23. Inhibits Twinkle
Truth, dare, spin bottles
You know how to ball, I know Aristotle
Brand new, full-throttle
Touch me while your bros play Grand Theft Auto
Taylor Swift—So High School
***
Saat Adira berusaha keras untuk mengubur dalam-dalam kenangan dari peristiwa di festival kampus tempo lalu, bahkan dia sampai menyembunyikan fakta tersebut dari teman dekatnya—Maharani, Gema justru sudah mengetahuinya sejak awal, dan memilih untuk diam. Andai Gema tak buka suara, mungkin Adira tetap akan berpikir kalau kejadian itu tersimpan baik sebagai rahasianya.
Namun, yang lebih memalukan adalah; Adira bersikap seperti pihak yang tersakiti karena menerima tawaran Gema untuk menjadi pacar pura-puranya. Dengan lancangnya dia menginginkan hubungan yang lebih dekat tanpa menyadari kalau dia sudah memperlihatkan kekonyolannya di hadapan Gema.
Bagaimana bisa dia sangat percaya diri berjalan di samping Gema? Bagaimana bisa dia yakin mampu mengalahkan seorang Zora Adhisti yang sudah menempati hati Gema selama bertahun-tahun? Kalau Adira ingat-ingat lagi kebodohannya, dia terus merutuk dan nyaris menelepon keluarganya untuk pindah kampus.
Meski Gema sudah menekankan kalau peristiwa tersebut terjadi karena persetujuan kedua belah pihak, Adira tetap merasa rendah diri. Apa pun bentuk bujukan Gema, dia tetap merasa bersalah karena sudah memanfaatkan situasi. Andai Gema tidak mengingat kejadian tersebut, Adira pasti akan semakin kurang ajar. Bisa jadi dia akan memaksa Gema untuk memperjelas status hubungan mereka.
Maka, daripada dia semakin mencoreng harga dirinya sendiri, Adira memutuskan untuk menjaga jarak aman, menghindari Gema yang sepertinya juga menghilang ditelan bumi secara mendadak. Terbukti dari absennya laki-laki itu di kantin kampus, barangkali tanggal festival yang semakin dekat menjadi salah satu alasan ketidakhadiran Gema di kampus.
Untuk itu, Adira cukup bersyukur, meski ada sesuatu yang hilang karena tidak melihat Gema.. Ciuman lembut Gema di rumah orang tua Maharani ternyata merupakan salam perpisahan mereka, yang membuat sebagian hati Adira terasa kosong. Hari-hari di kampus Adira yang semula berubah berwarna, kembali membosankan. Sebagai peralihan, dia mencoba fokus untuk mempersiapkan event UKM Perpus mendatang.
"Ra, hati-hati." Benu, salah satu panitia event mewanti-wanti Adira saat gadis itu nekat menaiki tangga lipat untuk membenarkan posisi banner selamat datang. Aula kampus menjadi tempat diadakannya event, dengan beberapa ruangan yang juga dipakai sebagai tempat perlombaan.
"Aman, kok, Ben. Tangganya juga nggak goyang-goyang. Kamu bisa bantu yang lain, aku nggak apa-apa ditinggal." Adira melirik sebentar ke arah Benu yang memegangi sisi-sisi tangga di bawah.
"Kalau lo jatuh gimana? Memang mending gue aja yang naik daripada lo." Benu masih menyampaikan kekhawatirannya. Awalnya, Benu lah yang menawarkan diri untuk memperbaiki posisi banner, tapi entah apa yang merasuki Adira hingga gadis itu yang akhirnya naik.
"Nggak bakal. Badanku ringan, Ben. Ini cuma sebentar aja," ucap Adira, menenangkan.
Meski dengan raut yang masih menunjukkan keraguan, pada akhirnya Benu menurut. Dia melepas pegangan pada sisi-sisi tangga lalu menjauh. Beberapa kali, dia masih mengecek keadaan Adira sebelum benar-benar bergabung dengan panitia lainnya.
"Selesai!" Adira tersenyum melihat posisi banner yang sudah rapi. Namun, saat dia hendak turun, dia kehilangan keseimbangan, membuat kakinya tak bisa berpijak dengan benar pada anak tangga, dan terjatuh. Adira spontan terpejam, bersiap kalau-kalau tubuhnya menghantam lantai aula yang keras, tapi hingga beberapa detik berlalu, alih-alih merasa sakit, Adira justru merasakan sesuatu yang empuk.
Suara pekikan dari sekitarnya, seketika membuka mata Adira untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya. Betapa terkejutnya Adira saat mendapati kalau Gema sudah berada di bawah, lengkap dengan ekspresi kesakitan yang membuat Adira buru-buru bangkit. Dalam sekejap, mereka dikelilingi oleh para anggota UKM Perpus.
"Ya ampun, Gema. Kamu ngapain di bawah sana?" Dengan sigap, Adira membantu Gema berdiri.
"Seharusnya aku yang tanya sama kamu. Kenapa kamu tiba-tiba terjun ke bawah dan nimpa badan aku?" Gema masih meringis kesakitan. Semuanya terjadi begitu cepat tanpa bisa Gema cegah. Niat hati datang ke aula untuk bertemu Adira, dia justru menerima kejutan.
"Siapa yang sengaja terjun ke bawah? Aku jatuh. Kamu juga kenapa nggak menghindar? Aku nggak minta kamu untuk nolongin aku." Mungkin kesal karena Gema seolah-olah sedang menyalahkannya, Adira bersungut.
Sambil memijat punggungnya yang sakit, Gema menjawab, "Kalau nggak ada aku, badan kamu yang bakal langsung jatuh ke lantai. Nanti kamu sakit." Membayangkan Adira berada di posisinya membuat Gema mengernyit tak suka. Tak apalah kalau dia yang terluka, asalkan Adira baik-baik saja. "Ada yang sakit?"
Giliran Adira yang mengernyit. Bukankah seharusnya dia yang bertanya demikian? Gema yang menolongnya secara tidak langsung, tapi bisa-bisanya laki-laki itu masih menanyakan keadaannya yang tak terluka sedikit pun.
"Gem, lo nggak apa-apa?" Benu lah yang mewakili Adira. Laki-laki yang memang tak bisa melepaskan pandangan waspadanya pada Adira meski sedang sibuk dengan tugasnya, mendekati dua pasangan itu. Seperti yang dia cemaskan dari awal, Adira benar-benar terjatuh. Nahasnya, Adira menimpa Gema yang lewat.
"It hurts, a little. Tapi, tenang aja. Badan pacar gue ringan, kok." Gema mengerling ke arah Adira, yang dibalas tatapan salah tingkah dari si empunya.
"Kamu dengar obrolan aku sama Benu?" tanya Adira, malu. Sudah berapa lama Gema ada di sini tanpa sepengetahuannya? Apakah latihannya bersama Dwell Band sudah selesai?
"Nggak semua, aku juga baru datang. Kamu benar-benar keras kepala, ya, Ra? Bahaya kalau kamu naik-naik begitu tanpa ada yang pegangin. Untung tadi kamu nimpa aku, jadi kamunya nggak langsung kena lantai."
Mendapat omelan dari Gema, Adira langsung cemberut. Dia hendak membalas andai saja Gema tak meringis. Perasaan khawatir sekaligus bersalah semakin menghinggapi dada Adira. "Kamu perlu diobati."
"Iya nanti. Nggak ada luka parah juga." Gema mengibaskan tangan, meyakinkan Adira kalau dirinya baik-baik saja. "I want to talk to you."
Melihat air muka Gema yang berubah serius, tiba-tiba Adira merasa tak nyaman. "Penting banget, ya? Nggak bisa nanti aja? Kamu juga lagi sibuk, kan?"
Bukannya apa-apa, Adira hanya masih belum siap untuk bertatapan secara langsung dan mengobrol berdua saja dengan Gema, yang akan mengingatkan mereka pada kesalahan yang pernah Adira lakukan—dia menyebutnya begitu karena berpikir kalau Gema tidak benar-benar menyukainya. Tak peduli meski laki-laki itu mengaku tidak sedang berada dalam kondisi yang mabuk sepenuhnya.
"Ini sesuatu yang cukup mendesak, Ra. Lagi pula, aku udah selesai latihan, makanya datang ke sini." Gema menyapu pandangan ke arah teman-teman satu organisasi Adira. "Gue pinjam Adira bentar, boleh?"
Di sebelah Gema, Adira sudah menggeleng sambil menyilangkan tangan, memberi isyarat supaya mereka tidak mengizinkan. Namun, daya pikat Gema jauh lebih besar dibandingkan dengan mahasiswi biasa seperti Adira. Pesona yang ditujukan tak akan mampu ditolak oleh mereka, membuat Adira menghela napas kecewa.
She will always lose to Gema.
***
Benak Adira terus bertanya-tanya mengenai hal mendesak yang akan dikatakan oleh Gema hingga mengajaknya ke sudut aula, menjauh dari keramaian orang-orang yang sedang sibuk mempersiapkan event, meski sesekali perhatian mereka diarahkan kepada Adira, menggodanya karena asyik berduaan dengan sang idaman kampus.
Melalui ekor mata, Adira melirik Gema yang masih bungkam. Mungkin kalau mereka hanya duduk diam, Adira tak masalah, tapi posisi Gema saat ini cukup riskan, yang mana bisa menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang melihatnya; tubuh menghadap Adira sambil memiringkan kepala. Dari arah belakang, Gema tampak sedang mencium Adira, terlebih ada papan berukuran cukup besar yang nyaris menutupi keduanya, seolah-olah semakin mendukung orang lain untuk mencurigai mereka.
"Kamu mau bicara apa, sih, Gem? Aku nggak punya banyak waktu untuk nunggu kamu." Akhirnya, Adira jengah juga. Dia merasa tidak enak hati harus meninggalkan pekerjaannya terlalu lama.
"You avoid me." Walaupun ucapannya bernada rendah, tapi Adira bisa menangkap kesungguhan di dalam telaga Gema yang beriak.
"Avoiding you? Siapa? Aku? Cuma perasaan kamu aja." Bola mata Adira bergerak ke segala arah, menghindari tatapan Gema yang menghunus seperti pedang. Apakah gerak-geriknya sejelas itu?
"Terus, kenapa pesanku nggak pernah kamu balas? Teleponku nggak pernah kamu angkat." Gema menunjukkan beberapa riwayat panggilan tak terjawab serta gelembung pesan yang terabaikan di ponselnya. "Aku nggak akan menerima alasan sibuk, Adira. Aku selalu menghubungi kamu di sela-sela kesibukan aku."
"Aku nggak sempat cek hape. Notifikasi aku mute, supaya nggak ganggu kerjaan." Adira berdalih, walaupun kenyataannya dia mengetahui setiap pesan yang Gema kirimkan maupun panggilan yang masuk. Dia pikir, Gema tak akan menghiraukan, atau lebih parahnya, laki-laki itu malah suka karena tak akan berpura-pura baik hati kepada Adira.
"Selama dua puluh empat jam, nggak mungkin kamu nggak pegang hape, kan? Kalau lagi ada waktu, kenapa nggak buru-buru balas pesanku? Kamu bikin aku khawatir, Ra." Kalimat terakhir yang meluncur dari bibir Gema, menciptakan gelenyar aneh di hati Adira. Meski begitu, dia berusaha untuk meredam perasaan tersebut. Gema merupakan manusia bermulut manis, yang dengan mudahnya mengatakan kata-kata itu demi menyenangkan orang di sekitarnya.
"Kamu menghilang berhari-hari. Jadi, siapa yang khawatir sama siapa? Kalau kamu memang khawatir, seenggaknya kamu muncul. Bukannya tiba-tiba datang terus bikin kehebohan." Adira menahan mulutnya untuk berbicara lebih lanjut. Padahal, dia ingin mengeluarkan kekesalannya karena Gema menghilang setelah ciuman kedua mereka, seakan-akan mempertegas kalau Gema memang ingin menjauhinya.
"Jadwal kelas kita beda, Adira. Aku ada ujian, dan juga latihan. Aku bukan dengan sengaja mengabaikan kamu."
Adira hanya terdiam, enggan menjawab. Andai saja Gema tahu kalau dia sempat merasa dibuang, apakah Gema akan menertawakan dan mencemoohnya?
"This is our first fight since dating, right?" Keheningan yang sempat menyelinap ke sela-sela mereka, dihancurkan oleh suara Gema. Helaan napas disertai senyuman tipis terbit di bibirnya. "Aku lebih suka kamu yang menyuarakan isi hati dan kepala kamu daripada disimpan sendirian."
"Tapi kita nggak pacaran beneran, Gema." Adira yang menyadari kalau lagi-lagi dia kelepasan, segera mengoreksi.
"It is up to you. But for me, we are dating." Gema memperbaiki posisi duduknya, menyandar. "Aku minta maaf."
Adira menatap Gema dengan keheranan. Mengapa tiba-tiba saja Gema meminta maaf?
"For taking your first kiss the wrong way."
Belum sempat Adira membuka mulut, Gema sudah menghujaminya dengan keterkejutan. Seperti kelereng, mata Adira membulat sempurna, dengan suara yang tergagap. "Kamu ... maksud kamu? Gem, kamu tahu?"
"Oh? am I right? That was your first kiss?" Gema menatapnya tak percaya. "Aku cuma menebak, karena waktu itu kamu terkesan ragu-ragu dan kikuk. Tapi, aku nggak nyangka kalau tebakanku benar."
Adira speechless, hingga kata-katanya kembali tertelan di tenggorokan. Actually, is Gema crazy or is she crazy?
***
Helloooww!!! Balik lagi sama akuuu. Lama nunggunya ya?? Siapa yang masih excited?
Mudah-mudahan pada masih nunggu, yaaa. Kemarin juga udah kukasih extra chapter dari lapak sebelah, kan??
So, ada yang mau ditanyakan? Ruang diskusi terbuka untuk umum, ceileee.
Sampai jumpa lagi, ya!
Bali, 29 Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top