24. Pull You Back

But I can see us lost in the memory

August slipped away into a moment in time

'Cause it was never mine

And I can see us twisted in bedsheets
August sipped away like a bottle of wine

'Cause you were never mine

August—Taylor Swift

***

Malam mulai menyambut saat Gema berada dalam perjalanan pulang. Tubuh yang pegal karena latihan dan sempat menjadi tempat pendaratan Adira, dipijat lembut sambil sesekali melakukan tepukan-tepukan kecil. Meski terlihat mungil, Adira ternyata cukup berat—barangkali lemak-lemak gadis itu lebih banyak berkumpul di pipi—membuat punggungnya terasa nyeri. Sesampainya di rumah, dia akan meminta Bibi untuk memijatnya sebentar.

Alunan musik dari OneRepublic diiringi lirih suara Gema yang mengikuti lirik lagu memecah kesunyian di mobil. Pertemuannya dengan Adira terjalin cukup singkat dan terburu-buru, hingga Gema tak bisa menawarkan tumpangan seperti biasa kepada Adira yang masih sangat sibuk.

Masih terlintas jelas dalam ingatan Gema wajah letih Adira meski senyum tetap terpatri indah di bibir setiap kali menyemangati panitia yang memiliki tugas lebih berat darinya. Gema tak sampai hati mengganggu Adira lebih lama, membuatnya hanya memberikan makan dan minum kepada gadis itu sebelum pamit pergi—berharap Adira tak melupakan pemberian energi pada tubuhnya.

Bagaimanapun, pertemuan mereka cukup menenangkan hati Gema yang sempat gelisah karena tak mendapat kabar pasti dari Adira, menyebabkan buyarnya fokus Gema sepanjang latihan bersama anggota Dwell Band. Dan, saat sosok Adira akhirnya berhasil Gema tangkap melalui netranya setelah berhari-hari tak sempat bersua, antusiasme Gema dalam melanjutkan hari seketika meningkat pesat, meringankan tubuhnya yang terasa berat belakangan terakhir.

Gema tidak tahu pasti perasaan apa yang sedang merengkuhnya, tapi dia cukup menikmati perubahan yang terjadi pada lima panca indranya setiap kali berada di dekat Adira. Ekspresi malu-malu yang ditujukan gadis itu saat Gema menggodanya, menjadi hiburan tersendiri bagi Gema.

Ah, kira-kira apa yang sedang Adira lakukan sekarang, ya? Apakah dia sudah kembali dengan selamat ke rumah Maharani? Apakah dia masih disibukkan dengan tugas-tugas kuliah maupun revisian novel yang belum juga selesai? Atau mungkin dia sedang mengeluh karena pekerjaan yang tiada habisnya?

Membayangkan kerutan di dahi Adira disertai bibir yang mengerucut lucu, sukses membentuk lengkungan senyum indah di sudut-sudut bibir Gema.

Mobil Gema berbelok ke arah tikungan, tapi tiba-tiba dirinya dibuat gagal fokus oleh pemandangan yang berada tak jauh dari posisinya. Alhasil, dia memelankan kecepatan mobil sebelum menepi dengan alis bertaut tajam. Entah penglihatannya yang salah karena lampu penerangan di sekitar sedikit redup atau memang dua orang di pinggir jalan itu merupakan Zora dan pacarnya. Gema bisa saja tak peduli, andai dia tak mendapati keduanya sedang berdebat dengan air mata yang mengalir deras di pipi Zora.

Gema sempat ragu untuk menghampiri. Sejak hubungannya dengan Zora merenggang, Gema merasa tak punya hak untuk ikut campur ke dalam urusan gadis itu. Namun, dia juga tak mungkin membiarkan Zora terluka. Selama ini, Gema selalu mengusahakan kebahagiaan sahabatnya itu, walaupun berujung penderitaannya karena melepas Zora bersama laki-laki lain.

Membulatkan tekad, Gema turun dari mobil lalu berjalan menuju dua pasangan itu. Semakin dekat, perdebatan mereka terdengar semakin jelas.

"I'm your boyfriend, not Gema. Jangan pernah sangkut-pautkan nama itu di antara kita, Zo!"

Gema mengernyit seiring dengan langkah yang diambil. Kenapa namanya ikut terseret ke dalam pertengkaran mereka? Sebenarnya, apa yang sudah terjadi?

"Kenyataannya memang begitu. Gema jauh lebih baik dari kamu."

"I'm totally different from Gema. Di awal-awal hubungan kita, mungkin aku tolerir kalau kamu nggak bisa menghilangkan bayang-bayang Gema. Tapi, semakin lama aku semakin muak, Zo. Aku punya batas kesabaran. You are mine, not Gema's! Do you love him?" Wajah kekasih Zora tampak menyiratkan amarah yang berkobar, sementara Zora masih bergelung dalam tangisan, enggan menjawab pertanyaan laki-laki itu.

"Jawab aku, Zo! Do you love him?"

Zora menggeleng, menambah emosi sang kekasih.

"Kenapa diam? Mendadak kamu bisu? Mendadak kamu nggak bisa jawab setelah kamu terus membanding-bandingkan aku dengan Gema? Kamu dan dia punya hidup masing-masing, Zo. Kenapa kamu masih berusaha merecoki kehidupannya?" Kekasih Zora merangsek maju, memegang pundak gadis itu, mencengkeramnya agak kuat.

"Just answer me. Do you love him?" Tekanan yang menyerang pundaknya, membuat Zora meringis kecil. Dia hanya menunduk, tak kuasa menatap kekecewaan yang tergambar di wajah sang kekasih. Salahnya karena masih tak bisa melepas Gema di saat hidupnya sudah terisi oleh laki-laki lain. Salahnya karena tidak berusaha jujur dari awal dan memilih membohongi diri sendiri beserta orang-orang di sekitarnya.

Gema yang menyaksikan semuanya, tetap bungkam. Keinginan untuk melindungi Zora, mendadak lenyap. Digantikan penasaran yang tinggi dan ketidakpercayaan indra pendengarannya dalam menangkap suara.

"You do not love me. So, do you love him, Zo? Do you?"

"Ya! Ya! I love him. I love him so much. Aku cinta sama Gema. Tapi, kamu tahu kalau aku nggak bisa mengungkapkan perasaan aku sama Gema, kan. Aku nggak bisa." Zora patah. Dia akhirnya menyerah, tak bisa lagi menahan perasaannya terlalu lama. Tangisannya tersedu-sedu, merasa bersalah dengan sang kekasih.

"What the heck are you saying?" Gema angkat bicara, setelah menjadi pengamat selama perdebatan berlangsung. Keduanya seketika menoleh dengan ekspresi terkejut.

"Gema?" Zora terbelalak, tak menyangka kalau Gema akan muncul seperti ini. "Lo ... sejak kapan ada di sini? Ini cuma kesalahpahaman, Gem. Ya, kan?" Tatapannya mengarah pada sang kekasih—yang mungkin sebentar lagi akan berganti menjadi mantan—meminta bantuan.

Namun, barangkali sudah lelah dengan sandiwara yang dilakukan mereka, laki-laki berparas Chinese itu menggeleng. "Jujur aja, Zo. Udah cukup kamu berusaha menutupi perasaan kamu. Cepat atau lambat, semuanya bakal terbongkar. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"

"Kamu ngomong apa, sih?" Zora masih mengelak, yang justru tampak menyedihkan di mata laki-laki itu.

"Udahlah, Zo. Gema juga pasti dengar perdebatan kita. Saat ini juga, kita putus. Kita nggak ada hubungan apa pun lagi." Laki-laki itu mundur perlahan. "Gem, mungkin lo berpikir kalau gue adalah laki-laki berengsek, but I won't say sorry for a mistake I didn't make. Untuk pertama dan terakhir kalinya, gue minta tolong sama lo untuk antar Zora pulang. Kalau gue yang melakukan itu, gue nggak menjamin kalau emosi gue bakal lebih stabil daripada lo."

Tepukan di bahu Gema seolah-olah menandakan kalau laki-laki itu memang mempercayakan Zora kepadanya. Kemudian, kekasih—ralat, mantan Zora berlalu menuju mobilnya yang juga terparkir di sana. Kepergian laki-laki itu menjadi tanda berakhirnya hubungan mereka.

Helaan napas meluncur dari mulut Gema. Situasi yang dia pikir cukup sepele, nyatanya lebih rumit dari benang kusut. Sambil menatap Zora yang mungkin masih syok, Gema berkata tegas, "We need to talk, Zora Adhisti."

Gema needed to confirm the conversation he heard earlier.

***

Cahaya bulan bersinar terang malam ini, hingga menembus kaca mobil Gema yang masih terparkir di tempat sebelumnya, berbeda dengan binar mata Zora yang meredup seperti kehilangan kilaunya. Sisa-sisa cairan sebening kristal masih melekat di pipi, seakan-akan menjelaskan kesedihan yang dialami si empunya.

Dan, entah sejak kapan Gema tak menyukai waktu dan ruang yang dia habiskan bersama Zora, berdua saja. Keinginan untuk segera pulang demi bisa melihat rupa jelita Adira meski hanya melalui panggilan video, terus merangkak naik, bagaikan seseorang yang membutuhkan Oasis di tengah-tengah gurun tandus.

"Lo masih nggak mau bicara, Zo? Lo nggak mau menjelaskan maksud dari kata-kata lo beberapa saat lalu?" Gema bertanya untuk kesekian kali. Kebungkaman Zora seperti menyiksa Gema dalam kebingungan dan pertanyaan besar di kepala.

Zora mencintainya? What's this joke? Apa perasaannya merupakan candaan yang bisa Zora permainkan sesuka hati? Lalu, kenapa gadis itu berbohong hanya untuk membuatnya tampak bodoh?

"Sebenarnya apa yang lo pikirin, Zo? Kepala lo itu, kayak menyimpan banyak hal yang nggak boleh gue tahu. Gue kira, bersahabat sama lo dalam waktu yang lama, bikin gue paham tentang lo, tapi gue salah besar. Gue sama sekali nggak tahu apa-apa." Gema kembali bersuara.

Tarikan napas panjang Zora menjadi pemutus kebisuannya. Dengan jari-jari yang saling memilin, memberi kekuatan kepada dirinya sendiri, Zora menjawab, "Maaf, Gem. Maaf karena gue nggak jujur. Gue cuma nggak mau egois. Gue nggak mau mengorbankan persahabatan kita hanya karena perasaan pribadi yang bisa aja hancur suatu hari nanti."

"Apa dengan lo yang berbohong, bisa selesaiin semuanya? Lo jadiin orang lain pelampiasan atas perasaan lo, sementara lo tetap bisa tersenyum dan tertawa. Keputusan sepihak yang lo ambil tanpa sadar menyakiti lebih banyak pihak, Zo." Gema menahan nada suaranya. Kecewa? Tentu saja. Fakta yang baru saja dia ketahui sukses menorehkan luka di hati Gema yang mulai sembuh.

Zora mencintainya. Suatu harapan yang sempat dia semogakan di masa lalu.

"Jadi gue juga berat, Gem. Gue menahan semua perasaan gue supaya persahabatan kita nggak hancur. Gue rela menyakiti lo dan Dary untuk menyembunyikan perasaan gue yang sebenarnya." Zora membela diri. Cukup Dary yang menyalahkan keegoisannya. Tatapan kecewa dari laki-laki itu menimbulkan perasaan bersalah yang besar di benaknya. Bahkan, untuk sekadar menahan kepergian Dary pun, rasanya dia tak pantas.

"Gue nggak ada nyuruh lo untuk menahan perasaan lo, Zo. Gue nggak minta lo untuk mempertahankan persahabatan kita dengan mengorbankan perasaan lo. Lihat, kan? Dengan sikap sok pahlawan lo itu, persahabatan kita hancur. Lo terlalu naif, Zo."

"Gem..." Tangan Zora terangkat, hendak menyentuh lengan Gema, tapi urung dilakukan. Dia sudah mengecewakan banyak pihak, termasuk Gema. "Gue pikir ini yang terbaik untuk kita. Dengan gue yang milih Dary, persahabatan kita bakal tetap terjalin, Gem. But, I was wrong. You feel so far away, I can't reach you."

Mereka memang duduk berdampingan, tapi jaraknya dengan Gema terasa sangat jauh, hingga Zora harus mendongak hanya untuk melihat Gema, tanpa bisa menyentuhnya.

"Lo terlalu meremehkan perasaan gue, Zo. Dari dulu, asumsi buruk lo terhadap gue nggak pernah berubah. Berulang kali gue membuktikan kalau gue juga pantas untuk lo, gue bisa mempertahankan hubungan kita, gue nggak main-main sama lo, tapi lo tetap menolak itu. Sekarang, ungkapan lo itu terkesan sia-sia. Kedengarannya kayak omong kosong belaka." Gema menatap lurus ke depan, pada jalanan sepi yang hanya dilalui beberapa kendaraan. Gema berandai-andai. Kalau saja Zora menyatakan perasaannya sebelum Gema mengenal Adira, mungkin dia bakal menerimanya dengan senang hati. Gema akan semakin berusaha keras untuk membahagiakan Zora.

Namun, saat Gema kembali membayangkan hal itu, yang ada di kepalanya hanyalah potret Adira. Hanya bersama Adira, dia merasa lengkap dan penuh. Bebas menciptakan berbagai macam ekspresi, bebas mengeluarkan setiap gombalan cheesy yang belum diketahui oleh orang lain.

Take and give. Hubungan yang normal adalah hubungan yang saling memberi feedback. Untuk kasus Zora, Gema terbiasa memberi, sementara Zora bersikap acuh tak acuh.

"Gue sadar, Gem. Cuma lo yang mengerti gue. Cuma lo yang gue pengin, dan cuma lo yang bisa membuat gue nyaman. Gue benar-benar menyesal karena udah menyia-nyiakan lo. But you always give me a second chance. This time, there's still a chance for me?" Raut penuh harap terlukis di kelereng Zora yang seindah mutiara.

Seharusnya, Gema terpesona seperti biasa. Luluh pada cantiknya iras Zora yang tak pernah bosan dia tatap. Hanya saja, situasinya sudah berbeda. Gema bukan lagi laki-laki bodoh yang akan menerima Zora dengan tangan terbuka setelah pelariannya. Dia juga punya pilihan dan keinginan.

"No more chances. Gue masih anggap lo teman, sama kayak yang lain. Tapi untuk lebih dari itu, bahkan sedekat dulu, maaf. Gue nggak bisa, Zo. I have Adira. Dan gue nggak mau dia merasakan hal yang sama seperti yang gue rasakan ke lo dulu."

Selesai. Ucapan mutlak yang keluar dari mulut Gema, tak bisa Zora ganggu gugat bagaimanapun caranya. Even though his feelings for Adira are still unclear, he will respect the relationship they have.

***

Haiiii, gimana nih??? Masih semangat nunggu couple kita yang satu iniii? Eh, maksudnya Adira-Gema, wkwkwk

Nah, untuk informasi aja, ya. Karena cerita ini update-nya suka suka aku, jadi untuk mengobati kegabutan kalian, kalian bisa cek lapak aku yang di sebelah, ya. Judulnya Missing Variable. Itu nggak kalah bagus, kokk. Tapi aku tidak memaksa jugaa. It's okay kalau kalian mau nunggu cerita iniiii. Aku malah terharu, hiks.

Sooo, sampai jumpa lagii!!!

Bali, 05 Agustus 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top