22. Blame Your Heart
I've had too much to drink tonight
And I know it's sad, but this is what I think about
And I wake up in the middle of the night
It's like i can feel time moving
Taylor Swift-Nothing New
***
Kalau ditanya apa yang ingin Gema perbaiki dari masa lalu, maka jawabannya adalah pertemuan ibunya dengan sang ayah. Tak masalah meski dirinya dan Raden tak pernah hadir dalam hidup orang tuanya. Gema hanya ingin ibunya bertemu pria yang jauh lebih baik, lalu bahagia tanpa trauma pada sebuah pernikahan. Dan tentu memiliki anak-anak hebat yang bisa diandalkan.
Namun, mau berapa kali pun menyangkal, nyatanya darah yang mengalir deras dalam tubuh Gema berasal dari pria yang duduk di hadapan, menatapnya dengan sorot kerinduan. Kira-kira, sudah berapa lama mereka tak saling bertatap muka? Lima tahun? Tujuh tahun? Atau lebih? Gema enggan untuk mencari tahu atau sekadar mengingat. Karena semenjak perpisahan menyakitkan itu, waktu Gema sempat terhenti. Kaki terasa berat untuk melangkah, dan kegelapan melingkupi sekitarnya. Tawa lembut sang ibu yang mendayu-dayu di telinga, berubah menjadi tangisan yang menyayat hati. Pergantian hari yang semula menyegarkan, berubah menjadi sangat menakutkan.
Belum lagi kebencian Raden yang terus menumpuk, menyebabkan kehidupan sosialnya terhambat. Pertengahan bulan Agustus yang tak akan pernah bisa Gema lupakan, sekaligus yang sangat ingin dia hapus dari ingatan.
"Jadi, apa maksud Papa ingin bertemu Gema? Kita pernah sepakat sebelumnya, kan? Untuk nggak pernah saling sapa atau bahkan bicara lagi, walaupun nggak sengaja berpapasan."
Pura-pura tidak saling mengenal adalah janji yang sempat terlontar dari mulut sang ayah saat memutuskan untuk meninggalkan keluarga tercinta-Gema ragu kalau selama ini pria itu memberikan cintanya untuk mereka-dan menyambut kebahagiaan barunya yang berhasil disembunyikan rapat-rapat. Namun, siapa sangka kalau takdir pada akhirnya menyusun rencana untuk mempertemukan Gema dengan sang ayah di minimarket dekat markas. Yang terduga adalah; ayahnya tidak sendiri, melainkan bersama keluarga barunya.
"Kejadian itu udah lama berlalu, Gem. Apa nggak ada sedikit aja keringanan bagi papa untuk menyapa anaknya? Mama kamu mungkin masih marah, Raden juga pasti nggak mau lihat papa, tapi papa tahu kalau kamu berbeda."
"Berbeda bukannya nggak membenci, kan, Pa? Gema was disappointed, until today. Kalaupun waktu itu Gema nahan Papa untuk nggak pergi, apa Papa bakal mendengarkan? Papa bakal selalu anggap Gema sebagai anak kecil yang nggak seharusnya ikut campur ke dalam urusan orang dewasa. Padahal faktanya, sifat Papa jauh lebih childish ketimbang aku atau Raden."
Sejujurnya, Gema tak terbiasa mengucapkan sesuatu yang menyakitkan, terlebih kepada orang tua. Hanya saja, semua kesakitan yang berkobar di hatinya bermula dari sang ayah. Padahal, dulu sekali, Gema pernah bercita-cita ingin menjadi seperti ayahnya yang hebat. Bisa melakukan apa saja, tak peduli pekerjaan berat sekalipun.
Sewaktu kecil, Gema terbiasa membantu-atau lebih tepatnya mengganggu-pria itu dalam hal pertukangan. Kalau ayahnya ingin membenarkan peralatan rumah tangga dengan cara dipalu, maka Gema akan dengan senang hati mengambilkan perkakas di gudang samping rumah. Kalau ayahnya sedang mengecat rumah, Gema akan mengambil kuas lukis dari dalam kamarnya supaya bisa ikut merecoki. Meski hanya sekadar ikut-ikutan, sang ayah akan tetap memuji kerja kerasnya.
Terkadang, Gema berpikir. Apakah dia terlalu nakal sampai-sampai ayahnya pergi? Apakah keluarga mereka terlalu dingin sampai-sampai ayahnya mencari kehangatan pada wanita lain?
Namun, ternyata tidak. Yang salah bukan mereka, tapi ayahnya. Ikrar suci yang pria itu katakan di hadapan Tuhan, hanyalah omong kosong yang diucapkan saat sedang dimabuk cinta. Begitu cinta berakhir, maka jalinan kasih pun terlepas.
"Nak, permasalahan papa dan mama enggak sesimpel itu. Kami merasa udah nggak cocok. Mau dipertahankan pun, takutnya akan semakin menyakiti mama kamu," ucap sang ayah, yang wajahnya tampak sudah dihiasi kerutan di beberapa bagian. Dan, entah sudah berapa lama Gema tak memperhatikan detail-detail kecil dari pria yang selalu menggendongnya pada tempo dulu itu.
"Ya, Mama is much happier than when she married Papa." Gema berkata tegas. Walaupun senyum ibunya mengandung kesepian, tapi itu lebih baik kalau dibandingkan dengan senyuman palsu yang terpatri di bibir indahnya karena terlalu sering beradu argumen dengan ayahnya.
Pria itu hanya mengangguk kaku. Perasaan bersalah terus menghantui dirinya, terlebih kepada kedua anaknya yang ditinggalkan saat masih membutuhkan figur orang tua lengkap. Dia sangat memaklumi sikap Gema yang masih membencinya. Tak mudah memaafkan seseorang yang sudah menorehkan luka begitu dalam. Namun, melihat Gema tumbuh sebagai pribadi yang dewasa, menciptakan kehangatan di hatinya. Setidaknya, sang mantan istri mengurusi anak-anak mereka dengan baik.
"Gimana kabar Raden, Gem? Anak itu pasti semakin pintar, ya." Ada kerinduan mendalam di telaga bening Rama saat mengingat bocah berwajah jutek itu. Berbeda dengan Gema yang lebih ramah, Raden memang lebih pendiam.
"Jangan pernah tanya apa pun tentang Raden, Pa. Papa udah nggak berhak untuk tahu keadaan keluarga Gema. Nggak peduli kalau Raden itu juga anak Papa." Gema sudah bertekad untuk tidak terlalu terbuka kepada ayahnya. Kalaupun dia membeberkan semuanya, apa yang akan pria itu lakukan? Kembali? Tidak mungkin. Yang ditanyakan oleh Rama hanyalah basa-basi belaka.
Helaan napas meluncur dari bibir Rama. Kemudian, dia menoleh, menatap anak perempuan berusia lima tahun yang sedang asyik memakan es krim tak jauh dari posisinya bersama sang ibu. Tanpa sadar, Gema mengikuti arah pandang pria itu. Tak perlu bertanya lagi, mereka pasti alasan kenapa Rama meninggalkan ibunya.
Gema mendengkus kesal, yang seketika mengalihkan perhatian ayahnya. Pria itu tersenyum paksa, lalu mengenalkan keluarga barunya. "Namanya Tara. Tarania Mecha. Sebentar lagi masuk sekolah dasar. Dia suka sekali lihat foto kamu dan Raden. Kata Tara, dia senang punya Abang."
"Kenapa?" Tanpa melepaskan tatapannya pada dua orang yang sedang tersenyum bahagia itu, Gema bertanya. Sementara tangannya sudah terkepal erat, membuat urat-urat di sekitarnya menonjol.
"Maksud kamu?" Ayah Gema mengernyit, tak mengerti.
Gema mengganti titik fokusnya pada pria itu. "Kenapa Papa kasih tahu tentang kami? Jangan lancang, Pa! My younger brother is just Raden. And it always will be, forever."
"Gema!"
"What? Papa tersinggung? Gema lebih tersinggung, Pa. Karena tanpa rasa bersalah, Papa mengenalkan anak perempuan yang nggak Gema kenal sama sekali, sebagai adik. Bahkan, Papa tahu sendiri kalau Mama cuma melahirkan dua orang anak. Dan, keduanya adalah laki-laki. That girl, not Gema's sister."
Karena anak perempuan itu lahir dari rahim wanita yang merebut kebahagiaan ibunya. Wanita yang memeluk lengan pria yang sudah memiliki keluarga. Wanita yang sudah menghancurkan pondasi rumah yang dibangun sekuat tenaga.
Kesibukan ibunya yang merupakan seorang wakil komisaris di sebuah perbankan bukanlah alasan tepat untuk mencari kenyamanan pada wanita lain. Kalau memang alasannya karena kesibukan, kenapa bukan ayahnya yang lebih bekerja keras demi keluarga? Kenapa ayahnya yang mudah putus asa itu terus bergelut dengan pusaran ketidakpercayaan diri dalam membangun usaha? Gema jauh lebih suka melihat pancaran konsistensi di mata Rama saat usahanya sukses besar. Kegagalan bukanlah segalanya, hingga pria itu memilih wanita yang jauh lebih sederhana.
"Kamu harus terima kenyataan kalau kamu punya adik perempuan, Gema."
Gema tetap menggeleng, menolak. "Papa also has to accept the fact that Papa no longer has the right to the decisions that Gema makes. Mungkin dia memang anak Papa, tapi sampai kapan pun, dia nggak akan pernah jadi adik Gema."
Gema memutuskan untuk pergi dari sana. Ternyata, kebencian yang terlalu besar menyebabkan kekecewaan mendalam yang belum ada obatnya. And he hoped they would never meet again.
***
Gema datang.
Informasi itu disampaikan oleh ayah Maharani yang kebetulan sedang duduk-duduk di teras rumah. Adira sempat heran, barangkali pria paruh baya itu salah orang, karena tidak mungkin malam-malam Gema menyusulnya ke rumah Maharani. Apalagi, sebelumnya Gema tidak bilang apa-apa. Kalau mereka akan pergi, pasti Gema akan mengirimkannya pesan—biasanya.
Namun, saat mengintip dari jendela kamar Maharani, ternyata memang benar Gema mendatanginya. Beruntung, Adira yang awalnya hendak tidur lebih awal, mendadak lapar hingga membuatnya merebus mie untuk mengganjal perut.
Sambil merapatkan cardigan—dia hanya memakai baju tidur tanpa lengan—Adira keluar untuk menghampiri Gema yang sudah dipersilakan duduk di bangku teras, sementara ayah Maharani memutuskan untuk masuk ke rumah. Barangkali tidak ingin mengganggu obrolan mereka berdua.
"Gem? Kok, bisa tahu rumah Maharani?" Adira menutup pintu yang menghubungkan antara teras dan ruang tamu, semata-mata supaya Maharani tidak menguping.
Gema mengedikkan bahu. "Aku keliling Jakarta, terus nggak sengaja lihat papan reklame di depan kalau ini rumah Maharani."
Mendengar jawaban asal Gema, Adira langsung cemberut. "Gede banget, dong, kalau papan reklame. Ih! Yang bener kalau jawabnya, Gem. Kan, aku tanyanya serius."
"Ya, kalau aku bilang lacak satelit rumah Maharani juga kamu nggak mungkin percaya, kan? Aku tanya sama orangnya langsung, walaupun dijutekin. Nggak apa-apa, daripada nggak dibalas sama sekali." Gema buru-buru memperbaiki kalimatnya saat raut Adira berubah. "Kalau kamu tanya lagi, dari mana aku dapat kontak Maharani, kamu nggak mungkin sekudet itu sampai-sampai nggak tahu kalau kampus kita punya sosial media. Udah se-effort ini demi bisa ketemu kamu, akunya jangan diusir, ya?"
Adira sudah akan menyahuti Gema saat tiba-tiba dia sadar akan sesuatu. Nama panggilan Gema benar-benar berubah! Bukan hanya saat mereka berada di kerumunan teman-teman atau Hanum, tapi kini naik tingkat menjadi hanya saat mereka berdua saja. Oh, apakah ini sebuah kemajuan pesat yang patut dibanggakan? Atau mungkin ... Adira harus waspada karena takut semakin tenggelam pada pesona Gema yang membahayakan?
"Iya, enggak aku usir, kok. Lagi pula, kamu ngapain ke sini? Nggak enak sama orang tuanya Rani." Selain itu, angin malam tidak terlalu bagus untuk tubuh, apalagi dengan hanya memakai kaus tipis tanpa jaket seperti Gema. Bisa-bisa laki-laki itu masuk angin.
Gema menarik sudut-sudut bibirnya dengan paksa, berusaha tersenyum senatural mungkin. "Cuma mau ketemu kamu. Mau temenin aku jalan di sekitar halaman? Badanku pegal, jadi butuh peregangan otot."
Kening Adira berkerut samar. Mungkin hanya perasaannya saja kalau Gema sedang banyak pikiran. Dia tidak ingin menebak-nebak tanpa alasan berdasar. Mungkin Gema hanya sedang suntuk karena pertunjukan festival yang akan diadakan sebentar lagi.
"Boleh." Adira membiarkan Gema berjalan terlebih dahulu, menatap punggungnya lamat-lamat, sambil memikirkan kenapa Gema sengaja datang jauh-jauh hanya untuk berjalan-jalan di sekitar halaman rumah Maharani. Kalaupun memang hanya ingin bertemu, Gema pasti akan mengajaknya keluar untuk membeli makan atau sekadar berkendara malam. Ini seperti bukan Gema yang biasanya.
Bahkan, Gema berulang kali membuang napas, dengan alis yang tertekuk dalam. Penasaran dengan apa yang terjadi sebenarnya, Adira berjalan lebih cepat dari Gema lalu berbalik, yang spontan menghentikan langkah laki-laki itu.
"Kamu ada masalah?" tanya Adira tanpa berbasa-basi.
Bola mata Gema melebar sesaat, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Enggak. Bukan apa-apa."
"Pasti ada apa-apa."
"Enggak, Adira. I'm completely fine."
"Kalau gitu pulang. Aku nggak suka sama orang yang terus gelisah di depan aku tapi nggak mau cerita tentang masalahnya. Kemarin-kemarin kamu suruh aku untuk minta tolong sama kamu kalau ada masalah, tapi masalah kamu sendiri malah dipendam. Kalau begini caranya, aku nggak mungkin minta tolong apa pun sama kamu." Sepertinya ini karena bulan merahnya yang datang, hingga Adira memiliki keberanian untuk mengungkapkan rasa penasarannya.
Gema sempat terkejut dengan kepekaan Adira, tapi laki-laki itu malah tersenyum. "Thank you for your attention, but I just need you, to relax my mind, Ra. You're right, I'm not fine, tapi aku nggak tahu harus mulai cerita dari mana." Tarikan napas panjang Gema seolah-olah menandakan betapa beratnya masalah yang menimpa.
Dan, seperti sudah kehilangan rasa malu, Adira maju selangkah, semakin mendekati sosok yang tampak kalut itu. Tanpa tedeng aling-aling, Adira membuka lengannya—tak peduli dengan beberapa bagian tubuh atasnya yang terekspos bebas karena tak tertutup kardigan—lalu merengkuh tubuh besar Gema ke dalam pelukannya, hendak menyalurkan kenyamanan pada sang pacar.
"It's okay to not be okay. Kamu pernah bilang begitu, kan? Nggak semua hal akan berjalan baik, Gem. Ada kalanya kita harus berhenti sebentar, menata hati, lalu kembali melangkah untuk menemukan hal-hal baik lainnya. Kalau kamu nggak bisa cerita, nggak apa-apa. Tapi, aku harap pelukan ini bisa meringankan sedikit beban kamu," ucap Adira sambil menepuk pelan punggung Gema, memberi suntikan semangat.
Tentu, perlakuan hangat Adira sangat di luar dugaan, tapi tak dipungkiri kalau Gema memang sangat membutuhkannya. Setelah kabur, alih-alih kembali ke markas, Gema justru berkendara tak tentu arah sebelum memutuskan untuk menjumpai Adira—hal yang seharusnya dia lakukan dari awal. Kalau ternyata pelukan gadis itu sangat menenangkan, kenapa dia harus mencari ketenangan di tempat lain?
Lengan Gema melingkari pinggang Adira, membalas pelukannya tak kalah erat dengan kepala bersandar di bahu. "Can we stay like this?"
Adira menggeleng. "Nggak. Kalau begini terus, nanti kita berdua masuk angin."
Mendengar jawaban polos Adira, Gema tak kuasa menahan tawa. Mengurai pelukan mereka, dia melingkari pinggang Adira dengan dahi yang saling menyatu. "Why are you acting this cute?"
Tatapan Gema turun, menelusuri hidung mungil Adira, lalu jatuh pada bibirnya yang penuh di bagian bawah. Dalam penerangan bulan dan lampu halaman, Gema bisa melihat bibir yang kemungkinan dipoles pelembab bibir. Laki-laki itu menelan ludahnya, dan entah apa gerangan yang sedang merasuki hingga wajahnya semakin mendekat. Hidung yang nyaris bersentuhan, dengan napas berembus hangat.
Adira sudah tahu maksud Gema, tapi alih-alih menghindar, dia justru bergeming, seakan-akan menantang seberapa keberanian Gema. Selama beberapa detik hanya berdiam pada posisi demikian, tiba-tiba bibir Adira ditimpa sesuatu yang sangat lembut. Perlahan, terkesan ringkih. Bagaimana sapuan halusnya yang membuai, nyaris membuat Adira melayang dengan isi kepala yang mendadak blank.
Mata terpejam, napas menyatu, dan tangan hangat yang melingkupi wajah Adira. Berbeda dari ciuman pertamanya yang terkesan buru-buru, pengalaman keduanya menciptakan kepakan sayap kupu-kupu di dalam perut, serta rasa panas yang menggelora di tubuh.
Tidak ingin munafik, karena sejujurnya ... Adira sangat menyukai ini.
"So, it's you?"
Barangkali terlena terlalu jauh, Adira sampai tak menyadari kalau tautan mereka sudah terlepas. Gema menyisakan jarak di antara mereka, hanya untuk menemukan ekspresi malu-malu Adira.
"Maksud kamu?" tanya Adira, tak mengerti arah pembicaraan Gema.
Tersenyum manis, ibu jari laki-laki itu bermain di bibir Adira, mengusap bagian bawahnya yang basah dan bengkak. "The girl who kissed me at the campus festival. So, Is that really you?"
Adira terbelalak. Bagaimana bisa Gema tahu soal itu? Bukankah dia dalam keadaan mabuk? Bahkan, Adira sudah pastikan kalau tidak ada saksi mata di sana. Jadi, bagaimana?
Melihat kebingungan di wajah Adira, Gema kembali berbicara. "Aku cuma mabuk, Dir. Bukan pingsan. Meski samar-samar, I can smell your perfume, and see your face. But, One reason is the blueberry flavor. From your lips. Finally, I found you, The Kiss Thief!"
***
Saking serunya, nggak sadar udah 2000 kata lebih wkwkwk
Jadi gimana??? Gema sebenarnya tau kalau Adira pernah cium dia di festival kampus. Ada yang masih inget?
Sampai jumpa lagi!
Btw, tolong jawab, ya. Kira-kira kalau selesai cerita ini, aku balik ke genre romance yang rumah tangga ala-ala, gimana menurut kalian??
Bali, 07 Juni 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top