18. Turning The Button
You can hear it in silence
You can feel it on the way home
You can see it with the lights out
You are in love, true love
Taylor Swift—You Are In Love
***
Ponsel Adira bergetar sedari tadi. Notifikasi terus muncul di pop up, yang kebanyakan berasal dari permintaan pesan Instagram maupun followers yang tiba-tiba naik pesat. Hal itu sudah pasti disebabkan oleh story Gema beberapa saat lalu. Pengumuman status mereka secara terang-terangan memunculkan rasa penasaran bagi penggemar Gema, yang kemungkinan besar sedang patah hati karena sang pujaan sudah memiliki kekasih.
Adira juga terkejut awalnya. Meski hubungan mereka memang tidak dirahasiakan, tapi keputusan Gema yang tanpa pertimbangan ini membuat pergerakan Adira semakin sempit. Dia bukan lagi mahasiswi yang keberadaannya tak kasat mata, melainkan pacar Gema yang tiap gerak-geriknya akan memunculkan berbagai macam komentar. Mau tak mau, dia harus menyesuaikan diri dengan kehidupan Gema yang gemerlap, sementara hidupnya sendiri seperti ruang sepi yang tidak cukup menarik untuk dimasuki orang lain.
Kalau dibilang suka, tentu tidak. Keramaian sekeliling bukanlah gayanya. Pengap, dan memusingkan. Maka dari itu, dia jarang mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang dirasa hanya akan menguras sosial baterainya.
"Gimana hape lo? Udah aman?" Gema melirik tas selempang Adira yang tergeletak di atas pangkuan, tempat ponselnya disembunyikan. Karena cukup terganggu, atas saran Gema, Adira memutuskan untuk tidak bermain ponsel terlebih dahulu. Setidaknya sampai ponselnya tidak macet dan getaran notifikasi berhenti.
Adira menggeleng. "Kayaknya belum. Makin banyak yang kirim direct message."
Gema menghela napas panjang dengan tangan yang masih bertumpu pada kemudi. "Maaf. Karena gue, keadaan jadi chaotic. Untuk sementara waktu, lo bisa privasi akun lo dan matiin komentar. Lo juga bisa batasin direct message, sisanya biar gue yang urus."
Adira bukannya tak menangkap raut bersalah di bayangan mata Gema, tapi mau bagaimana lagi. Maaf saja tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula, meski Gema juga sudah menghapus story sebelum 24 jam. Laki-laki itu seolah-olah lupa kalau pengikut sosial medianya bukan hanya dari kampus, pun dengan eksistensi Dwell Band yang semakin menarik perhatian.
"Walaupun gue merasa sayang banget karena harus hapus story."
Perkataan spontan Gema seketika melahirkan kebingungan di dahi Adira. "Maksud kamu?"
Gema membasahi bibirnya, lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi kemudi sambil bersedekap. Hanya berdua saja di dalam mobil Gema membuat atmosfer di sekitar terasa agak panas, padahal Gema menyalakan pendingin. Terlebih, tatapan Gema terpusat kepadanya, seperti ingin melelehkan tubuh Adira dalam satu kedipan.
"Gue nggak menyesal bikin story itu. Gue juga nggak menyesal udah ngenalin lo ke temen-temen gue. Apa pun pilihan yang gue ambil, nggak pernah ada penyesalan, termasuk pacaran sama lo. Mungkin buat lo, semuanya terkesan cringe, Hidup lo yang semula tertata rapi, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Gue tahu kalau lo butuh penyesuaian, dan itu nggak mudah. That is the reason why I have to apologize to you."
Gema mengedikkan bahu. "Lagi pula, memangnya apa yang salah kalau kita pacaran? We are available. Gue nggak mengambil lo dari siapa pun, begitu juga lo. Terlepas dari alasan hubungan ini terbentuk. Bahkan, kalau bisa, gue pengin bikin postingan tentang kita," lanjutnya tanpa beban.
Adira tercengang, sungguh. Dia tak menyangka kalau Gema akan berbicara demikian. Jadi, dengan kesadaran penuh, berbeda dari saat malam festival, laki-laki itu ingin memperkenalkannya pada semua orang? Apa Gema berniat untuk mempermalukannya?
"Kamu bercanda, Gem? Nggak serius, kan? Gimana bisa kamu ngenalin aku ke semua pengikut kamu? Mereka pasti mempertanyakan mata kamu karena udah pilih aku." Adira sadar diri, kalau dia tak ada apa-apanya dibandingkan Zora, yang hampir memenuhi kualifikasi dari representasi seorang dewi.
Gema terdiam sebentar, yang Adira pikir adalah bentuk persetujuan laki-laki itu. Namun, ternyata Gema melakukan tindakan yang sangat mendadak; melepas sabuk pengaman, mencondongkan tubuh ke arah Adira sambil memiringkan kepala, menatapnya lamat-lamat, yang seketika membuat Adira salah tingkah. Saat hendak berpaling, Gema justru menangkup wajahnya.
Otak Adira sudah meliar ke mana-mana. Tak mungkin mereka akan mengulangi perbuatan di malam festival, di dalam mobil ini, kan? Meski sebenarnya Adira mungkin tak akan menolak untuk kembali merasakan kelembapan benda kenyal milik Gema itu.
Tolong, enyahlah pikiran mesum!
"Mata gue masih belum ada kelainan sampai-sampai harus dipertanyakan ketajamannya karena pilih lo."
Barangkali otak Adira lah yang memiliki kelainan, hingga alih-alih memperhatikan manik Gema, dia justru memfokuskan tatap pada bibir si lawan bicara. Kira-kira, apakah sensasinya masih sama kalau dirinya hinggap di benda tersebut? Tapi, kini tidak akan ada lagi rasa alkohol maupun rokok yang akan mengganggu, melainkan keaslian rasa yang belum pernah dia cicipi.
"Ra? Are you there?" Tepukan pelan di pipi langsung menyadarkan Adira dari lamunan kotornya.
"Ya? Gimana, Gem?"
Gema terkekeh melihat kelinglungan Adira. "Gue ajak bicara, lo malah bengong. Ada apa? Masih mikirin hal-hal yang enggak harus dipikirin itu? Udah gue bilang juga, kan, kalau gue bakal urus sisanya. Jadi, apa masalahnya?"
Adira menggeleng. Kalau saja Gema tahu apa yang sedang dipikirkannya, mungkin Gema tidak akan mau mengenalnya lagi.
"Gem, kenapa kamu pilih aku?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Meski tidak mempertimbangkannya terlebih dahulu, tapi pertanyaan itu sempat terlintas di benak Adira. Dan, mungkin dia harus siap dengan jawabannya, menyakitkan atau tidak.
Alis Gema naik, sebelum menjawab, "Alasan gue pilih lo? Simpel aja. Karena gue suka perempuan cantik."
"Hah?" Adira meyakinkan dirinya sendiri kalau telinganya masih berfungsi dengan baik.
"I like beautiful woman, that's why I chose you, Adira Ilsa. Masa gitu aja nggak paham?" Gema mencubit gemas hidung mungil Adira yang tergugu.
Bukan jawaban ini yang seharusnya Adira dengar, bukan? Tapi, dia ingin mendengar jawaban apa?
Gema really made her speechless, with her body heating up.
***
Ini memang bukan kali pertama Adira bertemu dengan teman-teman Gema. Mereka juga bukan manusia-manusia menyeramkan yang akan membuatnya mati kutu, tapi sebagai penikmat novel romance maupun dongeng pengantar tidur seperti Pangeran dan Upik Abu, berada di satu ruangan bersama para laki-laki tampan, sanggup menciptakan ketegangan di diri Adira. Sudah cukup dia dibuat megap-megap bak ikan terdampar oleh Gema, sekarang ditambah keenam temannya yang menjadikan Adira pusat perhatian.
Jadi, katakan padanya bagaimana cara bernapas dengan benar? Karena udara di sekitar terasa semakin menipis.
"Hai Ra! We meet again." Tarangga yang sedang menulis sesuatu—atau menggambar—di kertas, menyapanya singkat. Senyum tak lepas tersungging di bibirnya, menciptakan kesan ramah yang bisa disalahartikan oleh para gadis. Mungkin kalau Adira lupa dengan statusnya sebagai pacar Gema, dia juga akan jatuh pada pesona Tarangga.
"Hai, Ngga!" Adira tak sempat membalas senyuman Tarangga karena tubuhnya sudah digiring ke sofa pojok, dekat jendela.
"Lo jangan terlalu dekat sama Rangga." Gema mewanti-wantinya sambil menyingkirkan bantal supaya Adira bisa duduk dengan nyaman.
"Loh, kenapa?"
"Dia udah punya gebetan. Nanti lo dilabrak sama gebetannya, gue yang repot lagi."
Alis Adira mengerut. Apa hubungannya membalas sapaan dengan dilabrak gebetan? Apakah Gema yang sedang bersamanya adalah Gema yang tadi menggodanya di dalam mobil? Perubahan laki-laki itu benar-benar signifikan. Menjadi sangat menyebalkan.
"Aku juga nggak bermaksud untuk rebut Rangga, kok." Adira mendumel pelan, supaya Gema yang sudah berjalan menjauh, tak bisa mendengarnya. Mau bagaimanapun, rungu Gema sangat tajam, seperti kelelawar.
"Lo masih nggak ngerti kenapa Gema begitu?" Giliran Rakyan yang mendekatinya. Laki-laki bersuara melengking—mirip lumba-lumba—itu mengambil toples kacang di atas meja lalu memakan isinya.
"Kenapa?" tanya Adira, penasaran juga. Kalau dipikir-pikir, Gema memang sensitif melihatnya bercengkerama dengan Tarangga. Padahal, Tarangga merupakan teman yang baik.
Rakyan hanya tersenyum, tanpa mau memberitahunya. "Jadi, apa pendapat lo tentang markas Dwell Band ini?"
Rakyan mengubah topik pembicaraan. Dan, karena Adira merasa belum terlalu akrab untuk memaksa, akhirnya dia menjawab pertanyaan Rakyan, "Bagus. Kayaknya lebih luas dari markas di kampus, ya? Lebih lengkap juga peralatannya. Markas ini udah lama? Atau setelah markas di kampus?"
Adira sama sekali tidak tahu kalau Gema membawanya ke markas Dwell Band yang lain. Lokasinya memang cukup jauh dari kampus—bahkan dari Pet Shop yang terakhir kali mereka datangi. Namun, masih berada di tengah-tengah kota, cukup strategis karena diapit oleh Kafe bergaya klasik dan minimarket. Jadi, ketujuh laki-laki yang memiliki perut karet itu tidak akan susah payah mencari makanan. Hanya berjalan beberapa langkah, dan karyawan minimarket siap memberikan pelayanan terbaik.
"Udah lama, lebih dulu ada ketimbang markas di Kampus. Tempat ini ditemuin sama Hara, sewaktu dia have fun bareng pengamen bocah yang dia lihat di lampu merah. Tempat ini dulunya toko thrift, tapi karena pindah lokasi, akhirnya dijual. Kebetulan kami lagi cari markas juga, dan finally. This place is ours."
Informasi yang diberikan Rakyan dibalas anggukan oleh Adira, cukup takjub dengan kegigihan para anggota Dwell Band dalam mewujudkan impian mereka. Sebagian orang mungkin berpikir kalau hobi mereka hanyalah sekadar pengalihan penat yang bersifat sementara, tapi siapa sangka kalau sesuatu yang dianggap hobi biasa, nyatanya bisa menaikkan nama mereka.
Diam-diam, Adira melirik Hara. Dibandingkan Panca yang memiliki gurat wajah dingin, Hara justru beraura misterius. Entah apa, tapi laki-laki itu terlihat memiliki dua kepribadian yang bertolak belakang. Saat pertama kali bertemu, Adira agak segan untuk menatapnya terang-terangan. Barangkali aura tersebut berhubungan erat dengan latar belakang keluarga Hara yang memang terjun di bidang pendidikan dan politik.
"Gimana cara kalian untuk bayar tempat ini? Fifty fifty?" Mungkin kedengaran kurang ajar untuk membahas hal ini, tapi sekali lagi, Adira hanya membiarkan rasa penasarannya mendominasi.
Rakyan mengangguk tanpa berpikir dua kali. "Kami punya tabungan, yang digunain kalau ada keperluan mendadak, kayak beli tempat ini. Walaupun lo mungkin lihat kami sebagai anak orang kaya yang cuma bisa ngandelin duit orang tua, sebenarnya kami cukup mandiri. Lo bayangin aja, deh. Si Hara, cucu rektor yang kalau minta sesuatu tinggal tunjuk doang, tapi dia lebih milih turun ke jalan untuk bantu jualan koran, main sama pengamen dan ikut demo tentang Hak Asasi Manusia. Si Janu juga. Ayahnya pengusaha yang sering bolak-balik luar negeri, tapi dia malah kerja part time jadi tukang cuci piring."
Adira memasang telinganya baik-baik, memahami setiap kalimat yang Rakyan ucapkan tanpa menghilangkan satu kata pun.
"Yang lain juga begitu. Gue nggak sedang menghakimi profesi seseorang, tapi dibandingkan duit yang diterima mereka dari hasil keringat sendiri, bukannya lebih banyak duit yang dikasih orang tua? Terus, kenapa kami masih mau kerja? Supaya kami tahu gimana susahnya cari duit dan memanusiakan manusia dalam lingkup yang lebih luas. Di kampus memang diajarkan, tapi adaptasi langsung lebih bagus, kan?"
Penjelasan panjang lebar Rakyan terus berputar-putar di kepalanya. Adira menatap Rakyan yang dengan santainya mengunyah kacang—seolah-olah lupa kalau baru saja dia begitu bijak—lalu menarik napas dalam-dalam. "Makasih karena udah sharing sama aku, Yan. Aku ... nggak tahu harus respons apa."
Rakyan mengibaskan tangan. "Sharing is caring. Gue nggak perlu respons apa pun dari lo. I just want to let you know."
"Adira!"
Gema memanggilnya, membuat Adira dan Rakyan menoleh berbarengan.
"Tuh, pacar lo manggil. Samperin sana! Jangan sampe lo juga nggak dikasih ngobrol lama sama gue kayak Tarangga. Laki-laki kalau merasa terancam, lebih serem dari Valak. Bisa-bisa Lo nggak dikasih main ke markas lagi." Rakyan bergegas menarik diri dari tempatnya duduk dan menghampiri Radyta yang sedang menekan tuts piano, barangkali mencari nada yang pas untuk lagu baru mereka.
"Apaan, sih, Yan." Adira hanya geleng-geleng kepala sambil mendekati Gema yang asyik berlatih bernyanyi bersama Panca dan Hara.
However, with every step Adira took, her brain thought of something, related to Rakyan's last words; Gema can't be jealous, right?
***
Haiiii ketemu lagiiii!!!
Gimana part ini?? Hayoo komen di bawah ya! Nggak ada kata-kata sih sebenarnya wkwkw, selain tunggu part selanjutnya ajahhhhh
Sampai jumpa lagiii!!
Bali, 11 Mei 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top