27. Which Flows Freely

What if I told you none of it was accidental

And the first night that you saw me, nothing was gonna stop me?

I laid the groundwork and then, just like clockwork

The dominoes cascaded in a line

Taylor Swift—Mastermind

***

Pengusiran dari Raden membawa Gema dan Adira berjalan-jalan di sekitar komplek, menikmati cahaya jingga yang memenuhi langit sore. Meski tangan tak saling bertaut, tapi bahu yang beberapa kali bersentuhan dengan langkah beriringan, Gema menyamai gerakan kaki mereka, menciptakan kehangatan yang memenuhi rongga dada Adira. Kesibukan satu sama lain sempat menimbulkan jarak tak kasat mata di antara keduanya. Membangun kerinduan untuk saling bertatap muka dalam waktu lama, menghabiskan momen bersama untuk kemudian disimpan di memori kepala selamanya. 

Kalau saja Adira masih mempertahankan gengsi, mungkin dia tak akan ada di sini, diam-diam melirik Gema melalui ekor mata dan merekam tiap sudut wajahnya tanpa diketahui oleh si pemilik mahakarya. 

"Tanggal lima belas nanti, kamu senggang, Ra?" tanya Gema, memutus keheningan setelah berjibaku pada pemikiran masing-masing. Gema yang masih malu-malu karena keisengannya disalahartikan oleh sang adik, dan Adira yang masih belum puas menjadi pengagum rahasia pacarnya. 

"Tanggal lima belas? Beberapa hari lagi, dong?" Adira mendongak. Binar senja membias wajah Gema, membuat kelereng gelap Gema berubah kecokelatan, seiras dengan kacang almond. Sangat cantik. 

"Iya. Tiga hari setelah event kamu selesai. Itu tanggal festival band aku. Kalau kamu ada waktu, aku pengin kamu datang." Gema menjelaskan, walaupun memang dia pernah membahas tentang ini sebelumnya. Hanya untuk memastikan, sekaligus berharap gadis itu menyanggupi permintaannya. 

"Seharusnya, sih, aku bisa datang. Karena memang waktunya juga nggak tabrakan sama tanggal event. I want to come." Bagaimana mungkin Adira melewatkan kesempatan indah ini? Bukan sebagai penonton yang hanya bisa mengagumi, tapi sebagai pacar yang eksistensinya diakui.

"You sure, Adira?" 

Adira mengangguk pelan. Senyuman tersungging hingga ke mata melihat kegembiraan terpancar di wajah Gema, seolah-olah kehadirannya sangat berarti bagi laki-laki itu. Oh, atau Adira yang terlalu terbawa perasaan? 

"Janji, ya, kamu bakal datang? Kamu bisa ajak Maharani, atau Hanum, atau dua-duanya sekalian. Because, I have a surprise for you." Gema menunjukkan jari kelingkingnya di depan Adira. "Pinky promise?" 

Gelak tawa seketika meluncur dari mulut Adira, tak menyangka kalau Gema akan bersikap selucu itu. Biasanya dia bertindak seperti laki-laki penuh karisma yang mampu memikat dan mematahkan hati para kaum hawa sekaligus. 

Sambil menautkan jari kelingking, Adira menjawab, "Promise. Tapi, kamu juga bakal lihat event aku, kan? Nggak adil kalau cuma aku yang datang ke acara festival band kamu." 

"Pasti. Aku bakal datang. Kapan lagi lihat pacar sendiri tampil keren sebagai panitia acara besar? I'm so proud of you, Sayang." 

Bola mata Adira melebar sempurna. Belum selesai keterkejutannya, Gema menjalin jari-jari mereka, membawanya ke dalam genggaman hangat. "My Sayang." 

"Gema! Ih, apaan, sih. Aneh banget manggil begitu." Adira berusaha melepas genggaman mereka yang semakin erat. Rasa panas sudah menjalar hingga ke telinga dengan senyum tertahan, salah tingkah. 

"Kenapa, Sayang? Apa yang salah?" Melihat kepanikan Adira, Gema semakin gencar menggoda gadis itu. 

"Panggilan kamu. Jangan panggil aku begitu. Aneh banget." 

"Apa yang aneh sama panggilan Sayang ke pacar sendiri? Kamu pacar aku, bukan pacar orang lain. Iya, kan, Sayang?" 

"Tuh! Manggil begitu lagi." Adira buru-buru menutup mulut Gema menggunakan tangannya yang bebas. Dia melirik sekitar, takut kalau-kalau ada yang mendengar. Meski lingkungan perumahan Gema cukup privasi, dengan orang-orang yang bersikap acuh tak acuh, tapi tetap saja malu kalau ketahuan. 

Gema terkekeh, lalu menjauhkan tangan Adira dari mulutnya. "Kalau kamu mau, kamu bisa panggil aku Sayang juga." 

Tawaran yang diberikan Gema tentu ditolak mentah-mentah oleh Adira. Seumur-umur, dia belum pernah berpacaran dan memanggil seseorang dengan sebutan itu tentu cukup menggelikan. "Nggak mau." 

"Berarti kalau aku panggil Sayang, nggak apa-apa, kan?" 

"Gema." 

"Iya, Sayang?"

Bibir Adira mengerucut, sebal. Sungguh, dia malu. Mungkin Gema sudah terbiasa memanggil mantan-mantannya dengan sebutan itu, tapi Adira tidak. Dia belum terbiasa, bahkan romantisme yang diberikan Gema saat mereka berpacaran masih terasa canggung untuk diterimanya.

Tanpa mengatakan apa pun, Adira melepas pegangan mereka—kali ini Gema tidak menahan—sebelum mengambil langkah cepat, meninggalkan Gema. Kalau dibiarkan, bisa-bisa dia semakin meleleh karena rasa panas di sekujur tubuhnya.

"She's really cute." Gema mengerutkan hidung, gemas. Pilihannya untuk memacari Adira ternyata tidak salah. Haruskah dia berterima kasih kepada Zora yang menyebabkannya mengambil keputusan sepihak ini? Kalau bukan karena kecemburuannya yang membara, mungkin Adira hanya akan dikenalnya sebagai guru les Raden. Andai dia tahu menjalin hubungan dengan Adira membuat hari-harinya semakin berwarna, mungkin Gema tak akan melepaskan Adira di malam festival kampus tempo lalu.

Sambil berlari kecil, Gema menghampiri Adira yang sudah jauh berada di depan. Kaki boleh saja kecil, tapi kalau sedang merajuk begitu, kecepatan langkah Adira boleh diacungi jempol.

"Adira, tunggu!" Saat jarak mereka sudah dekat, Gema menarik tangan Adira, membuat gadis itu mau tak mau menoleh. Namun, tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di pipi kanannya, disertai senyum menawan di sudut-sudut bibir Gema, puas.

"Marking this very sweet mine."

Adira bergeming. Tubuhnya mendadak kaku, dengan kaki yang lemas, nyaris tak bisa berpijak di bumi. Gema almost gave him a heart attack!

***

Trauma dengan kejadian tadi sore, Adira mati-matian menghindari Gema, bahkan saat mama Gema memintanya untuk ikut makan malam, dia memilih duduk di dekat Raden, berseberangan dengan laki-laki itu. Sikap antisipasi yang terang-terangan ditunjukkan oleh Adira, membuat Gema beberapa kali menendang pelan kaki Adira dari bawah meja, yang tentunya tak direspons si empunya.

"Gema bilang, kamu lagi sibuk-sibuknya. Ada event di kampus dan novel kamu akan terbit. Benar?" Mama Gema memulai pembicaraan setelah makan malam selesai. Meletakkan alat makan di atas piring, wanita itu membersihkan mulut menggunakan tisu.

"Iya, Tante. Makanya aku minta izin untuk absen ngajar les dulu. Maunya tetap lanjut, tapi kayaknya bakal keteteran. Setelah event-nya selesai, aku bakal lanjut ngajar, kok." Adira tersenyum sopan. Sebenarnya, dia merasa tidak enak. Dari awal, dia lah yang menginginkan pekerjaan ini sebagai tambahan uang jajan. Namun, di pertengahan, dia justru meminta libur. Padahal, tugasnya pun tidak susah. Hanya menjadi 'teman' Raden supaya anak itu bisa bersosialisasi. Terlebih, mama Gema tetap memberi gaji sesuai kesepakatan.

Adira benar-benar mendapat gaji buta.

"Nggak apa-apa, Adira. Take your time. Kebetulan, Raden juga lagi sibuk belajar untuk lomba cerdas cermat. Walaupun tante berharap kamu bisa membantu Raden, tapi dia sendiri yang nggak mau ganggu kamu. Toh, tante butuh guru les Raden supaya dia punya teman bicara selain tante, Gema sama bibi." Mama Gema melirik anak bungsunya yang membereskan peralatan makan lalu mencucinya di wastafel. Memang, wanita itu selalu mengajari anak-anaknya untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri, salah satunya adalah membersihkan bekas makanan mereka, tak peduli meski tersedia asisten rumah tangga.

"Raden nggak mau ganggu aku?" Adira sedikit sangsi. Lirikan dilayangkannya kepada Raden yang tetap bersikap tak acuh.

"Dia juga yang minta Mama tetap gaji kamu full." Gema menambahi. Laki-laki itu mengambil baked milk pudding sebagai makanan pencuci mulut.

"Serius?"

Gema mengangguk. "Bahkan, dia beberapa kali tanyain kamu ke aku."

"Don't tease me!" Gerah sekaligus malu karena kartunya dibuka, Raden langsung melotot ke arah Gema. Karena peralatan makan sudah dibersihkan, maka Raden cepat-cepat pergi dari ruang makan sebelum kembali mendengar hal-hal yang membuatnya menjadi sasaran godaan.

"That's not a true fact!" Raden sempat membela diri saat tubuhnya sudah menghilang, menimbulkan kekehan kecil dari Adira. Dengan gengsi yang begitu tinggi, wajar saja kalau Raden enggan untuk mengiyakan ucapan Gema dan ibunya.

"Selama mengajari Raden, kamu ada kesulitan, Adira?" Mama Gema kembali mengarahkan tatap kepada gadis itu. Memiliki kesibukan yang menggunung membuatnya jarang berada di rumah dan bertemu Adira untuk sekadar mengobrol santai. Dia hanya mendengar secara garis besarnya dari Gema. Jadi, mendengarnya langsung dari mulut Adira tentu lebih baik, bukan?

"Kalau masalah pembelajaran, aku akuin Raden itu anaknya cepat tanggap, dan pintar. Tapi, mungkin karena kepribadian dia agak tertutup, aku agak kesulitan untuk dekat sama dia di awal-awal pertemuan. Untungnya, Gema banyak membantu, Tante." Adira berterus terang. Mengenal Mama Gema, dia menjadi tahu kalau wanita itu memiliki pembawaan yang ramah dan nyaman, seperti anak sulungnya. Tak heran kalau Adira langsung merasa akrab.

"Itu akal-akalan Gema aja karena pengin deketin kamu. Buktinya, kalian pacaran, kan?"

Gema nyaris tersedak, sementara Adira langsung menunduk. Dia menatap mamanya tak setuju. "Mana ada! Aku beneran niat bantu Adira. Kalau masalah kami yang pacaran, memang daya pikat Adira yang menarik."

Ucapan Gema yang dipikirnya akan normal, nyatanya hanya membuat kepala Adira semakin tertunduk, tak memiliki nyali untuk sekadar memperlihatkan mukanya kepada Mama Gema.

"Kamu itu ada-ada saja. Mama heran, kenapa Adira mau sama kamu?"

Gema tersenyum lebar. "Karena aku ganteng, Ma." Adira syok berat. Kepercayaan diri Gema benar-benar di luar dugaan Adira. Berbeda dengan mamanya yang sudah terbiasa.

Gema ngaco!

Adira sudah berkomat-kamit dalam hati, hendak melontarkan berbagai macam umpatan kepada Gema.

"Adira, kalau kamu udah nggak betah sama Gema, tinggalin aja, ya." Mama Gema menepuk bahu Adira pelan, membuat gadis berkacamata itu akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat kepala.

"Oke, Tante."

Jawaban Adira tentu mendapat protes dari Gema. "Loh, kenapa gitu? Jangan putus, dong."

"Kalau kamunya aneh-aneh, ya, wajib diputusin lah." Bukan Adira yang berbicara, melainkan sang mama. Gema mengerutkan kening dalam-dalam, menatap Adira meminta pembelaan. Namun, Adira hanya melengos, pura-pura tidak melihat.

This was the consequence of Gema kissing her without permission!

***

Haiiiii, malam-malam aku mampir, nih! Gimana kabar semuanya? Mudah-mudahan selalu baik, ya.

Anywayyyy, beberapa hari lalu, aku ulang tahun mwuehehehe. Ada yang bisa nebak, aku umur berapa? Dan, aku sangat sangat bersyukur karena selalu dikelilingi oleh orang-orang baik, termasuk kaliannn.

Aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk kalian yang masih stay dan selalu mendukung aku. Ini adalah salah satu berkah yang Allah kasih untuk aku, selain kesehatan dan tambahan umur.

Sooo, segitu aja dulu, yaaa. Nanti kita ketemu lagi. Baybayyy!!!

Bali, 15 September 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top