15. The Last Straw
Looking so innocent
I might believe you if i didn't know
Could've loved you all my life
If you hadn't left me waiting in the cold
Taylor Swift—You're Not Sorry
***
Kedatangan Zora ke rumah pada malam hari tentunya mengejutkan Gema. Semula, dia ingin mengabaikan, bermaksud supaya Zora menyerah dan pulang, tapi ternyata gadis itu cukup keras kepala untuk pergi begitu saja. Alhasil, Gema menemui Zora dengan enggan, membawanya ke halaman depan supaya ibunya tak tahu, yang akan membuat semuanya menjadi berantakan—beberapa kali, sang ibu menanyakan perihal Zora yang sudah jarang mampir ke rumah mereka.
Gema berdiri menghadap Zora dengan tangan tenggelam di saku celana. Meski belum membuka suara, sedikit tidaknya Gema sudah cukup paham mengenai tujuan Zora datang ke rumahnya; pasti berhubungan dengan Adira.
"Kalau lo datang ke sini cuma untuk diem, gue saranin lo pulang. Udah malam. Nanti lo masuk angin." Gema angkat bicara saat Zora masih larut dalam kebisuan.
"Gue minta lo putusin Adira."
Benar seperti dugaannya. Gema tidak terkejut lagi dengan kalimat yang diucapkan oleh Zora, tapi mendengarnya secara langsung menciptakan kerutan samar di keningnya. "You just want to say this nonsense? Gue rasa lo nggak berkepentingan untuk mengurus kehidupan pribadi gue, apalagi menyangkut hubungan gue sama Adira."
"But you don't love her! Jangan pernah bawa-bawa orang lain ke dalam hidup lo, Gema." Semakin Zora berpikir, dia semakin gelisah. Maka dari itu, dia memutuskan untuk datang ke rumah Gema seorang diri, demi meyakinkan Gema kalau pilihannya salah. "Kalaupun lo nggak terima sama hubungan gue, kita bisa selesaiin tanpa ada pihak ketiga."
"No, i'm not. Gue nggak ada masalah dengan hubungan lo. Congratulations on your relationship with your boyfriend. Bahkan, dari awal lo menjalin hubungan, gue nggak pernah datang ke rumah lo untuk minta lo putus. Meski lo tahu perasaan gue yang sebenarnya, lo juga nggak ada niatan untuk putus, kan? Tapi, kenapa sekarang lo mendadak mempermasalahkan hubungan gue yang sama sekali nggak merugikan lo?" Dengan pantulan cahaya dari sinar bulan, manik gelap Gema tampak asing. Binar yang biasanya menatap Zora hangat itu, kini tak ditemukan lagi keberadaannya. Seolah-olah menghilang bersama angin yang menerpa.
"Adira bukan perempuan yang perasaannya bisa dipermainkan sesuka hati, Gem. She's a good girl."
"Yes, she is. She's not you. She's better than you." Gema maju selangkah, hanya untuk melihat bagaimana mata yang sempat dipujanya itu bergetar, dengan wajah merah padam.
Berusaha mati-matian untuk menahan perasaan tak nyaman yang menggerogoti dada, Zora mengalihkannya dengan helaan napas panjang. "Gem. Daripada terlambat, gue minta lo untuk hentiin semua kekonyolan ini. Gue minta maaf udah bikin lo terluka. Sebagai seorang sahabat—gue nggak tahu lo masih anggap gue sahabat atau enggak—gue merasa perlu menyadarkan lo."
Gema menyeringai lalu menengadah dengan tangan yang menutup mulut, mencoba menahan diri supaya tidak tertawa terbahak-bahak. Perkataan Zora benar-benar menggelitik perutnya. Ibarat sirkus, Gema merasa seperti seorang badut yang setiap tingkahnya penuh dengan jenaka. Apakah menurut Zora, dia semenggelikan itu?
"This is none of your business, Zora. Urus diri lo sendiri. Perkara mencintai atau menyakiti Adira, itu urusan gue. Bukan ranah lo untuk mengajari apa yang harus gue lakuin ke pacar gue." Gema memberi ultimatum, sekaligus menyiratkan kalau hubungan persahabatan mereka sudah berakhir.
Zora tertegun sebentar. Kulitnya yang dingin karena udara malam, seakan-akan mati rasa saat mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut Gema. "Gem, what is your problem with me?"
Gema mengedikkan bahu. "Gue cuma nggak mau lo merasa menang atas hubungan ini. Gue nggak berniat untuk melepas Adira, atau ikutin omong kosong lo. Not for everything."
Zora bergeming, seperti sedang bergelut dengan pikirannya. Gema yang merasa pembicaraan mereka sudah berakhir, melihat sekeliling sambil mengembuskan napas. "Udah jelas, kan? Jadi, gue minta lo untuk pergi dari—"
Belum sempat Gema menyelesaikan ucapannya, jari-jari yang kurus dan dingin tiba-tiba memegang wajahnya, sebelum sesuatu yang lembab menimpa bibir laki-laki itu. Keterkejutan terpatri melalui mata Gema yang membulat sempurna. Tak perlu waktu lama untuk memahami apa yang sedang terjadi, dia langsung mendorong tubuh Zora hingga mundur beberapa langkah.
"What the heck are you doing, Zora Adhisti?" Ekspresi Gema menggelap. Buru-buru, dia menyeka bibirnya menggunakan punggung tangan, berusaha menyingkirkan bekas bibir Zora yang sempat melekat.
"Doing something I want to do."
"Fuck off, Ra! I don't want to see you again. Pergi dari rumah gue atau gue suruh satpam untuk usir lo?" Peringatan Gema tidak main-main. Suaranya menggeram rendah, siap untuk meluapkan amarah saat itu juga.
"Gue nggak mau." Keras kepala Zora membuat kesabaran Gema semakin menipis.
"Just go, Ra. Atau pergi ke mana pun lo mau, asal jangan muncul di hadapan gue lagi. Dan, jangan pernah berpikir kalau gue bakal luluh dengan apa yang lo lakuin tadi. That's so disgusting." Gema berbalik, enggan melanjutkan percakapan. Selama beberapa waktu, tak ada pergerakan dari arah belakangnya, hingga akhirnya terdengar suara langkah kaki yang semakin menjauh.
Seketika, pening menghampiri kepala Gema. Menekan pelipis yang berdenyut dengan jari, dia mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya. Mungkin kalau sang ibu tahu dia merokok di halaman rumah, dia akan dimarahi habis-habisan. Terlebih, dia sangat jarang menghisap hasil olahan tembakau tersebut, kecuali kalau sedang ada masalah atau pikirannya kacau, seperti sekarang.
Asap yang berembus setelah api membakar ujung rokok, menjadi penenang bagi kepala Gema, tanpa melakukan apa pun. Hanya mengisap, telan dan embuskan.
Sejujurnya, Gema masih bingung dengan sikap Zora. Setelah bersikap seperti manusia paling benar, gadis itu tiba-tiba datang dan menciumnya. Ini memang bukan ciuman pertama Gema, tapi tindakan Zora sangat mengejutkan. Entah apa yang sudah merasukinya hingga nekat begitu.
But, I don't want to care, like she doesn't care about me anymore.
Gema melirik bangunan yang berdiri kokoh di belakangnya, takut kalau-kalau sang ibu datang dan memergokinya sedang merokok. Memutuskan untuk berhenti, Gema menjatuhkan batang rokok yang masih tersisa setengah lalu menginjaknya. Besok pagi akan ada pekerja yang menyapu halaman, jadi jejaknya juga akan menghilang.
Namun, saat Gema hendak masuk ke rumah, dia mendadak teringat dengan seorang gadis yang menjadi topik perdebatannya dengan Zora; Adira. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendengar suara itu, meski belum ada satu hari berlalu dari sejak pertemuan terakhir mereka.
Tanpa sadar, senyum tipis menghiasi sudut bibir Gema. Merogoh ponsel, dia mencari kontak Adira lalu menekan tombol panggil. Secara kebetulan, Adira sepertinya belum tidur, membuat teleponnya segera diangkat pada dering pertama.
"Halo?" Suara manis itu terdengar di telinga Gema. Seperti mantra, semua ketegangannya, mulai mereda.
"Hai. Not asleep yet?" Gema bertanya sambil menggerakkan kakinya menuju rumah.
"Belum. Masih sibuk. Kenapa, Gem?"
"Sibuk? Boleh gue tahu lo lagi sibuk apa?"
"Lagi revisi novel aku."
"Revisi novel?" Gema memindahkan ponsel ke telinga satunya saat membuka pintu.
"Iya. Novel aku dipinang salah satu penerbit favorit. Jadi, aku lagi revisian. Mumpung tugas kuliah juga udah selesai." Bertepatan dengan itu, Gema mendengar suara ketikan dari arah seberang telepon.
"Wow! It was surprising and happy news. Gue nggak tahu kalau lo seserius itu ngembangin bakat di dunia literasi. And, I'm sorry for disturbing your precious time." Berjalan menuju ruang tamu, Gema melihat Raden yang sedang menonton televisi. Memberi senyuman kecil kepada adiknya terlebih dahulu, Gema melangkah semakin dalam.
"Eh? Nggak apa-apa, kok, Gem. Nggak banyak juga yang harus direvisi. Lagi pula, sebentar lagi aku selesai. Lanjut besok."
"Mau nggak mau lo memang harus berhenti hari ini dan lanjut besok lagi. Tubuh lo butuh istirahat, apalagi lo juga harus kuliah dan bikin tugas. Jangan sampe karena nggak bisa bagi waktu, lo jadi jatuh sakit." Gema akhirnya sampai di depan kamarnya. Dia membuka pintu menampilkan sebuah ruang berwarna monokrom yang menjadi tempat istirahatnya selama ini.
"Makasih sarannya, Gem. Aku bakal ingat kata-kata kamu."
"Lo salah, Ra. Ini bukan cuma sekadar saran, tapi bentuk perhatian gue ke lo, sebagai pacar yang baik." Seolah-olah tak membiarkan Adira mencerna ucapannya, Gema kembali melanjutkan, "Good night, Ra. Tidur yang nyenyak. Hopefully tomorrow is better than today."
Senyum Gema melebar meski panggilan sudah terputus. He started to think that his relationship with Adira wasn't bad. And, he enjoyed it.
***
Siapa yang masih menunggu cerita ini???
Balik lagi nih Chingu. Apa kabareuu? Gwenchana kah? Mudah-mudahan di tahun 2024 ini, semuanya makin baik dan sehat ya. Aamiin. Walaupun terlambat, tapi aku tetep bakal ucapin Happy New Year! Semoga di tahun ini, cuma ada hal-hal baik yang menyertai kita semua.
And, by the way, ini juga sekaligus sebagai perayaan buat aku yang baru aja pindah kerja di tempat yang baru. Doain aku enjoy dan teman-temannya baik-baik, ya!
So, gitu aja dulu. Mudahan kalian suka sama chapter ini. See u luv ♥️
Bali, 26 Februari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top