25. Reclaim Baggage

Sapphire tears on my face

Sadness became my whole sky

But some guy said my aura's moonstone

Just 'cause he was high

Bejeweled—Taylor Swift

***

Menjadi manusia produktif ternyata cukup menyulitkan bagi Adira yang terbiasa bersantai ria. Disibukkan dengan berbagai macam agenda membuat Adira harus curi-curi kesempatan untuk beristirahat. Kalau sebelumnya dia sampai mencari kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kali ini dia kesulitan berbagi waktu. Bahkan, kepulangan keluarganya dari Bandung yang semestinya dirayakan dengan berkumpul sambil mengobrol—bercerita mengenai keseruan selama di sana—tidak terealisasikan.

Saking penuh jadwal Adira, akhir pekan yang biasanya dihabiskan dengan berleha-leha, mau tak mau dimanfaatkan untuk bertemu pihak layouter dari penerbit yang akan mencetak novelnya. Dan, sesuai kesepakatan, pertemuan diadakan di House Cake, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah Adira.

Walaupun belum pernah bertatap muka, Adira sudah beberapa kali bertukar pesan dengan layouter itu mengenai konsep desain tata letak di halaman depan novelnya. Menurut informasi yang dia dapatkan, nama si layouter adalah Ragana Kalingga—nama yang tidak dia kenal tapi cukup familier di telinganya. Entahlah. Adira tidak ingin menebak-nebak. Lagi pula, mereka akan berkenalan secara langsung, bukan?

Akhirnya, setelah menempuh dua puluh menit perjalanan menggunakan transportasi umum, Adira sampai di tempat janjian. Sebelum masuk, Mas Raga—nama panggilan Adira kepada laki-laki itu karena usianya yang empat tahun lebih tua—menghubungi Adira melalui pesan singkat kalau dirinya sudah berada di sana, tepatnya di lantai dua, tiga meja dari tangga.

Aroma manis pastry dan buah-buahan yang menjadi topingnya, menelusup ke hidung Adira saat membuka pintu. Tatapannya menyapu seisi ruang yang cukup ramai. Kebanyakan dari mereka sedang hangout bersama teman, sedangkan sisanya menikmati kesendirian ditemani kue-kue cantik nan manis yang menggugah selera.

Tatapan Adira beralih ke arah tangga yang terletak di sisi kanan pintu. Sambil memegang tali tas selempang, Adira berderap, menaiki anak tangga satu persatu. Tepat di undakan terakhir, Adira bisa melihat sesosok laki-laki di meja ketiga dari tangga, sedang duduk membelakanginya. Itu pasti Mas Raga!

Kegugupan mulai melanda Adira. Kepercayaan diri yang susah payah dibangunnya saat berada di rumah tadi, mendadak lenyap. Dia merasa seperti sedang mendatangi kencan buta. Terkecuali Gema, Adira tak pernah menjumpai laki-laki asing sendirian. Semestinya, dia mengajak Maharani untuk menemani supaya hatinya lebih tenang.

Namun, Adira tidak mungkin mundur begitu saja. Demi novelnya yang akan segera terbit, dia akan menekan perasaan malu itu dan mencoba untuk beramah-tamah dengan Raga. Menarik sudut-sudut bibirnya ke atas senatural mungkin, Adira melangkah menghampiri Raga.

"Permisi ... Mas Raga?"

Merasa namanya dipanggil, Raga seketika menoleh. Dan, Adira tidak bisa menahan keterkejutannya saat melihat sosok berwajah mirip karakter River Lee dari Webtoon berjudul Mystique. Laki-laki itu, kan, yang pernah dia temui di Gramedia!

Pantas saja Adira merasa tidak asing dengan nama Ragana Kalingga. Meski sekilas, rungunya tetap menangkap suara Raga saat menyebutkan nama.

"Jadi, lo yang namanya Adira Isla? So, we meet again." Raga tersenyum simpul, lalu mempersilakan Adira untuk duduk. Pramusaji datang tak lama kemudian, lalu mulai mencatat pesanan Adira. Sementara makanan Ragana sudah terhidang di atas meja. Setelah pramusaji pergi, Raga kembali melanjutkan. "Gue memang merasa kalau kita bakal ketemu lagi, tapi gue nggak nyangka bakal secepat ini, dengan takdir yang cukup unik."

Adira hanya melukiskan senyum canggung. Dia juga tidak menyangka kalau laki-laki yang sempat dia perlakukan acuh tak acuh di Gramedia adalah layouter novelnya. Andai saja Adira tahu lebih dulu, sudah pasti dia akan bersikap lebih baik lagi. Setidaknya, dia akan memberikan kesan pertama yang menyenangkan, seperti membahas mengenai rekomendasi novel romansa atau sekadar menanyakan genre kesukaan masing-masing.

Namun, ini bukan kesalahan Adira. Wajar kalau dia bersikap jual mahal terhadap laki-laki yang tidak dikenalnya. Toh, Raga juga tidak memperkenalkan diri dari awal kalau dia adalah layouter yang akan menangani novelnya.

"Iya, Mas. Aku juga nggak tahu kalau Mas Raga itu layouter aku." Adira meletakkan tas selempang di atas pangkuan. "Maaf juga kalau sikap aku kemarin kurang mengenakkan."

Mendengar permintaan maaf Adira, senyum Raga semakin melebar. "Sikap lo wajar, kok. Gue juga bakal lakuin itu kalau ada orang yang tiba-tiba sok akrab." Dia mengutak-atik iPad yang berada di atas meja, lalu melirik Adira sekilas. "By the way, nggak apa-apa, kan, kalau gue bicara santai begini? But, if you feel uncomfortable, I can change it. Gue orangnya fleksibel."

Adira langsung menggeleng. "Nggak apa-apa, Mas. Senyamannya Mas Raga aja. Lagi pula, kayaknya aku yang terlalu kaku."

"Bukan masalah. Dari profil yang sempat gue baca, lo lahir dan besar di Bandung, ya? Tapi, pindah ke Jakarta beberapa tahun lalu karena suatu alasan."

Adira mengangguk mengiyakan. Orang-orang yang baru mengenalnya mungkin akan berpikir kalau Adira kurang bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang dia pijaki. Padahal, dia sudah berusaha untuk menjadi warga Ibukota seperti yang lain, tapi untuk kata ganti, dia belum terbiasa.

"Iya. Kebetulan, ayah aku mutasi ke Jakarta. Jadi, kami sekeluarga ikut pindah." Adira memang menyertakan data umumnya untuk memenuhi persyaratan yang ada di surat kontrak. Jadi, tidak heran kalau Raga mengetahuinya.

"Pasti berat untuk meninggalkan tempat yang menciptakan banyak kenangan dan memulai semuanya di tempat baru. Kembali bersosialisasi, kembali menyesuaikan diri, walaupun mungkin ada beberapa hal yang kurang lo sukai." Dengan tatapan hangat, Raga berbicara. Laki-laki yang hari ini tampak lebih tampan dalam penampilan kasual dan model rambut two block—cukup berbeda dari pertemuan pertama mereka karena rambut Raga sedikit lebih panjang—seolah-olah ingin membuat Adira nyaman dengan mengobrol santai.

Dan, keputusan itu cukup tepat kalau dilihat dari gestur Adira yang mulai rileks, pun dengan wajahnya yang tak setegang sebelumnya.

"Ini sepadan dengan orang-orang baik yang aku temui, kok, Mas."

Raga terkekeh kecil. "Di mana pun itu, selagi kita berpikir positif, hal-hal baik juga pasti bakal mendekat. Dan, walaupun terlambat, selamat datang di Jakarta, Adira. Semoga betah. Siapa tahu, di sini lo ketemu sama orang spesial."

Dua kata terakhir yang meluncur dari mulut Raga seketika memunculkan rona merah di pipi Adira, bersamaan dengan satu nama yang melintas di pikirannya; Gema Sandyakala. Apa iya, Gema merupakan orang spesial seperti yang Raga katakan? Lalu, bagaimana dengan arti Adira bagi Gema?

"Makasih, ya, Mas." Adira berdeham singkat. Tentu jawaban itu masih mengambang di kepalanya, dan bukan waktunya untuk menyimpulkan di saat perasaan Gema sendiri masih terikat dengan Zora.

"Sama-sama. So, can we start by discussing the layout for your novel? Gue pengin diskusi hari ini berakhir lebih cepat karena gue nggak mau mengambil waktu di akhir pekan lo terlalu banyak." Raga mulai menggulir iPad, mencari contoh desain yang sempat dia buat lalu menunjukkannya pada Adira. "Ini baru desain kasarnya. Sejauh perkembangan obrolan kita, gue bisa membayangkan konsep yang lo pengin. Tapi, kalau lo perlu beberapa tambahan atau koreksi, we can fix it."

And, for almost two hours, they were discussing and talking casually.

***

Kegiatan Adira di akhir pekan tidak usai begitu saja. Setelah bertemu Raga, dia memutuskan untuk menyambangi kediaman Gema yang selalu lenggang. Meski sempat sangsi kalau Gema sedang berada di rumah, tapi saat melihat kendaraan laki-laki itu terparkir rapi di garasi, Adira baru percaya kalau si empunya memang ada di dalam sana.

Berdiri di depan pintu utama, Adira lantas memencet bel. Kakinya mengetuk pelan, menunggu seseorang membukakan pintu. Namun, karena tak mendapat jawaban, dia nyaris kembali memencet bel andai saja tak terdengar langkah kaki yang mendekat.

Tak lama berselang, pintu utama terbuka sepenuhnya. Senyum Adira terkembang, sebelum berganti menjadi keterkejutan saat seekor kucing berbulu cokelat tiba-tiba melompat ke arahnya, dengan sesosok laki-laki muda yang berdiri di ambang pintu.

"Hai Clowy!" Adira mengelus bulu-bulu Clowy yang lembut, membuat kucing itu semakin melesak nyaman di dalam pelukannya.

"Miss Adira ada perlu apa? Aku libur les." Raden mengernyit, heran dengan kehadiran Adira. Setahunya, Gema memberitahukan kalau selama beberapa waktu, Adira tak bisa mengajarinya les, dan ini adalah akhir pekan. Jadi, ada gerangan apa yang menyebabkan Adira repot-repot datang ke rumahnya?

Adira mengelus tengkuknya. Sejujurnya, dia juga agak bingung dengan alasannya berkunjung ke rumah Gema. Mungkin, dia hanya ingin melihat keadaan laki-laki itu setelah kejadian di kampus kemarin, memastikan apakah Gema baik-baik saja atau tidak. Sebagai orang yang sudah membuat tubuh Gema menjadi matras, perasaan bersalah tentu masih menghinggapi benak Adira.

"Abang kamu ada? Miss mau ketemu," balas Adira sambil sesekali melirik ke dalam, berharap tiba-tiba Gema memunculkan batang hidungnya.

Alis Raden terangkat lalu mengangguk paham. Bagaimana dia lupa kalau Adira menyukai Gema? Meski tak pernah diutarakan, tatapan dan sikap Adira tiap kali berada di dekat Gema sudah mewakili segalanya. Anggap saja Raden masih terlalu kecil untuk memahami urusan percintaan orang dewasa, tapi dia juga tidak buta untuk melihat interaksi keduanya yang cukup mencurigakan.

Raden bukannya tidak tahu kalau selama ini Gema sering mengantar-jemput Adira, bertukar pesan maupun menelepon sampai tengah malam. Hanya saja, karena merasa bukan ranahnya untuk ikut campur, Raden memilih diam, walaupun sedikit geli saat menemukan senyuman salah tingkah Gema tiap kali mengutak-atik ponsel.

"Ada. Miss masuk aja. Mama masih kerja, kalau pengin lebih privat, kalian bisa pindah ke kamar. Aku nggak bakal ganggu." Membiarkan Clowy berada dalam rengkuhan Adira, Raden melenggang masuk, mengabaikan ekspresi melongo Adira yang tak percaya dengan kata-kata Raden.

Is that boy really still in middle school?

***

I'm so sorryyy update nya telattt!!! Tapi bener-bener makasih banget sama kalian yang udah menunggu aku lamaaa wkwkwk

Semoga hepii dengan chapter ini, ya!

Chapter next, abis senang-senang, kita bikin adegan sedih yaaa! Wkwkwk

Sampai jumpa!

Bali, 12 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top