19. Meaningless Remarks

Seems like there's always someone who disapproves

They'll judge it like they know about me and you

And the verdict comes from those with nothing else to do

The jury's out, but my choice is you

Taylor Swift-Ours

***

UKM Perpus akan mengadakan sebuah event dalam rangka penggalangan dana bagi korban bencana alam di salah satu daerah. Alhasil, begitu kelas selesai, Adira pergi ke perpustakaan untuk berdiskusi mengenai kepanitiaan dan rundown acara. Kali ini, mereka memutuskan untuk menyelenggarakan lomba sastra dengan mengusung tema "Bangga Berbahasa Indonesia, Bahasa Persatuan Kita". Pengumpulan dana berasal dari penjualan tiket booth makanan dan pendaftaran peserta. Adira sendiri bertugas di divisi acara bersama beberapa orang lainnya.

Diskusi yang berlangsung cukup alot, menciptakan ketegangan di ruangan beraroma vanilla dan almond, yang berasal dari buku-buku lama, hingga akhirnya setelah sekian lama beradu argumen, mufakat berhasil dicapai. Karena merasa lelah, para anggota menutup rapat sebelum kembali pada kegiatan masing-masing. Adira yang saat itu sudah tidak memiliki jadwal selain pulang, segera membereskan catatan yang berisi coretan Term Of Reference. Sebagai anggota terakhir yang keluar, Adira memastikan kalau ruangan sudah tertata rapi, tidak ada kursi yang tergeletak sembarangan, atau meja yang posisinya miring.

Adira sudah menenteng tasnya sambil melenggang keluar perpustakaan saat sebotol minuman isotonik terulur ke arahnya, lengkap dengan senyuman manis terbit di sudut-sudut bibir si pelaku; Gema. Memang siapa lagi yang akan melakukannya selain laki-laki itu? Teman dekatnya hanya Maharani, yang hari ini sedang tidak berada di kampus. Adira juga tidak memiliki penggemar rahasia yang akan mengirimkannya hadiah atau surat-surat manis berstempel kecupan manja. Dia bahkan tidak yakin orang-orang akan mengenalnya selama menempuh pendidikan di kampus ini. Kalau saja dia menolak ajakan Gema untuk berpacaran, mungkin Adira hanyalah seorang figuran yang eksistensinya tidak diharapkan.

"Buat lo, Snookums."

"Snookums apanya." Adira memutar bola mata. "Tapi, makasih ya. Seharusnya kamu nggak usah repot-repot datang ke sini untuk bawain minuman," ucapnya sambil menerima botol minuman tersebut dengan senang hati. Kebetulan, dia merasa haus karena ikut mengeluarkan suara di dalam sana.

Gema tertawa kecil. Entah kenapa, melihat Adira yang bertubuh mungil mengingatkannya pada salah satu ras kucing domestik kecil dari Amerika Serikat, membuatnya mencetuskan julukan tersebut tanpa pikir panjang. "Sama-sama. Gue keinget lo aja tadi di kantin, jadi sekalian mampir. Capek? Bahas apa aja tadi di dalam?" tanyanya, menyejajarkan langkah dengan Adira, menimbulkan suara alas kaki yang saling bersahutan di sepanjang lorong gedung B.

"Banyak. Tentang poster, susunan acara, kepanitiaan, tempat perlombaan, dan lain-lain. Saking banyaknya, ada beberapa topik yang nggak masuk di kepala aku. Pusing. Ke depannya, aku bakal sibuk banget ngurusin event. Belum lagi revisi novel, ketemu sama layouter. Ngajar les Raden juga. Nggak tahu, deh, bakal kekejar semua atau malah jadi berantakan." Memikirkan begitu banyak jadwal yang menunggu di depan mata, membuat mulut Adira bergerak tanpa kendala, melupakan sosok yang menjadi tempat keluhannya. Dan, saat tersadar, Adira langsung menutup mulut, merutuk dalam hati.

Sebelumnya tidak begini. Dia hanya akan menyampaikan perasaan dengan seadanya kepada Gema, berusaha untuk tidak lepas kendali. Namun, kenapa hari ini dia sangat blak-blakan? Atau mungkin, tanpa disadari dia sudah melakukannya dari berhari-hari yang lalu?

"Eng ... Gem, maksud aku bukan gitu. Maaf kalau aku kelepasan."

"Lanjutin aja, gue dengerin. It's okay to not be okay, kan? Setiap orang bebas memberitahu perasaannya untuk sekadar meringankan beban dan menciptakan suasana hati yang lebih baik. Lo nggak termasuk pengecualian."

Tentu saja, Gema memiliki karakter supel yang menciptakan kenyamanan bagi orang-orang di dekatnya. Itulah alasan kenapa Adira bersikap leluasa untuk menyampaikan keluh kesah yang dialaminya. Namun, biasanya hanya Maharani atau Bunda yang menjadi teman curhatnya. Apakah seorang pacar pura-pura juga bisa dipercaya sebagai pendengar yang baik?

"Gue mungkin bukan angel listener, gue juga mungkin nggak bakal kasih solusi yang memuaskan, tapi telinga gue selalu siap untuk dengerin cerita lo." Barangkali tak sengaja melihat Adira kesusahan membuka segel penutup karena tangannya berkeringat, Gema mengambil alih botol minuman dari tangan Adira, menggantikannya untuk membuka segel.

Adira hanya memperhatikan tingkah laku Gema dalam diam. Ya, Gema memang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap sekitarnya. Adira akan percaya kalau hampir setiap gadis di sini pernah menjadi korbannya. Tidak semua laki-laki bisa bersikap gentle begitu, maka saat mereka menemukan laki-laki seperti Gema, banyak yang menaruh harap untuk dekat atau menjalin hubungan semanis senyum Gema.

Adira juga tak akan heran kalau tiba-tiba ada yang melabraknya karena tidak terima dengan berita kencannya dan Gema.

"Kalau masalah les Raden, itu bisa diatur. Mama gue pasti ngerti. Raden sebenarnya cuma butuh teman supaya bisa lebih bersosialisasi, kalau masalah pelajaran, gue nggak akan meragukan dia. Lo juga tahu fakta itu, kan. Mengenai novel dan pertemuan lo sama layouter, coba diskusikan lagi. Gue yakin mereka nggak bakal maksa lo, apalagi ini acara kampus." Gema mengembalikan botol minuman Adira yang tutupnya sudah dilonggarkan.

Namun, Adira masih tampak ragu. Gema mudah saja berkata kalau semuanya bisa ditangani dengan baik. Masalahnya adalah, Adira merasa sungkan kalau harus mengundur beberapa jadwal yang dari awal sudah disepakati bersama. Dia tidak bisa meminta untuk dimengerti, sementara dia sendiri bersikap egois demi kepentingan sendiri, dengan embel-embel acara kampus.

Ini merupakan salah Adira karena terlalu rakus. Mendaftarkan diri menjadi guru les privat dan mengajukan naskah ke surel penerbit di saat dia berkutat dengan kegiatan kampus yang bisa sangat sibuk sewaktu-waktu.

"Mungkin aku bakal usahain dulu, Gem. Kalau kerasa nggak mampu, ya, mau nggak mau harus ditunda sampe event ini selesai. Aku nggak mau lepas dari tanggung jawab. Apa yang udah aku mulai, harus aku selesaiin gimanapun caranya."

Gema tersenyum tipis. Tangannya terangkat, menepuk kepala Adira lembut. "You did well, Ra. Kalau butuh bantuan, jangan ragu untuk hubungin gue."

Adira yang masih belum terbiasa dengan tindakan Gema, hanya mengangguk pelan. "Iya."

Is it true that a relationship runs as sweetly as this? Listen and understand each other.

***

Bantingan ponsel dari orang di sebelahnya, spontan mengundang perhatian Hara. Gema menghempaskan tubuh di punggung sofa sambil mengusap wajah. Kilat kekesalan terpancar di kedua mata laki-laki itu, menciptakan kernyit bingung di dahi Hara. Padahal, di awal kedatangan, Gema tampak dalam suasana hati yang baik. Wajahnya berseri-seri setelah mengantarkan Adira pulang. 

Namun, baru beberapa menit mengutak-atik ponsel, ekspresi Gema berubah seratus delapan puluh derajat. Tentu perubahan itu cukup aneh karena Gema tidak biasanya bersikap demikian. Berteman lama dengan Gema membuat Hara sedikit tidaknya mengetahui karakter laki-laki itu.

"Kenapa lo? Ada masalah sama Adira?" tanya Hara, acuh tak acuh. Dia sedang mengontak salah satu kenalannya untuk menanyakan perihal bisnis UMKM yang sedang digeluti—bermaksud untuk menawarkan kerja sama berupa suntikan modal. 

"Worse. Gue nemu komentar jahat untuk Adira. Banyak juga yang direct message gue supaya putus sama dia. Parahnya, anak-anak di kantin juga ikutan." Gema menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut, tak habis pikir dengan orang-orang yang mengusik kehidupan pribadinya. 

"Terus, apa tanggapan lo?" Hara melirik Gema sekilas. 

"Gue tutup komentar. Untuk direct message, gue batasin juga. Untungnya, tadi Adira nggak ke kantin karena sibuk ngurus event UKM Perpus mendatang. Seenggaknya, dia nggak dengar hal-hal menyakitkan." 

Alis Hara terangkat tinggi. Sejenak, dia mulai tertarik dengan pembicaraan mengenai hubungan Gema dan Adira. Secara garis besar, Hara sudah mengetahui alasan keduanya berpacaran, meski kalau ditilik lebih dalam, dia masih merasa tidak masuk akal. Gema yang berengsek karena menjadikan Adira sebagai tameng untuk melupakan Zora, dan Adira yang bodoh karena mau-mau saja menjadi pacar Gema. 

Hara meletakkan ponsel di atas meja, memberikan atensi penuh kepada Gema. "Kenapa lo lakuin itu? Bukannya  komentar-komentar buruk yang ditujukan untuk Adira, adalah konsekuensi yang harus diterima? Kalaupun dia nggak kuat, kalian bisa putus. Hubungan kalian nggak sekompleks perasaan lo sama Zora sampai-sampai kalian nggak bisa putus, kan? Kalian nggak punya perasaan satu sama lain. I am right?" 

Gema yang mendapat tudingan begitu, langsung menggeleng tak setuju sambil menegakkan tubuh. "Walaupun hubungan gue dan Adira dimulai dengan cara yang salah, gue nggak pernah menganggap status dia bisa diremehin gitu aja, Har. Kalau ada yang berniat buruk atau ngata-ngatain Adira, itu juga bakal jadi urusan gue. I'm her boyfriend, right?" 

Tawa seketika meluncur dari mulut Hara, yang terdengar seperti ejekan di telinga Gema, tapi atas dasar apa Hara menertawainya? Apakah ucapannya lucu? 

"Lo suka sama Adira?" Hara melontarkan pertanyaan langsung ke bagian inti setelah menyelesaikan tawanya, tak melewatkan sedikit pun raut keterkejutan dari wajah Gema. 

"Kenapa lo tanya begitu?" 

"Lo suka sama Adira?" Hara mengulang kembali pertanyaannya. 

"Adira is a good woman. She is funny. We had a good conversation. No miscommunication." 

"Just answer my question, Gema. Lo suka sama Adira? Kalau dari sudut pandang gue, lo—"

"Belum, atau mungkin nggak tahu. Gue nggak bisa menyimpulkan perasaan gue secepat ini. I don't have an idea. Mungkin orang-orang, atau bahkan lo bakal menganggap gue pengecut karena nggak bisa tegas sama perasaan sendiri. Tapi, melepas Zora dari hati gue butuh waktu, Har." 

Gema mengembuskan napas berat. Mau seberusaha apa pun dia mengelak, nyatanya bayang-bayang Zora masih terlintas, meski dalam intensitas yang mulai berkurang. Dia sudah menyibukkan diri, tapi terkadang hatinya akan lemah hanya dengan melihat manik indah itu. Beruntung, di markas, hanya ada mereka berdua. Gema tak bisa membayangkan kalau temannya yang lain ada di sini, bisa-bisa Gema mendapat umpatan dari berbagai macam nama binatang dan ceramah panjang. 

"Gue pernah dengar kalau cinta itu datang karena terbiasa. Dengan sikap Adira yang baik, dan kedekatan kami, bukannya cinta bakal datang lebih cepat?" tanya Gema, berharap akan menerima respons positif dari Hara. 

"Lo pikir begitu? Gimana kalau pada akhirnya lo terlambat menyadari perasaan lo?" Alih-alih menjawab, Hara kembali mengajukan pertanyaan.

Sambil menelan ludah, Gema mengangguk yakin. "Sebelum terlambat, gue lebih dulu nyatain perasaan gue ke Adira." 

It's all just about time. Gema hopes that Adira will be patient and wait for him. 

***

Haiyooooo aku update lagiii!!

Siapa yang pernah ada di posisi Gema nihh?? Sukanya sama siapa, jadiannya sama siapa wkwkwk

Babayyy!!

Bali, 14 Mei 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top