29. Stretching Distance

The burgundy on my T-shirt when you splashed your wine into me

And how the blood rushed into my cheeks, so scarlet, it was

The mark you saw on my collarbone, the rust that grew between telephones

The lips I used to call home, so scarlet, it was maroon

Taylor Swift—Maroon

***

Bagi Adira, sesederhana berjalan-jalan bersama Gema, menunggu malam berkuasa, sudah mampu mencipta bahagia. Lengkung berbentuk sabit dari obsidian gelap Gema terlukis indah saat simpul senyuman terarah kepada Adira. Lelah yang semula menggelayuti, mendadak sirna hanya dengan menghabiskan sisa-sisa hari yang padat, berdua. 

Mendung mulai menyelimuti langit di Kota Jakarta, tapi tak menyurutkan langkah mereka yang saling bersisian sambil bercerita mengenai kegiatan masing-masing saat tak bersua. Adira yang lambat-laun semakin terbuka, terus berbicara dengan begitu ekspresif, mendominasi obrolan. Binar mata penuh semangat yang secara konstan dikunci rapat oleh tatap Gema, kian bercahaya karena pantulan sinar dari lampu jalanan. 

“Kalau aja April masih keras kepala, aku beneran mau mengundurkan diri. Katanya ketua, tapi nggak mau terima masukan dari anggotanya.” Adira bersungut-sungut. “Untung banget acaranya berjalan lancar. Yang lain juga pada kompak. Walaupun dia udah minta maaf, aku masih kesel tiap kali lihat dia,” lanjutnya.

Kening yang bekernyit dalam dan bibir mencebik kesal, sukses memicu tawa Gema sebagai pendengar setia. Membayangkan bagaimana gadis bertubuh mungil itu mengungkapkan kekesalannya membuat Gema tak bisa menahan kegemasan hingga hidungnya berkerut dengan tangan menepuk pelan kepala Adira. 

Pacar gue kenapa bisa lucu begini?

“Jangan terlalu kesal sama orang, Ra. Nanti kamu malah naksir.” Gema menimpali—bermaksud menggoda—yang langsung mendapat pelototan dari Adira. 

“Ih, mana ada! Aku nggak suka sama orang egois kayak April.” Ekor rambut Adira bergoyang saat si empunya menggeleng sambil menyuarakan penolakan. 

“Terus, sukanya sama siapa?” Alis Gema terangkat sebelah. Senyum terkulum tipis begitu melihat kegugupan Adira yang seketika berpaling. Tanpa harus diberitahu, Gema sudah bisa menebaknya. Seperti buku terbuka, ekspresi Adira mudah terbaca oleh siapa pun dalam satu kali pandang. Hanya saja, Gema masih betah mengusili Adira, menikmati rona malu-malu yang menghiasi pipi gadis itu. 

“Kiss me if I’m wrong, Ra. Tapi kayaknya kamu suka sama aku, ya?” 

“Kiss … apa?” Adira menoleh cepat, lalu kembali berpaling. “Omongan kamu perlu difilter, Gem. Biar nggak aneh-aneh. Lagi pula, kata siapa aku suka sama kamu?” 

“Jadi, aku salah? Padahal, aku juga suka kamu, loh. Berarti ciuman yang kita lakuin beberapa kali itu, nothing special, ya.” Bibir Gema tertekuk ke bawah, sedih. Meski begitu, ada lirikan jail yang terpantul di kelereng Gema. 

Ungkapan mendadak tersebut seketika mengejutkan Adira. “Kamu suka siapa? Aku? Jangan bercanda.” Tawa sumbang meluncur dari bibir gadis itu, menolak untuk percaya. Dia tahu, Gema merupakan laki-laki humoris. Barangkali ucapan penuh kebohongan tadi hanyalah bagian dari gurauannya. 

Terlebih, tak ada yang bisa Gema sukai dari Adira. Gadis tertutup yang eksistensinya jarang diketahui orang-orang. Sulit beradaptasi, dan tidak berpenampilan menarik. Dibandingkan Gema, Adira hanyalah pelengkap ekosistem. Keberadaanya tak terlalu penting hingga mendapat perhatian dari sekitar. Setelah mengenal—bahkan berinteraksi dengan Gema—barulah dunia Adira berubah. Banyak yang penasaran karena dia berhasil menjalin kasih dengan Gema. Tak sedikit pula yang berpikir kalau Adira hanya memanfaatkan Gema. 

Para gadis yang menaruh minat pada Gema jauh lebih baik daripada dirinya. Toh, awal hubungan mereka juga murni ketidaksengajaan. Gema yang patah hati membutuhkan pelarian, dan Adira datang. Seakan-akan takdir sudah merencanakan. Entah ini merupakan keberuntungan atau sekadar kebetulan. Kedekatan mereka yang semakin erat, membuat Adira takut tak bisa lepas. 

“Kenapa kamu pikir ini cuma candaan? Perasaan bukan mainan, Adira.” Gema menatap sang kekasih lamat-lamat, menelisik tiap detail wajah manis Adira yang selalu melayang-layang di kepala. Semula, Gema memang denial, berpikir kalau perasaan yang muncul entah kapan itu hanya singgah sementara—barangkali hati terlalu patah dan akhirnya menemukan obat pereda—tapi semakin lama, Adira seperti afeksi yang membuatnya kecanduan. Pada tiap interaksi yang terjadi di antara mereka, menimbulkan kenyamanan di benak Gema. Saat mereka berjarak, kekosongan yang nyata menggerogoti sudut hati Gema. 

Hara benar. Dia harus mengakui perasaannya sebelum terlambat. Tak ada yang tahu sejak kapan tahta Zora sebagai sang pemilik hati, bergeser. Mungkin sejak ciuman di halaman belakang kampus? Atau sejak Gema mulai mencari tahu tentang Adira? Atau bisa jadi, sejak ciuman kedua mereka di rumah Maharani? Kapan pun itu, Gema tidak peduli. Dia hanya peduli pada perasaan Adira. 

“Kamu masih suka Zora, Gem. Hubungan kita dimulai berbeda dari orang-orang pada umumnya. Nggak mungkin kamu tiba-tiba suka sama aku.” Ah, hatinya mendadak sakit saat memikirkan sesosok gadis cantik yang disukai Gema. Ketidakpercayaan diri Adira meningkat bersamaan dengan pikiran-pikiran buruk yang mulai menghantui; cepat atau lambat, Gema pasti akan memutuskan hubungan mereka. 

“Kenapa jadi makin merembet ke mana-mana, sih, Ra? Kalau kamu masih nggak percaya, ya, nggak apa-apa. Tapi, jangan pernah bawa-bawa Zora lagi. Aku nggak suka.” Gema mengambil tangan Adira, meremasnya lembut. “Our relationship, it is us who live it. Don't involve other people.” 

Adira hanya menunduk, melirik jemarinya yang terasa pas dalam genggaman hangat Gema. Dia tidak punya keberanian untuk menggugat laki-laki itu lebih dari kalimat sebelumnya. Biarlah keraguannya ini disimpan sendirian. 

“Berarti kamu harus kiss me, Ra.” Seolah-olah menyadari ketidaknyamanan Adira, Gema mengganti topik obrolan, sementara tautan mereka bergerak seirama dengan langkah keduanya.

“Kenapa gitu? Kan, nggak ada aturannya.” Adira panik. Bisa-bisanya Gema terang-terangan membahas mengenai hal memalukan tersebut di depan umum. 

Gema mengedikkan bahu. “Karena kamu nggak jawab apa pun. Jadi, aku nggak bisa mastiin apa aku salah atau benar.” 

“Nggak mau! Nggak fair!” Adira buru-buru menutup mulutnya sambil menggeleng tegas. 

Gema tertawa, cukup kencang, hingga memancing lirikan dari beberapa pejalan kaki maupun pengendara. Adira yang malu-malu menjadi hiburan tersendiri bagi Gema. Namun, kesenangannya harus terhenti karena rintik hujan yang mulai turun. 

“Ra, hujan. Kita neduh dulu, ya? Beli payung. Kalau balik ke mobil, takutnya nggak keburu.” Gema melepas jaket lalu memayungi kepala Adira. 

“Kayaknya ada minimarket dekat sini,” ucap Adira menambahi. Guyuran hujan semakin deras, membuat orang-orang sibuk mencari tempat berteduh. Kaos Gema basah, mencetak otot-otot tubuhnya yang keras, sementara Adira terlindungi oleh cardigan merah mudanya yang dirapatkan erat-erat. 

Namun, baru beberapa langkah terambil, kaki Gema tertahan, seperti dipaku. Tatapannya lurus ke depan, menatap seorang pria yang berada tidak jauh dari posisinya, sedang menggenggam payung dan kantong belanja. Dari sekian banyaknya manusia di muka bumi ini, mengapa Gema lagi-lagi harus kembali bertemu dengan pria itu? Kenapa Tuhan tidak berpihak kepadanya sedikit saja?

“Gem? Kenapa diam? Hujannya deres banget.” Sentuhan Adira langsung menyadarkan Gema. Menatap sekilas sambil menyunggingkan senyum paksaan, Gema semakin mendekatkan tubuh mereka. 

“Ayo pergi!” Mereka melanjutkan langkah. Saat hendak melewati pria itu, suara yang terdengar di antara tumpahan air dari langit menghambat kaki Gema dan Adira. Sementara Adira menatap penuh tanya ke arah Rama, Gema hanya bergeming di tempat. 

“Gema? Nak? Bisa papa bicara sama kamu? Sebentar saja.” 

Papa? 

Kebingungan Adira mendapatkan jawaban. Dia menatap iras keduanya secara bergantian. Meski hanya sekilas, tapi kemiripan tampak nyata dimiliki oleh mereka. Siapa pun yang melihat, pasti akan tahu kalau Gema merupakan duplikat Rama versi muda. Bahkan, jejak-jejak ketampanan masih terlekat pada wajah pria paruh baya yang menunjukkan beberapa kerutan di sekitar itu. 

“Ra, ayo pergi!” Gema yang enggan menjatuhkan pandang ke arah sang ayah, gegas mengajak Adira menjauh, tak mau kalau kekasihnya sampai ikut campur ke dalam permasalahan keluarganya walaupun sempat diceritakan secara garis besar saja. 

“Nak, om bisa titip ini? Kamu pakai payungnya.” Tiba-tiba, Rama mengulurkan kantong belanjanya dan payung kepada Adira. “Om mau bicara sebentar dengan Gema.”

Adira menjadi serba salah. Di satu sisi, dia paham betul kalau kemunculan Rama membuat Gema gusar karena membangkitkan luka lama yang terpendam. Di sisi lain, sepasang ayah dan anak itu memang butuh bicara soal keretakan yang terjadi. Hanya saja, Adira tidak mungkin meninggalkan Gema. Menyembuhkan rasa sakit akibat pengkhianatan bukan sesuatu yang mudah, terlebih harus tetap kuat untuk melindungi keluarga yang tersisa. 

“Leave me, Ra. I'll take care of this first.” Gema berbicara—akhirnya, setelah jeda selama beberapa menit. 

“Tapi, Gem…” Adira masih ragu-ragu. 

Gema tersenyum tipis, sangat tipis hingga tampak seperti tarikan paksa. “Kamu kehujanan, nanti sakit. Bawa payungnya dan cari tempat teduh. Aku bakal kembali secepatnya. Tapi, kalau ternyata cukup lama…” Dia melirik Rama yang mulai kebasahan sebab memberikan payungnya kepada Adira. “Kamu bisa pulang duluan. Sorry, I can't take you home.” 

Tanpa menunggu persetujuan Adira, Gema mengambil kantong belanja Rama dan memberikannya kepada pria paruh baya itu. “Anggap Papa nggak pernah ketemu Adira, dan jangan sekali-kali melibatkan dia untuk kepentingan Papa.” 

Adira tentu tak paham maksud Gema, tapi sang ayah—Rama—tahu pasti arti tersirat dari ucapan anaknya. Gema tak mau dirinya menyeret Adira hanya untuk pertemuan mereka yang entah kapan lagi akan terwujud. 

It seems like Adira is not just a friend to Gema, ya? 

***


Andddd here I am. Back again! Di sela-sela chaosnya kehidupan di kantor, nulis tuh emang healing banget nggak, sih? Bener-bener yang serba-serbi perdramaan di kantor bikin pikiran sama badan ikutan capek, wkwkw. Tapi ya udahlah yaaa. Datang, kerjakan, lupakan

Dan, today mood ku juga lagi nggak enak karena berita tentang pemakaman Liam Payne. Send good prayers for him, okay?

By the way, kalian ada yang punya drama juga gak sii? Entah di perkuliahan, sekolah, atau tempat kerja. I want to know thattt. Tapi nggak maksa nih

Ya udah, bye bye!!!

Bali, 21 November 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top