak mau kehilangan dia. Dia bikin aku melihat dunia secara lebih luas. Nggak cuma stuck sama hal-hal membosankan yang dulunya adalah zona nyaman aku.”

“Terus, kenapa lo pengin melepas dia? Dari kata-kata lo, dia juga baik. Dia nggak memperlakukan lo dengan kasar, kan?”

Adira menggeleng pelan. Jangankan kasar, membentak saja tidak pernah.

“Jadi, apa masalahnya?”

“Dia masih berharap sama masa lalunya, Mas. Kami … nggak memulai hubungan dengan cara yang normal. Anggap saja, aku sebagai pelarian dia. Selama ini, aku selalu berusaha menahan diri dan mendoktrin kalau hubungan ini sekedar simbiosis mutualisme, tapi nggak bisa. Perasaan aku tumbuh tanpa bisa dicegah.”

Alasan terbesar sebenarnya adalah Gema yang memperlakukan dirinya dengan istimewa. Serangan kalimat manis, hadiah-hadiah kecil yang berharga, dan tatapan sedalam samudra sulit ditampik oleh Adira yang tak berpengalaman dalam percintaan.

Ragana meringis kecil. Tanpa mengatakannya pun, binar mata Adira sudah menjawab segalanya. Sorot kekaguman dan penuh cinta yang membayang di mata Adira saat menatap Gema terlalu jelas untuk disangka seperti kebohongan belaka.

“Gue, sih, nggak membenarkan fakta kalau Gema masih terikat sama masa lalunya, ya. Tapi, seenggaknya lo harus terbuka sama perasaan lo ke dia, supaya dia tahu harus bertindak kayak gimana. Dia juga mesti tegas tentang hubungan kalian. Entah itu memang lebih baik selesai, atau malah dia punya pendapat berbeda,” ucap Ragana, memposisikan diri sebagai penengah walaupun dia tidak kenal-kenal amat dengan Gema. Bahkan, dia baru melihat rupa laki-laki itu.

“Nggak tahu, Mas. Aku bingung. Kepalaku nggak bisa mikir, kayak semuanya tiba-tiba kosong.” Adira menunduk, menatap gelang pemberian Gema yang sengaja dinonaktifkan. Ponselnya juga mati—untung saja kehabisan baterai—seolah-olah menutup akses bagi Gema untuk berkomunikasi dengan Adira.

Ragana juga tidak mau bertindak gegabah dengan memberi terlalu banyak saran yang ditakutkan akan membuat Adira risi. “Mungkin lo butuh hiburan, Ra. Untuk melegakan hati dan pikiran lo. Gimana kalau besok lo ikut gue ke acara ulang tahun keponakan gue? Kebetulan lokasinya nggak jauh, masih sekitaran sini. Itu juga kalau lo mau.”

“Ulang tahun keponakan Mas Raga?” Adira mengerjap dua kali. “Hadiah yang Mas belikan itu, ya?”

Saat mendapat anggukan dari Ragana, Adira tak memiliki pilihan selain ikut mengangguk. Entah karena hatinya memang butuh ketenangan atau memang ini hanya alibi dalam rangka menjauhi Gema untuk sementara waktu. Yang pasti, tawaran Ragana menerbitkan lengkung senyuman di bibir Adira meski sangat tipis.

This time, she would let her heart choose.

***

"Kak Adira belum pulang, Bang."

Informasi yang diberikan oleh Hanum sepuluh menit lalu membuat Gema gelisah setengah mati. Berkali-kali, dia membaca pesan yang dikirimkan Adira, tapi isinya tetap sama; gadis itu bilang kalau dia akan pulang ke rumah menggunakan ojek online. Hanya saja, kenyataan yang didapat tidak begitu. Jelas-jelas Gema datang ke rumah Adira dan tidak menemukan gadis itu di sana. Hanum juga tidak mungkin berbohong. Untuk apa? Hubungan mereka baik-baik saja. 

Meski, kebisuan Adira yang tidak menjawab pesan dan menolak teleponnya dirasa cukup aneh. Kalau sedang sibuk, setidaknya mengabari Gema sudah cukup, bukan? 

Gema menghela napas panjang, terpekur seorang diri di dalam mobil, berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah dilakukannya sengaja maupun tanpa sengaja kepada Adira. Mungkinkah kebohongan kecilnya sudah diketahui? Ah, tidak mungkin. Memangnya siapa yang menyebarkan? Teman-temannya memang berengsek, tapi mereka bisa menjaga rahasia, termasuk Janu yang seringkali berbicara tanpa rem.

"Kamu ke mana, sih, Ra?" Gema mengetuk telunjuknya pada kemudi, memikirkan tempat-tempat yang kemungkinan disambangi gadis itu sebelum pulang. "JPO kali, ya? Biasanya dia suka jalan-jalan di sekitar situ."

Gema menggeleng. Dia sempat melewati tempat tersebut, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Adira. Gelang yang membantunya untuk berinteraksi dengan gadis itu pun tiba-tiba tidak bisa dipakai, membuat Gema mengira kalau dia sudah ditipu. 

Kepala Gema terjatuh ke kemudi sambil terpejam saat pusing melanda. Setelah kepergian Zora yang beralasan ingin mengemas barang, Gema langsung mencari Adira tanpa sempat beristirahat lebih lama. Dia penasaran dengan respons Adira mengenai penampilannya, terlebih dia mengumumkan hubungan mereka yang pasti akan menciptakan rumor selama berhari-hari. Orang-orang di kampus juga pasti akan membicarakan mereka. 

Gema cukup tahu karakter Adira yang enggan menimbulkan huru-hara, dan dia ingin meyakinkan Adira kalau semuanya akan baik-baik saja. Para manusia itu tidak akan berani membicarakan mereka di depan hidung keduanya, jadi cukup abaikan saja. 

Namun, bagaimana dia bisa menyampaikan hal tersebut kalau si empunya menghilang? 

Bisa jadi dia bareng Raga-Raga itu? 

Alarm bahaya seketika muncul. Tidak-tidak, hubungan Adira dan Ragana tidak mungkin sedekat itu. Ikatan yang terjalin di antara keduanya hanya sebatas formalitas, tapi kalau benar adanya, apa yang harus Gema perbuat?

O-oh, Gema semakin gelisah, dan ini tidak baik. Dia harus segera menemukan Adira, dan dia berharap dugaannya meleset. He was really worried that his suspicions were correct.

***

Happy new yearrr!!! Holaaa aku balik di malam tahun baruu. Aku mau tau dongg, kegiatan kalian di malam tahun baru ini gimana? Ada rasa dagdigdug, nggak, karena tau bentar lagi bakal ganti tahun? Dan kira-kira apa resolusi kalian di tahun berikutnya?

Tahun 2024 pasti cukup berat untuk kalian, ya? Termasuk aku. Hidupku di tahun ini kayak rollercoaster. Kehilangan orang yang disayang, move ke kerjaan baru, ada sesuatu yang buruk terjadi, dan masih banyak lagi.

Tapi, aku harap. Tahun-tahun berikutnya, kita diberi kebahagiaan yang banyak, kesehatan yang cukup, dan rejeki yang melimpah. Tahun ini pasti membentuk kita menjadi pribadi yang lebih hebat dan kuat. So, I'm proud of you all. Sering-sering peluk diri sendiri dan bilang kalau kita hebat, ya?

Aku juga minta maaf kalau ada salah kata atau perbuatan sama kalian. Kita tumbuh sama-sama, ya?

Ini adalah part terakhir yang aku update di tahun 2024.

Sampai jumpaaa!

Bali, 31 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top