16. Slipping Through

Do you remember, we were sittin' there by the water?

You put your arm around me for the first time

You made a rebel of a careless man's careful daughter

You are the best thing that's ever been mine

Taylor Swift—Mine


***

"Morning!"

Gema melambai kepada Adira dan Hanum yang baru saja keluar dari rumah. Melihat laki-laki idaman nan menawan yang bersandar di pintu mobil bak model profesional, membuat Hanum buru-buru menghampiri Gema, lalu melakukan tos tangan dengan penuh semangat.

"Hey, little girl! What's up? You look beautiful today." Gema mengusap lembut rambut Hanum, membuat si empunya hanya bisa tersenyum malu-malu.

"Aku baik, Bang. Makasih pujiannya."

"Sama-sama, Cantik. And, how about you, Ra? Tidurnya nyenyak?" Kali ini, pandangan Gema beralih kepada Adira yang berdiri di belakang Hanum. Gadis itu tampak manis dalam balutan kaus polo dan skinny pants berwarna kalem.

"Nyenyak, kok." Adira hanya menjawab singkat, merasa canggung dengan interaksi mereka di hadapan Hanum, yang pasti akan menggodanya seperti biasa.

"I'm glad to hear that. Selesai kelas nanti, kamu free?" Gema bertanya sambil membuka pintu mobil, mempersilakan Hanum untuk masuk terlebih dahulu. Usai melakukan panggilan telepon, Gema memang mengirim pesan ke Adira yang berisi tawaran untuk menjemputnya sekaligus mengantarkan Hanum ke sekolah. Mumpung searah, apalagi kedua orang tua gadis itu sedang pergi ke luar kota.

Adira mengernyit. Dia tidak salah dengar, kan? Gema memanggilnya 'kamu', bukan 'lo'? Apa karena ada Hanum di antara mereka, jadi Gema mengubah cara panggilnya?

"Ra? Kamu sibuk, ya? Kalau memang nggak bisa, nggak apa-apa." Gema memegang bahu Adira yang masih bergeming.

"Eh? Enggak. Bukan gitu. Memangnya, kamu mau ajak aku ke mana?" Adira berdeham, sementara hatinya memperingatkan diri sendiri agar tidak mudah terbawa suasana hanya karena panggilan yang berubah. Toh, dia juga memakai sebutan 'aku-kamu'. Jadi, bukan masalah kalau Gema juga melakukannya.

"Pet Shop. Makanan Clowy hampir habis." Gema tersenyum tipis lalu membukakan pintu untuk Adira. Setelah memastikan kalau gadis itu sudah mendapat posisi duduk yang nyaman, Gema memutari mobil sebelum duduk di bangku kemudi.

"Bang Gema punya kucing?" Hanum yang mendengar percakapan keduanya, kembali angkat suara. Tubuhnya agak condong supaya lebih dekat dengan Gema.

"Iya. Punya satu. Clowy namanya. Kamu mau lihat? I will invite you to my house." Gema menoleh sekilas ke arah Hanum, sementara tangannya sibuk memasang sabuk pengaman.

"Boleh?"

"Sure, Whenever you want. Sekalian sama kakak kamu. Tinggal bilang aja kapan mau datang, nanti Bang Gema yang jemput." Gema membantu Adira membetulkan tali sabuk pengamannya yang membelit, tak menyadari kalau Adira sempat menahan napas karena jarak mereka yang cukup dekat.

Senyum Hanum merekah seperti bunga yang mekar. Gadis berseragam SMP itu langsung mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas, dan membukanya. Terdapat dua buah roti selai yang dibuatkan Adira untuk dibawa ke sekolah karena Hanum tak sempat sarapan. 

"Bang Gema mau roti?" tanya Hanum saat Gema mulai menjalankan mobilnya, meninggalkan halaman depan rumah orang tua Adira.

Gema melirik adik pacarnya melalui spion tengah. "Kamu bawa bekal?"

Hanum mengangguk mantap, membuat rambutnya yang dikuncir dua, bergoyang. "Iya. Kak Adira yang siapin. Ada dua, tapi aku ikhlas kasih Bang Gema. Asalkan jangan semua."

Mendengar ucapan polos Hanum, Gema seketika tertawa. Sifatnya benar-benar tidak jauh berbeda dari Adira. Dia bisa awet muda berada di antara keluarga ini. "Kalau kamu ikhlas kasih satu, bisa suapi? Look, I'm driving."

"Nanti aja kasihnya, Num. Bang Gema masih nyetir. Lagi pula, kenapa nggak kasihnya sebelum mobil jalan aja, sih?" Adira yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, ikut menimpali. Kalau sudah berhubungan dengan Gema, adiknya itu akan menjadi gadis centil yang sibuk mencari perhatian Gema.

"I'm okay, Ra. Atau, kamu mau suapi aku?" Padahal sedang menyetir, tapi Gema masih sempat-sempatnya menggodanya, di depan Hanum pula. Dan, apa maksudnya mengedipkan mata begitu? Kelilipan?

"Kak Adira malu-malu, Bang. Gengsinya gede. Jadi, nggak bisa diharapin romantis kayak pasangan-pasangan lain."

Adira langsung melayangkan tatapan tak setuju ke arah Hanum. Alih-alih menjadi sekutunya, Hanum justru berada di kubu Gema yang sudah tergelak karena melihatnya diolok-olok.

"I am a romantic man, Hanum. So, let me be romantic. Nunggu kakak kamu romantis, kayaknya keburu Monas ditukar sama Menara Eiffel."

Adira semakin cemberut, merasa tersudutkan. Kerlingan jahil yang dijatuhkan oleh Gema kepadanya membuat Adira melengos. Lebih baik dia melihat jalanan Jakarta yang padat daripada mendengarkan dua orang yang lebih cocok menjadi saudara itu.

"Makan rotinya nanti aja, ya, Bang. Kak Dira kalau ngambek, lama. Aku yang susah." Hanum kembali menutup kotak bekalnya yang belum tersentuh.

Gema mengulum senyum. "Terserah kamu aja, Num. Tapi, kamu kasih Bang Gema roti, atas dasar apa, nih?"

Hanum tampak berpikir sejenak, lalu menjawab, "Friendship maybe?"

"So, we're friends?"

Hanum mengangguk.

"Okay, then. Friends never leave, friends never die." Gema mengulurkan salah satu tangannya yang terkepal kepada Hanum.

"Kepompong!" Hanum membalasnya tak kalah heboh, lalu mereka tertawa bersama. Mengabaikan Adira yang menatap keduanya sambil mendengkus pelan.

She really felt out of place between the two happy friends.

***

"Kamu yakin, Gem? Kayaknya aku balik aja, deh. Malu."

"Kenapa harus malu? Kita pacaran, dan mereka tahu faktanya."

"Tapi—"

Ucapan Adira terhenti saat tangannya digenggam erat oleh Gema, membawanya menuju kerumunan orang-orang di kantin yang tampak seperti gerombolan serigala kelaparan, dan Adira adalah mangsa yang siap menjadi santapan.

Ini semua gara-gara ide Gema yang mengajaknya makan bersama, padahal Adira sudah menolak sekuat tenaga, dengan berbagai alasan yang ternyata tak cukup diterima Gema, hingga Adira mau tak mau menurut meski harus menundukkan kepala karena tak ingin bertatap muka dengan siapa saja.

Ingin meminta bantuan Maharani, tapi gadis itu sedang rapat organisasi, meninggalkannya di antara teman-teman Gema yang Adira sangsi akan menyukainya. Ibarat kata, Adira yang biasa saja, tak pantas mendapat Gema yang hampir sempurna. Mereka mungkin akan berpikir kalau Adira hanya memanfaatkan Gema untuk mendongkrak popularitas dengan jalan pintas.

"Pacar gue nggak boleh nunduk. Harus percaya diri. Kasih tahu semua orang kalau lo itu pacar gue." Gema berbisik di dekat telinga Adira yang hari itu memutuskan untuk menguncir rambut—yang pada akhirnya membuat Adira menyesal karena embusan napas Gema terasa menggelitik bulu-bulu halus di sekitar wajahnya.

Dan, mengenai panggilan 'gue-lo' yang kembali diucapkan oleh Gema, entah kenapa sudut hati Adira sedikit berdenyut. Ternyata, Gema mengubah panggilannya hanya saat mereka bersama Hanum. Barangkali supaya gadis SMP itu tidak curiga. Seharusnya, Adira tahu kalau status mereka tidak benar-benar nyata, sekadar perjanjian yang saling menguntungkan satu sama lain. Namun, salahkah kalau perhatian yang Gema tunjukkan kepadanya, menyentuh hati kecil Adira yang suka terbawa perasaan?

"Teman-teman kamu serem, kayak mau makan aku." Semakin mendekati meja kesayangan Gema, kepala Adira semakin tertunduk, hingga dagunya hampir menyentuh tulang selangka.

Alis Gema naik, lalu memperhatikan teman-temannya yang menatap Adira penasaran sekaligus menilai. Berbeda dengan anggota Dwell Band yang sudah mengenal gadis itu. Mereka tersenyum lebar sambil melambaikan tangan.

"Mau gue kasih saran?" tanya Gema, membuat Adira mendongak.

"Saran apa?"

Gema tersenyum tipis. Melepaskan genggaman tangan yang terjalin, dia menarik pinggang Adira semakin dekat, dan menempatkan tangannya di sisi pinggul Adira.

"Kalau ngerasa nggak nyaman, bilang aja. Dan, sorry." Lengkung bibir Gema melebar, menampilkan deretan gigi-gigi rapinya.

Adira masih merespons tindak-tanduk Gema yang terlalu tiba-tiba, sebelum kembali menundukkan kepala, menyembunyikan rasa panas di pipi yang merambat ke telinga. Lirikan Adira turun ke tangan Gema. Dari sekian banyaknya saran, kenapa Gema harus melakukan ini? Tidak tahukah dia kalau mereka benar-benar menjadi pusat perhatian?

"Gem, jangan gini. Kita masih di kampus." Meski protes, Adira tidak berniat untuk melepaskan tangan Gema. Munafik kalau Adira bilang tidak nyaman, karena sebenarnya dia cukup suka. Seolah-olah rangkulan Gema memberi rasa aman bagi Adira yang gugup.

"Berarti kalau di luar kampus, boleh kayak gini?"

"Ih? Bukan gitu maksudnya." Cepat-cepat, Adira membantah, memunculkan kerutan di hidung Gema, gemas.

"Nggak apa-apa Adira. Namanya juga pacaran, sering lupa daratan. Berasa dunia milik berdua, yang lain cuma mampir." Gema membalas santai, tak peduli Adira yang ingin menyikut pinggangnya karena malu.

Gema menghampiri teman-temannya lalu bersalaman menggunakan tangan yang bebas. Kemudian, Adira digiring untuk duduk di salah satu bangku, dengan Gema yang berdiri di belakang gadis itu, menjaganya.

"Jadi, ini perempuan yang lo tembak kemarin, Gem? Cakep juga," ucap teman Gema yang berambut cepak.

"Inget, cakep gini yang punya cuma gue. Jangan coba-coba rebut kalau masih sayang umur," seloroh Gema.

Walaupun tahu kalau Gema hanya bercanda, tapi Adira tak bisa menahan senyumnya. Terlebih, saat tangan Gema nangkring di bahunya, mengelus lembut.

"Posesif amat lo!" Teman Gema yang lain ikut menambahi, membuat suasana semakin riuh.

"I am. Yang udah jadi milik gue, bakal tetep jadi milik gue tanpa boleh diambil sama siapa pun."

Adira mungkin salah dengar, tapi telinganya sempat menangkap nada ancaman di dalam suara Gema.

So, she already belongs to Gema?

***

Bali, 14 April 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top