32. Rusty Silence

They told me all of my cages were mental

So I got wasted like all my potential

And my words shoot to kill when I'm mad

I have a lot of regrets about that

Taylor Swift—This Is Me Trying

***

Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab dari Adira maupun teman-temannya langsung memenuhi notifikasi saat Gema baru saja mengaktifkan ponselnya setelah mengisi daya. Kebanyakan berisi pertanyaan mengenai keberadaannya yang tiba-tiba menghilang. Gema akui dirinya memang salah karena sudah menimbulkan kekhawatiran pada mereka. Apalagi, Gema mendiamkan Adira tanpa kejelasan, pun dengan ketidakhadirannya untuk latihan menjelang festival. 

Maka, untuk menebus kesalahannya, Gema mendatangi rumah Adira terlebih dahulu. Namun, Adira ternyata sedang tidak ada di rumah. Informasi yang disampaikan oleh ibu gadis itu membuat Gema seketika mengingat salah satu pesan Adira yang memberitahu tentang pertemuannya dengan sang layouter, kalau tidak salah namanya Ragana. 

Sejujurnya, Gema sangat ingin menyusul, tapi dia tidak tahu di mana tempat pertemuan berlangsung. Adira juga mendadak tidak bisa dihubungi. Entah ingin balas dendam atau memang tak ada sinyal, meski agak aneh kota metropolitan itu bermasalah dengan sinyal seperti sedang berada di daerah pelosok. 

Alhasil, Gema memutuskan untuk menunggu Adira di dalam mobil jep yang terparkir di bahu jalan, dekat rumah Adira. Nyaris tiga puluh menit, Adira belum muncul juga hingga akhirnya sebuah motor vespa berwarna biru langit berhenti di depan rumah Adira. Alis Gema menukik tajam seiring dengan turunnya sosok yang sangat dikenalnya dari bangku belakang motor seraya melepas helm berwarna merah muda.

Gema tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tapi dilihat dari senyum Adira yang tertarik lebar, kemungkinan obrolan mereka cukup menarik. Hanya saja, Gema merasa gelisah. Ada panas yang melingkupi dada, dengan tangan terkepal di atas paha. Dia tidak suka ada laki-laki asing yang diberi senyuman secantik itu oleh Adira. Dia tidak suka ada laki-laki asing yang mengantarkan Adira pulang selain dirinya. Apa pun alasannya, Adira merupakan kekasih Gema. Perasaan tidak rela melihat kedekatan sang kekasih dengan laki-laki tak dikenal adalah hal yang wajar, bukan? 

Dan, Gema enggan membiarkan perasaan tak nyaman ini hinggap berlarut-larut. Dia menekan tombol di gelangnya, seolah-olah mengkode Adira kalau dia berada di sekitar gadis itu. Namun, alih-alih sadar, Adira masih juga berbincang dengan Ragana, yang wajahnya baru pertama kali dilihat Gema, tapi sudah membuat sebal. 

Menghela napas panjang setelah kode keduanya masih belum juga mendapat respons, Gema akhirnya turun dari mobil, lalu berjalan mendekati dua insan yang masih asyik dengan dunia mereka. 

"Ra," panggil Gema pelan, tapi langsung memperoleh atensi dari keduanya dengan ekspresi berbeda. Ragana yang kebingungan, dan Adira yang terkejut. 

"Gema?" 

"Kamu kenal, Ra?" 

Gema menoleh ke arah Ragana sambil mengulurkan tangan. "Gema Sandyakala. Pacar Adira. Lo pasti layouter pacar gue, ya?" 

Ragana sempat terkejut, sebelum menyambut tangan Gema. "Iya. Gue Ragana Kalingga." 

"Thanks for taking my girlfriend home. Tapi lo bisa pergi. Gue ada urusan sama pacar gue." Pada sekali tarikan, Adira sudah berada dalam rangkulan Gema. "Lain kali, kalau mau ketemu, gue pengin ikut. Boleh, kan?"

Terdapat penekanan dalam nada suara Gema yang terdengar tak mau ada penolakan, membuat Ragana tak mempunyai pilihan selain mengangguk. Sepertinya, pacar Adira ini sangat posesif sekali. 

"Ra, gue pamit dulu. Untuk diskusi selanjutnya, kita bisa atur jadwal." Tatapan Ragana beralih ke Adira yang sedari tadi memilih diam sambil sesekali melirik Gema keheranan. Entah bagaimana bisa Adira yang lembut dan manis menjalin hubungan dengan Gema yang tampak seperti laki-laki berandalan—tak tahu sopan santun. 

"Iya, Mas. Hati-hati." Saat Adira melengkungkan sebuah senyuman tipis, secara terang-terangan, Gema langsung mengeratkan rangkulannya. 

"Aku mau bicara sama kamu, Ra." Belum juga Ragana menaiki motornya, Gema sudah menarik Adira untuk menjauh, masuk ke dalam mobil jep hitam berkilap yang baru Ragana sadari keberadaannya. 

"Gem? Itu Mas Raga belum pulang, loh." Adira melayangkan senyum sungkan sebagai tanda perpisahan. 

"Kamu kelihatan akrab banget sama dia. Ini pertemuan kedua, kan? Tatapan dia juga kelihatan beda ke kamu, Ra. Si Raga-Raga itu nggak bisa diganti memangnya?" tanya Gema, mendadak lupa tujuan awalnya datang ke rumah Adira. Dia yang sedang dilanda kecemburuan akut, terus memberondong Adira dengan banyak pertanyaan. Sementara pandangan tak suka diarahkan kepada Ragana yang mulai melajukan motor vespanya.

"Nggak mungkin juga aku musuhan sama Mas Raga, kan, Gem? Lagi pula, dia memang orangnya asik, jadi gampang mencairkan suasana," jawab Adira kalem seraya membenarkan letak kacamatanya yang agak melorot. 

Namun, alih-alih tenang, pembelaan Adira justru semakin mengobarkan api dalam tubuh Gema. "Tuh, kamu panggil dia pake sebutan Mas, sedangkan aku yang pacar kamu aja nggak ada panggilan spesial. Kamu muji dia juga, Ra." 

Adira spontan menatap Gema aneh. Tak pernah menyangka kalau Gema yang biasanya santai, tiba-tiba menjadi kelimpungan begini hanya gara-gara interaksi normalnya dengan Ragana. "Mas Raga lebih tua dari aku, Gem. Wajar kalau panggil Mas, itu bentuk kesopanan sama laki-laki yang umurnya di atas aku."

"Umur aku juga beberapa bulan di atas kamu, kok." 

"Kamu mau aku panggil Mas?" 

Mata Gema mengerjap. Bibir yang semula terbuka, langsung tertutup begitu mendengar pertanyaan—lebih tepatnya penawaran—tersebut. Dia mengernyit ngeri, membayangkan Adira memanggilnya Mas. Memang, dia masih memiliki darah Jawa dari keluarga sang ayah, tapi dari sekian banyaknya panggilan spesial, kenapa Adira malah salah menangkap maksud dari ucapannya?

"Nggak harus, Mas, Ra. Kayak aku, deh, panggil kamu dengan sebutan Sayang. Kamu bisa panggil aku dengan sebutan Love, Honey, Baby. Banyak pilihan, Ra." 

"Ih, geli banget, Gem!" Adira menggeleng, menolak keras. "Lagi pula, kenapa kamu ada di sini? Setelah hilang tanpa kabar, kamu muncul tiba-tiba kayak Jailangkung. Kamu ke mana, Gem?" 

Ditanya begitu, Gema gelagapan. Tidak mungkin dia jujur kalau dirinya habis menemani Zora yang sedang terkena musibah. Adira memang tak akan berkomentar apa pun—gadis itu terlalu tertutup terhadap perasaannya—tapi Gema cukup tahu diri untuk tidak menciptakan kesalahpahaman.

"Maaf, Ra. Pertemuan dengan papa bikin aku agak terguncang, jadi aku nggak komunikasi sama siapa pun. Even teman-teman aku. Makanya, hari ini aku datang ke rumah kamu, I want to apologize for ignoring you." Dengan lancar, Gema melontarkan alibi. Meski begitu, dia merasa tidak sepenuhnya membohongi Adira, karena dia memang datang untuk meminta maaf.

"Kamu nggak seharusnya minta maaf, Gem. Aku paham kalau kejadian kemarin bikin kamu syok, dan masih sulit untuk menerima. Kalau memang kamu masih perlu waktu, it is okay, take as much time as you can," balas Adira, yang seketika menyeret Gema ke dalam kubangan rasa bersalah. Ah, gadis ini mengapa baik sekali? Andai Adira mengetahui kebenarannya, apakah responsnya masih sama? Atau apa Adira akan kecewa dan menjauhinya?

"I always wonder why you are always so nice, Ra." Tanpa aba-aba, Gema menarik tubuh Adira, melingkarkan tangannya ke pinggang ramping sang kekasih. "How lucky I am to have you."

Adira yang mendapat serangan kalimat manis dari Gema, langsung mati kutu. Rasa panas menjalar dari telinga hingga ke pipi, mencipta kepakan kupu-kupu di perutnya.

Adira's heart is really cheap.

***

Berbeda dengan Adira yang menerima permintaan maaf Gema dengan tangan terbuka, teman-temannya justru bersikap acuh tak acuh. Mereka menganggap Gema tidak profesional sampai-sampai absen dari latihan tanpa alasan yang jelas. Bahkan, Tarangga yang biasanya menempel padanya, tiba-tiba menjauh sambil melayangkan lirikan sinis, seolah-olah hendak membunuhnya.

Ya, Gema akui kalau dirinya sudah bersikap kekanak-kanakan dengan mengutamakan kepentingan pribadi daripada urusan yang jauh lebih penting.

"Gue bener-bener minta maaf sama kalian semua. I didn't expect this to happen at all. I just sympathize with her." Gema menatap satu persatu temannya dengan raut penyesalan.

"Lo memang nggak bisa lepas dari Zora, ya, Gem." Rakyan yang pertama kali bersuara, setelah bermenit-menit hanya ada keheningan di ruangan berukuran cukup besar tersebut. "Lo nggak bilang sama kita dari awal, bahkan lo bohongin Adira. I haven't known Adira for long, but I know that she is a good girl."

Gema meringis. Dia sudah menceritakan tentang penyebab ketidakhadirannya, termasuk mengenai perceraian kedua orang tua Zora kepada keenam temannya. Dan, sesuai dugaan, berbagai macam umpatan dikeluarkan oleh mereka untuk Gema karena bertindak pengecut.

"Gue rasa ini bukan cuma sekadar simpati, tapi lo masih ada rasa sama Zora. Lo berengsek, sih, kalau pengin keduanya." Giliran Panca yang memberikan opininya. Laki-laki itu cukup pendiam, tapi sekalinya angkat suara, mampu membungkam si lawan bicara.

"Gue cuma bantu Zora, karena gue pernah mengalami itu. The phase after parents divorce is tough. Gue nggak mau Zora sendirian dan membiarkan pikiran-pikiran buruk mendominasi kepalanya." Gema yang merasa tersudut, melakukan pembelaan. Pendingin ruangan yang bersuhu rendah nyatanya tidak mampu mendinginkan udara sekitar, malah sebaliknya.

"Apa harus dengan mengabaikan Adira, Gem? Sebelumnya, gue udah pernah memperingatkan lo supaya tegas sama perasaan lo. Adira atau Zora. Keduanya nggak bakal bisa lo miliki sekaligus." Hara bangkit, mengubah posisi yang semula terlentang nyaman di sofa—hanya sibuk mendengarkan perdebatan teman-temannya—menjadi duduk. "Jangan sampai lo menyesal karena udah menyia-nyiakan Adira."

Kening Gema seketika bertaut. "Maksud lo?"

Hara mengedikkan bahu, sedangkan Janu yang paham maksud ucapan Hara, berucap penuh semangat, "Gue sama Hara ketemu Adira bareng laki-laki lain di toko hadiah. Awalnya, gue kira itu lo, tapi ternyata bukan. Ganteng, Gem. Tinggi lagi. Kalau dilihat-lihat, dia lebih tua dari Adira. Cocok, nih. Biasanya perempuan suka sama laki-laki yang dewasa, kan?"

Layaknya minyak yang mengobarkan api pada kayu terbakar, Janu terus mengompori Gema. "Kalau lo memang masih suka sama Zora, mending lepasin Adira. Laki-laki itu kayaknya naksir dia."

Mata Gema memicing tajam. Walaupun dia yakin kalau Janu hanya melebih-lebihkan, tapi entah kenapa emosi dalam dirinya meletup-letup, tidak keruan. Apalagi, mengingat bagaimana akrabnya Adira dan Ragana sewaktu di depan rumah gadis itu, semakin menambah ketidaksenangan pada hatinya.

"Laki-laki itu cuma layouter Adira. Mereka memang ada jadwal ketemu untuk bahas masalah kelanjutan novel pacar gue. Jadi, mereka nggak ada hubungan apa-apa." Gema mencoba berpikir positif, tak mau termakan hasutan Janu.

"Lo juga sebelumnya bukan siapa-siapa Adira, kan? Tapi sekarang kalian pacaran. Nobody knows, Gema." Seakan mendukung Janu, Radyta ikut menimpali.

Gema yang sudah muak—seolah-olah keenam laki-laki itu sangat ingin hubungannya dan Adira kandas—memilih diam. Kalau meladeni mereka, hanya akan menambah kekesalan Gema.

Adira couldn't possibly fall in love with that man, right?

***


Jadiii, kita bakal memasuki konflik cerita ini wkwkwk

Kira-kira, Gema sama Adira bisa perjuangin hubungan mereka atau justru putus tiba-tiba?

Ikutin terus, yaaaa!

Sampai jumpa!!


Bali, 17 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top