31. Glass Shattered

Help, I'm still at the restaurant

Still sitting in a corner I haunt

Cross-legged in the dim light

They say, "What a sad sight"

Taylor Swift—Right Where You Left Me

***

“Sorry, Ra. Jadwal kita yang harusnya dipake untuk diskusi, malah jadi nemenin gue begini.” 

“Nggak apa-apa, Mas. Lagi pula, aku juga senggang.” 

Alih-alih lega, jawaban Adira justru menambah perasaan bersalah Ragana yang tidak enak hati karena sudah mengganggu waktu luang Adira. Setelah disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus, hingga sempat meminta keringanan dari pihak penerbit, Ragana tahu betul kalau Adira membutuhkan ruang untuk melepas penat, tapi dia semakin merecoki gadis itu dengan hal remeh seperti membantunya mencarikan hadiah untuk sang keponakan yang akan berulang tahun, lusa nanti. 

Padahal, seharusnya hari ini adalah jadwal pertemuan kedua mereka untuk membahas mengenai kelanjutan proses layout novel Adira. Namun, malah berakhir di depan toko mainan anak-anak. Dan, sudah terhitung kesekian kalinya Ragana meminta maaf atas ketidakprofesionalannya dalam bekerja. 

“Habis ini, gue traktir lo makan. Bebas, lo yang tentuin pilihan mau makan di mana.” Ragana yang selalu tampil kasual—mengingatkan Adira dengan golden retriever—terus mengikutinya yang sedang melihat-lihat etalase boneka, seolah-olah berusaha membujuknya. 

“Nggak usah, Mas. Aku udah makan sebelum ke sini.” Adira menolak secara halus. Lagi pula, sehabis mengantar Ragana mencari hadiah, dia berniat untuk langsung pulang. 

Bukan tanpa alasan Adira ingin cepat-cepat pergi, melainkan dia harus bertemu seseorang yang sudah membuatnya cemas setengah mati. Siapa lagi kalau bukan Gema Sandyakala yang sering menghilang. Nyaris seharian ini Gema belum mengabari Adira, bahkan sederet pesannya hanya mendapat centang satu. Barangkali pertemuan dengan sang ayah menjadi penyebab Gema menutup diri. Diamnya laki-laki itu seolah-olah menandakan kalau percakapan mereka tidak berjalan baik. 

Gema ingin sendirian, tapi Adira tak mungkin membiarkan. Terlebih, terselip rasa tak nyaman karena sudah pergi berdua dengan Ragana, di luar pembahasan tentang novelnya, tanpa memberitahu Gema. Adira memang tidak sepenuhnya salah. Toh, yang memberi jarak lebih dulu adalah Gema. 

“Sayang banget kalau lo cuma anterin gue doang. Atau lo mau gue traktir novel, mungkin? Pasti ada list novel yang belum sempat kebeli, kan?” Sambil memindai hadiah yang cocok untuk diberikan kepada keponakan perempuannya, Ragana melirik Adira yang tampak sedang menunggu seseorang. Sedari tadi, dia sudah mengawasi tindak-tanduk Adira yang terus bergerak gelisah dan berulang kali mengecek ponselnya. 

Ragana tidak mau ikut campur, bukan ranahnya. Meski mulut gatal ingin bertanya, tapi dia menghargai privasi seseorang. Alhasil, sebisa mungkin dia mengajak Adira berbicara untuk mengecoh perhatian gadis itu. 

“Makasih atas tawarannya, Mas. Tapi baru kemarin aku beli novel. Jadi, hari ini harus puasa dulu.” 

“Even gue yang beli untuk lo?” Ragana memperlihatkan raut kecewa. “Kalau memang lo nggak mau, ya, gue nggak bisa maksa. Tapi, kalau lo perlu sesuatu, bilang aja. I tried my best.” 

Adira menanggapinya dengan senyum tipis. Getaran dari ponsel yang tergenggam langsung mengalihkan fokusnya. Namun, notifikasi tersebut ternyata bukan berasal dari orang yang ditunggu, melainkan pesan operator. Decakan kesal nyaris meluncur mulus andai saja Ragana tidak menunjukkan dua buah boneka berbeda warna dan ukuran ke hadapannya. 

“Menurut lo, lebih bagus yang mana? Gue sebenarnya nggak terlalu tahu kesukaan keponakan gue, karena jarang ketemu juga. Tapi, perempuan selalu suka hal-hal lucu kayak gini, kan?” tanya Ragana, bolak-balik memandang dua boneka yang berada di tangannya. 

Adira memiringkan kepala, menimbang-nimbang. Sejujurnya, dia juga bingung. Keputusan Ragana untuk membawanya merupakan suatu kesalahan. Meski dia memiliki adik perempuan, tapi untuk memilih barang-barang kaum hawa, dia bukan orang yang tepat. Karena menurutnya, kedua boneka tersebut sama-sama bagus. 

“Yang warna coklat kayaknya. Bahannya lebih lembut. Nggak ada bulunya juga, jadi nggak bakal rontok.” Adira mengelus boneka berwarna coklat yang berukuran lebih besar. Kalau tidak salah ingat, boneka tersebut merupakan salah satu karakter di kartun We Bare Bears. 

“Oke. Gue pick yang coklat.” Ragana meletakkan kembali boneka satunya ke pajangan. “Makasih udah bantuin pilih hadiah, ya, Ra.” 

“Sama-sama. Mas juga udah banyak bantu aku.” 

Ragana mengangguk singkat. Sementara laki-laki itu pergi menuju kasir, Adira hendak menunggu di luar. Namun, tiba-tiba dia berpapasan dengan dua orang yang cukup dikenalnya, karena merupakan teman satu band Gema. Hara dan Janu. 

“Loh, Adira? Lo lagi beli hadiah juga?” Janu menyapa pertama kali. Dengan senyum manis yang mampu memikat para kaum hawa, Janu mulai celingak-celinguk, seperti mencari seseorang. “Lo ke sini bareng Gema?”

Adira spontan menggeleng. Belum sempat dia angkat suara, Hara lebih dulu menyela. “Ngobrolnya jangan di dekat pintu, ada yang lewat.” 

Ketiganya segera menyingkir, agak masuk ke dalam toko. Kemudian, Hara kembali berbicara. “Gema bareng lo?” 

“Enggak. Aku … sama temen. Anterin dia beli hadiah untuk keponakan. Kalian beli hadiah untuk siapa?” Sebetulnya, Adira cukup was-was. Pertemuan dengan Hara dan Janu di saat dirinya sedang pergi bersama Ragana ditakutkan akan menimbulkan kesalahpahaman. Meski Hara terlihat cuek, tapi si friendly Janu mungkin akan bersikap sebaliknya. 

“Untuk adik Janu. Masih SD.” 

Alis Adira terangkat tinggi. Dia pikir Janu merupakan anak tunggal seperti Hara. Ternyata, Janu memiliki saudara yang jarak umurnya cukup jauh dari laki-laki itu. 

“Mama gue kebobolan. Biasalah, honeymoon berkedok perjalanan dinas. Jadi, adik gue lahir tanpa rencana,” ucap Janu. Adira hanya mengangguk, mengerti. 

“Gue kira Gema bareng lo, Ra. Karena dari semalam hapenya nggak aktif. Waktu ketemu lo, gue pengin tanya tentang keberadaan Gema. Tapi, ternyata Lo nggak bareng dia.” 

Perkataan Hara menimbulkan kebingungan di benak Adira. “Loh? Justru aku pikir Gema lagi sama kalian. Soalnya, dia juga nggak ada ngabarin aku.” 

Giliran Hara dan Janu yang saling berpandangan. Kejelasan mengenai keberadaan Gema semakin mengabur. Pasalnya, Gema sempat izin latihan karena pergi menyusul Adira yang sibuk mengurusi event organisasi. Jadi, ketidakhadiran Gema pada latihan berikutnya dirasa memiliki sangkut paut dengan Adira. Namun, ternyata mereka salah. 

“Terus, Gema ada di mana?” 

“Ra, gue udah selesai bayar. Mau langsung pulang?” 

Belum sempat kebingungan mereka terjawab, Ragana menghampiri Adira, membuat pandangan Hara dan Janu beralih. Keduanya semakin mengernyit melihat kehadiran sosok laki-laki yang tak dikenal. 

Why is the situation getting worse? 

***

Orang tua Zora resmi bercerai. Satu kenyataan pahit itu harus diterima oleh Zora sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama siang kemarin. Air mata berlinang di pelupuk saat melepas kepergian sang ayah yang akan meninggalkan Indonesia untuk menetap di negeri orang. Mungkin ini adalah cara terbaik untuk mereka, tapi Zora masih merasa berat. Sewaktu masih bersama saja, ayahnya jarang sekali berada di rumah, sibuk bolak-balik keluar kota demi menafkahinya dan si ibu yang justru berselingkuh dengan mantannya di masa sekolah. 

Zora ingin tinggal bersama ayahnya, sungguh. Melihat wanita yang sudah melahirkannya hanya menciptakan rasa sakit karena sudah mengkhianati sang suami yang sudah bekerja mati-matian untuk keluarga. Namun, ayahnya melarang dengan alasan kalau Zora harus menemani ibunya. Suatu pilihan yang berat, membuat Zora pada akhirnya memilih untuk hidup seorang diri. 

Zora membenci ibunya, sangat. 

“Sekarang nasib kita sama, Gem. Sama-sama dari keluarga yang hancur.” Tangis Zora sudah berhenti, menyisakan bengkak di mata dan kemerahan di hidung. “Tapi makasih, ya. Udah temenin gue.” 

Senyuman setipis benang itu tampak menyedihkan di mata Gema. Nyaris semalaman penuh, dia berada di apartemen Zora, menemani. Setelah kemunculan Zora yang tiba-tiba di depan rumah, dia baru tahu kalau selama ini keluarga Zora sedang tidak baik-baik saja. Harapan supaya orang tuanya kembali bersatu melalui proses mediasi hanyalah keinginan yang sia-sia. Karena rumah tangga tak akan bisa berjalan utuh apabila hanya satu kaki saja yang menjadi tumpuan, sedangkan kaki lainnya berusaha untuk pergi. 

“Gue tahu kalau lo kuat, Zo. Gue nggak bakal bilang kalau semuanya bakal baik-baik aja, tapi lo harus bangkit. Dunia nggak akan berhenti hanya untuk bersimpati atas musibah yang lo alami. Mau nggak mau, suka nggak suka, lo harus tetap melangkah ke depan.” Gema menghela napas panjang, menatap Zora yang duduk di seberangnya. “Don't let bad thoughts come into your mind. Never be alone, and try to do positive things.” 

Mendengar kata-kata penyemangat yang keluar dari mulut Gema, Zora hanya tersenyum miris sambil memilih jari-jari yang berada di atas paha. Meski terdengar penuh perhatian, nyatanya Zora merasa sangat asing, seolah-olah jarak yang membentang di antara keduanya, semakin jelas. Tanpa pelukan, tanpa kehangatan yang biasanya terbayang di bola mata, maupun genggaman yang enggan terlepas. 

Zora … rindu dengan Gema Sandyakala yang dia kenal bertahun-tahun lalu. Zora sudah menghancurkan semuanya, bukan? Pertemanan, percintaan dan keluarga. Zora merasa dirinya hanyalah kesialan bagi orang-orang yang dekat dengannya. Tak ada yang bisa diperbaiki dari hubungan yang sudah hancur. Namun, dia tetap bersyukur. Meski mungkin Gema enggan untuk berinteraksi dengannya, dia tetap membantu Zora. 

Gue udah menyia-nyiakan seseorang yang berharga. Bodoh banget! 

“Gue mungkin bakal tinggal sementara di rumah oma. Setidaknya sampai gue feel better,” ucap Zora, menghapus cairan bening yang untuk kesekian kalinya, kembali terjatuh. 

“Jadi, lo bakal ngajuin cuti?” tanya Gema, yang disambut anggukan pelan oleh Zora. 

“Gue butuh suasana baru. Jogja kayaknya bakal cocok sama gue yang suka jalan-jalan.” 

“Kalau itu bikin lo merasa baik, take your time. Apa pun pilihan lo, gue tahu itu yang terbaik.” Hanya itu, tanpa ada penghiburan berlebih, apalagi ekspresi tak rela karena mereka akan berpisah, seperti yang Gema lakukan dulu tiap kali Zora liburan ke rumah Oma. 

“Jadi, habis ini lo ada janji?” Sejujurnya, Zora ingin Gema tinggal lebih lama, tapi sikap dingin laki-laki itu hanya akan menyakiti Zora lebih dalam. Seakan-akan hanya raganya saja yang di sini, sementara pikirannya melalang buana. 

Dengan cepat, Gema mengiyakan. “Gue mau ketemu Adira. Hape gue lowbat, jadi nggak bisa hubungi dia. Gue nggak mau dia makin khawatir.” 

Ah, ya. Adira. Zora nyaris lupa kalau nama itu sudah mengisi relung hati Gema—entah sejak kapan—dan mengusirnya yang merupakan pemilik lama. Bersama Adira, Gema jauh terlihat bahagia. Binar matanya selalu berseri-seri setiap berada di dekat gadis itu. Bahkan, senyum yang dulunya selalu mengarah kepadanya, kini berganti. Zora hanya bisa menikmati, tapi tak lagi bisa menjadi penyebab senyum itu terbit. 

“Semoga langgeng terus sama Adira, ya. Happy for both of you.” 

Zora's heart was broken many times because of her own stupidity.

***

Balik lagiii nihh. Tapi aku nggak ada note, sih. Cuma mau sapa-sapa manja sama kalian, wkwk

Haiiii, gimana nih harinya? Memasuki musim hujan, belakangan ini di tempat kalian hujan nggak? Kalau di tempatku, sih, hujan. Sempet sakit juga kemarin dan BB ku turun drastis. Tiga kilo turunnya wkwk, mantap.

Soo, jaga kesehatan kalian, ya! Have a nice day pokoknya ❤️

Sampai jumpaaa!

Bali, 08 Desember 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top