28. Drowning In Smiles
Tossing, turning
Struggled through the night with someone new
And I could go on and on, on and on
Lantern, burning
Flickered in the night, only you
But you were still gone, gone, gone
Taylor Swift—This Love
***
Akhirnya, event besar yang Adira tunggu hingga membuatnya tak bisa tidur belakangan terakhir, berakhir sudah. Meski ada beberapa masalah kecil, tapi Adira bisa bernapas lega karena dapat melaluinya dengan baik. Bersama satu timnya, Adira akan merayakan keberhasilan acara tersebut di sebuah restoran yang berada di dekat kampus setelah beres-beres.
"Terima kasih atas kerja samanya, ya, Adira. Lo banyak membantu." April, ketua panitia, mengulurkan tangan kepada Adira dengan senyum merekah, tak seperti sebelumnya yang selalu memasang ekspresi tegang.
"Ini berkat kekompakan panitia yang udah nurunin ego. Enggak pengin menang sendiri." Adira sengaja menyindir, masih cukup kesal saat mengingat bagaimana April enggan menerima masukan dari anggota panitia lainnya, menimbulkan kontra yang nyaris mengacaukan acara. Andaikata laki-laki berambut cepak itu masih mementingkan ego, maka Adira berniat untuk mundur dari panitia.
"Gue paham kalau lo masih kesal sama gue. Forgive me, Dir. Lain kali gue bakal lebih welcome dan nggak egois." April mengelus tengkuknya, merasa bersalah. "Kalau gitu, gue duluan, Dir. Anak-anak udah pada nunggu. Lo mau bareng gue?"
Tawaran April cukup menggiurkan, berhubung Adira juga tak ada tumpangan. Masalahnya, dia sedang menunggu seseorang yang sebelumnya tampak di sepanjang acara, tapi mendadak hilang dari pandangan. Beberapa pesan yang Adira kirimkan terabai begitu saja di gelembung obrolan.
Gema ke mana, sih?
"Aku nyusul aja. Ada urusan sebentar." Mungkin Adira bisa menyusul ke gedung fakultas Gema atau memeriksa di markas, barangkali ada teman-teman Gema yang bisa ditanyai mengenai keberadaan laki-laki itu.
"Ya, udah. Gue pergi duluan, ya."
Adira memberi ulasan senyum untuk mengiringi kepergian April. Helaan napas meluncur dari bibir Adira sebelum kembali mengecek ponselnya yang sepi, hanya berisi notifikasi dari aplikasi toko online dan operator. Dia mulai bergerak, hendak menjauhi aula kampus saat tangannya tiba-tiba menghangat. Ruas-ruas jarinya terasa penuh, dengan tarikan yang membuat Adira menoleh.
"Hai, Adira?" Kerlingan manis itu tentu sangat dikenali oleh Adira.
"Gema!" Warna muka Adira menjadi cerah. Kelegaan melihat sang pujaan hati merambati dada. "Kamu dari mana aja?"
"Nggak ke mana-mana. I am always around you. Kamu aja yang sering nggak peka." Sudut-sudut bibir Gema membentang, membentuk simpulan senyum yang mampu menggelitik tiap partikel dalam tubuh Adira. Satu tangan Gema yang tersembunyi di balik punggung, bergerak ke depan, memunculkan sebuah buket bunga mawar berukuran sedang.
"You did well, Sayang. Selamat atas kesuksesan event-nya."
Adira tak mampu berkata-kata, terkejut dengan hadiah yang dipersiapkan Gema secara tiba-tiba. Saat dia menerima buket tersebut, Gema merentangkan tangan dan berkata, "Free hug for my Sayang."
Adira sempat tertawa—menertawakan sikap kekanak-kanakan Gema—sebelum masuk ke dalam dekapan hangat laki-laki itu. Elusan di punggung serta kecupan-kecupan kecil yang mendarat di pucuk kepala membuat Adira semakin membenamkan dirinya di dada Gema, mengabaikan fakta kalau mereka masih berada di lingkungan kampus yang bisa saja dipergoki oleh Dosen sewaktu-waktu.
"Gimana perasaannya? Senang? Capek?" tanya Gema, tetap mengelus punggung Adira dengan gerakan konstan.
Anggukan kepala Adira berikan sementara kepalanya sedikit mendongak, supaya bisa menatap wajah Gema. "Senang banget. Capek udah pasti, tapi ketutupan sama rasa bangga karena berhasil menyelesaikan acara dengan lancar. Bahkan, stand-stand makanan yang ada di depan aula, habis dan mereka kasih review yang bagus."
Binar semangat yang terbayang di kelereng cantik Adira, menciptakan kekehan lembut diiringi tepukan pelan pada surai hitam Adira. "I know my girlfriend can do it very well. Tapi, ini semua juga berkat tim kalian yang kompak."
Kalimat terakhir Gema kembali mengingatkannya pada ajakan teman-teman panitia. Mungkin saja, mereka sekarang sudah berada di restoran. Dan, seakan-akan saling terhubung, ponsel Adira bergetar, membuat keduanya mau tak mau melepaskan pelukan mereka. Benar saja. Begitu Adira melihat si penelepon, dia langsung tahu kalau mereka sedang mencarinya.
Melirik Gema yang berdiri anteng menungguinya, Adira mulai mengangkat telepon. "Halo?"
"Dir? Lo di mana? Anak-anak udah pada kumpul, tinggal lo doang."
Mendengar itu, Adira menjadi tidak enak. Dia menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Aduh, maaf, ya. Kayaknya aku nggak bisa ikut. Ada urusan soalnya. Mungkin lain kali aja. Salam buat yang lain."
"Jadi, lo nggak bakal ikut? Sayang banget, nih. Padahal, kita mau rayain keberhasilan bareng semua panitia. Eh, lo malah nggak ikut." Suara teman-temannya yang lain ikut terdengar, menyayangkan keputusan Adira.
"Aku bener-bener minta maaf, April. Udah ada janji dan orangnya juga udah dateng. Nggak enak juga kalau diajak gabung, takut malah canggung." Gema sempat memiringkan kepala saat Adira menyeret dirinya dalam panggilan tersebut.
"Ya, udah. Mau gimana lagi? Have fun, Dir. Kapan-kapan kita jadwalin hangout lagi bareng yang lain."
"Makasih, April."
Panggilan terputus. Gema yang memperhatikan obrolan tersebut, mulai angkat bicara. "Kenapa nggak ikut? Memangnya ada acara apa?"
Dengan senyum manis yang tersungging, sedikit malu-malu, Adira menjawab, "Acara makan-makan bareng sama panitia. Tapi, lain kali aja."
"Karena mau jalan bareng aku?" tanya Gema retoris. Memang, kemarin Gema sudah mengatakan akan mengajak Adira berjalan-jalan setelah event, tapi tak menjanjikan karena takut kalau-kalau ada latihan mendadak.
Barangkali itu juga yang membuat Adira sempat menyanggupi ajakan teman satu timnya.
"Kamu nggak ada latihan, kan, hari ini?" Adira memastikan. Dipikir-pikir lagi, kalaupun Gema ada latihan, tak mungkin sekarang laki-laki itu ada di hadapan.
"Sebenarnya ada, tapi bolos sekali-kali nggak apa-apa, kok." Gema tak mungkin melewatkan hari istimewa Adira. Toh, beberapa waktu kemarin dia sudah berlatih dengan giat bersama para anggota.
"Nanti temen kamu cari, gimana?" Adira merasa tak enak dengan teman-teman Gema.
"Nggak usah dipikirin." Gema hanya mengendikkan bahu tak acuh. "Daripada itu, I have something to give you."
"Apa? Bukannya kamu udah kasih aku bunga?" Sebuket bunga saja sudah menyenangkan hati Adira. Saat dia bertanya-tanya, Gema mengambil tangan Adira yang bebas, lalu melingkarkan sebuah gelang ke pergelangannya.
"Ini bukan sembarang gelang, loh. Kalau kamu tekan tombol ini, gelang yang aku pakai bakal berkedip-kedip." Gema menunjukkan gelang yang sudah lebih dulu melingkari tangannya. Mirip dengan milik Adira, tapi sedikit berbeda di bagian desain. Gelang milik Gema lebih sederhana dan berwarna hitam.
"Gem? Ini..." Adira kehilangan kata-kata.
"Norak, ya? Aku nggak tau kamu suka hadiah yang kayak gimana. But, I tried my best."
Adira menggeleng. "Enggak. Maksudku nggak gitu. Justru, aku senang. Aku nggak sangka aja kamu bakal kasih aku hadiah selain bunga." Adira melihat gelang yang diberikan oleh Gema lalu menekan tombol yang dimaksud. Benar saja. gelang Gema berkedip, seolah-olah memiliki keterikatan dengan gelang miliknya.
"Aku kasih ini supaya kita tetap bisa terhubung walaupun lagi jauhan." Gema tersenyum lebar, senang kalau pemberiannya diterima baik oleh Adira. Sebenarnya, dia tidak merencanakan hal ini. Namun, saat sedang membeli buket bunga, tak sengaja dia melihat ada seorang pedagang aksesoris dan menemukan gelang pasangan yang katanya limited edition tersebut. Semula, Gema memang sangsi, meski tetap membeli. Pilihan yang tepat ternyata, karena semua terbayarkan dengan rona bahagia yang berhasil dia ciptakan di wajah cantik Adira.
"Sekali lagi, makasih Gema." Senyum manis itu tak pernah luntur, membuat Gema mengusap kepala belakang, salah tingkah. Apakah senyum Adira memiliki dopamin bagi tubuhnya? Kalau iya, terlalu banyak diberi senyuman, bisa menimbulkan efek bahaya!
"Jadi, kamu masih ada tenaga untuk jalan bareng aku?" Gema cepat-cepat menggenggam tangan Adira, membawanya berjalan menyusuri kampus mereka yang sangat luas.
Anggukan cepat dilayangkan oleh Adira. Entah kenapa, setelah seharian disibukkan dengan organisasi kemahasiswaan, melakukan percakapan kecil bersama Gema mampu melepaskan segala kecemasan dan kepenatan di tubuh Adira. Terlebih, genggaman yang erat, tapi tak menyakiti ini memberi suntikan semangat yang membuat Adira tak ingin hari cepat berganti. Kalau bisa, dia akan menghentikan waktu supaya kebersamaan mereka jauh lebih lama.
"Kamu penginnya ke mana?" tanya Gema, lagi.
"Terserah kamu aja. Kamu penginnya kita ke mana?"
"Ada tempat yang pengin kamu kunjungi?"
Adira menggeleng pelan, memperhatikan jari-jari mereka yang saling bertaut sambil bergoyang-goyang seiring dengan hentak langkah keduanya. "Nggak tau. Aku ikut kamu aja."
Bibir Gema terkulum tipis. Ya, mau bagaimanapun, fakta kalau Adira hanyalah seorang gadis yang tak bisa menentukan suatu pilihan, tidak bisa Gema elak. Bahkan, meski dia sempat mengira Adira cukup berbeda dari gadis seusianya, nyatanya tak membuat salah satu karakter umum kaum hawa itu sirna. Okay, men. You have to make the right choice.
***
I decided to publish this part. Jadi, setelah sekian lama tak bersua, aku kembali menyapa. Semoga kalian suka, dan selalu menunggu cerita ini—khususnya.
Aku kangen kangen banget nulis, kangen sama para pembaca, dan pasangan favorit kita. Alasan apa pun, mungkin bakal terdengar klise di telinga. Tapi, sungguh. Pekerjaanku begitu menguras otak dan tenaga, huhuuu. Ada beberapa masalah juga yang mau nggak mau harus diselesaikan segera. Baru-baru ini baru bisa luang.
Soooo, see u love!
Bali, 08 November 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top