13. One Line Crossed

I don't wanna look at anything else now that i saw you

I don't wanna think of anything else now that i thought of you

I've been sleeping so long in a 20-year dark night

And now i see daylight, i only see daylight

Taylor Swift—Daylight

***

Maharani tentu menentang keras keputusan Adira, karena sebelumnya dia sudah mewanti-wanti gadis itu untuk tidak terjatuh semakin dalam pada pesona Gema. Sekadar menyukai boleh, tapi jangan berlebihan. Terlebih, semua orang tahu bagaimana perasaan Gema terhadap Zora. Dengan adanya hubungan yang terjalin antara Gema dan Adira, seolah-olah menciptakan praduga kalau Adira hanyalah seorang pelarian atas patah hati Gema.

Sebagai seorang teman, Maharani tidak ingin Adira dipandang demikian. Setidaknya, Adira dan Gema harus menjalani pendekatan terlebih dahulu, sekaligus membiarkan perasaan Gema kepada Zora menghilang dengan sendirinya. Namun, terlepas dari itu, orang yang seharusnya disalahkan adalah Gema. Laki-laki itu meminta Adira untuk menjadi pacarnya di hadapan banyak orang. Maharani pun pasti bimbang—kalau ada di posisi Adira.

"Kenapa lo nggak minta waktu untuk berpikir? Kenapa langsung lo iyain, sih, Dir?" Maharani benar-benar menyayangkan sikap Adira yang terburu-buru.

"Kesempatan nggak datang dua kali, kan, Ran? Takutnya, Gema berubah pikiran sebelum aku kasih jawaban." Adira memainkan tali tas, dengan mata yang bergerak tak tentu arah, berusaha menghindari tatapan Maharani.

"Lo sesuka itu sama Gema?" Pertanyaan itu semestinya tidak sulit untuk dijawab. Namun, nyatanya Adira membutuhkan waktu sepuluh detik sebelum membuka suara. "Kalau aku nggak suka, nggak mungkin aku terima, kan?"

Maaf, ya, Ran.

Adira tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kepada Maharani. Dia sudah berjanji untuk tidak membocorkan kesepakatan tersebut kepada siapa pun, termasuk Maharani, meski Adira ingin.

"Lo baru sebentar jadi guru les adiknya Gema, tapi ternyata kedekatan kalian lebih dari yang gue pikir, ya. Kalau udah gini, gue juga nggak bisa apa-apa selain dukung lo. Mudah-mudahan keputusan yang lo ambil udah benar."

Adira meringis kecil. Dia mengerti kekhawatiran Maharani, dan sejujurnya dia juga masih ragu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dia hanya harus memakannya daripada terbuang sia-sia.

"By the way, lo pulang pakai apa? Ojek online? Atau mau gue antar aja?" Mereka sudah hampir sampai di parkiran, tempat mobil Maharani berada.

"Aku pakai ojek—"

"Adira pulang bareng gue." Seperti hantu, tiba-tiba Gema sudah muncul di hadapan mereka berdua, lengkap dengan tas yang disampirkan ke bahu kanan.

"Gem? Aku kira kamu sudah pulang," ucap Adira.

Gema menggeleng. "Belum. Ini mau ketemu anggota Dwell Band yang lain dulu." Dia berganti menatap Maharani. "Hai..."

"Maharani." Maharani memperkenalkan diri.

Gema tersenyum tipis. "Oke, Maharani. Jadi, gue mau pinjam teman lo, bisa? Tenang aja. Gue bakal pastiin teman lo nggak bakal lecet dan aman sampai rumah."

Maharani mengangkat bahu sambil menunjuk Adira dengan dagunya. "Gue, sih, nggak masalah. Sekarang, tinggal gimana Adira aja. Lagi pula, pacar lo, kan, Adira. Jadi, terserah."

Mendengar ucapan temannya, Adira melirik melalui ekor mata. Tampaknya, Maharani masih sedikit kesal dengannya. Untuk sementara, biarkan saja. Mungkin Maharani perlu waktu.

Kelereng hitam Adira beralih ke Gema yang juga sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat, menunggu jawaban. "Aku ikut kamu, Gem."

"Nggak apa-apa kalau mampir dulu?" tanya Gema, memastikan.

"Teman-teman kamu nggak apa-apa kalau ada aku?" Adira balik bertanya, meski jauh di lubuk hati, dia gugup setengah mati. Berdekatan dengan Gema saja, dia masih belum terbiasa. Apalagi ditambah keenam orang lainnya, bisa-bisa Adira mati kutu!

"Nggak apa-apa. Sekalian kenalan. Mereka nggak gigit, kok. Udah jinak." Gema terkekeh pelan saat melihat ekspresi Adira.

Merasa keberadaannya sudah tidak berguna, Maharani akhirnya memutuskan untuk undur diri, membiarkan dua sejoli itu asyik bercengkerama. Melihat kepergian Maharani, Adira spontan menghela napas panjang.

"Kenapa?" Gema menunduk, supaya bisa menatap wajah Adira dengan jelas.

"Maharani masih nggak terima dengan hubungan kita. Dia masih marah sama aku." Selama mereka berteman, baru kali ini Maharani tampak sebegitu marahnya, meski tidak ditunjukkan secara langsung.

Gema menipiskan bibir. "Sikap teman lo itu wajar. Dia pengin lo dapetin laki-laki yang lebih baik. Gue bisa paham sama kekhawatiran dia, tapi dia juga harus ngerti kalau keputusan ada di tangan lo. Mengenai kebahagiaan orang lain, tentu cuma mereka yang bisa rasain. Kita nggak bisa menerka-nerka, apalagi langsung bikin kesimpulan. Kasih waktu aja, nanti juga balik seperti biasa."

Adira bergeming. Namun, telinganya tetap menerima perkataan Gema dengan baik. Dia juga yakin kalau Maharani akan kembali seperti semula. Gadis itu, kan, tidak bisa marah lama-lama kepadanya.

"Udah, nggak usah dipikirin. Kening lo sampai berkerut gitu." Gema mengusap kerutan di kening Adira, membuat si empunya menoleh.

"Jadi ketemu teman-teman gue? Makin lama ketemu, makin lama pulang, loh." Seolah-olah tak merasa bersalah atas sikapnya tadi, Gema langsung berjalan mendahului Adira yang masih diam seperti patung.

"Kalau lo masih diam, gue tinggal, ya!" ucap Gema tanpa berbalik badan. Seketika, tubuh Adira bergerak dan mengejar langkah Gema yang sudah cukup jauh.

"Gem, tunggu!"

***

Adira mengenal keenam teman Gema. Dan, dia tak pernah mengira kalau hari ini akan tiba, di mana dia bisa berkenalan secara langsung dengan para laki-laki itu. Di antara yang lain, Rakyan, dan Janu tampak berusaha mencairkan suasana, dengan beberapa kali mengajak Adira mengobrol santai, mungkin paham kalau Adira butuh waktu untuk berinteraksi dengan nyaman kepada mereka.

"Adira, sabarnya diperbanyak, ya, kalau hadapin Gema. Soalnya dia agak nyebelin orangnya." Janu yang duduk di seberang Adira, menyeletuk tiba-tiba. Jari-jari lentiknya—untuk ukuran laki-laki—sibuk memetik gitar, mencari nada yang pas untuk masuk ke indra pendengaran.

"Nggak usah jadi kompor meledug!" Gema melempar bantal yang berada di belakang punggung sofa ke arah Janu, yang tepat mengenai kepala laki-laki itu.

"Gue cuma wanti-wanti. Siapa tahu Adira mau berubah pikiran terus putusin lo."

"Baru juga pacaran, Nu. Nggak mungkin langsung putus. Memangnya elo, korban HTS-an," timpal Panca yang duduk anteng di pojok, sambil bermain game di ponsel.

Spontan, Janu memegang dada, berpura-pura sakit hati atas ucapan Panca. "cari pacar sana! Lo rese kalau lagi jomlo, Pan. Dasar nggak laku!"

"Bukan nggak laku, tapi bervalue. Gue bukan lo yang sana-sini mau."

Tawa Rakyan meluncur nyaring melihat ekspresi masam Janu. Sementara keempat orang lainnya—Gema, Radyta, Hara, dan Tarangga—yang sudah terbiasa dengan perdebatan mereka, memilih memperhatikan.

"Selain Rakyan dan Radyta, mereka berdua juga sering berantem kayak gini. Tapi, nanti bakal akur lagi. Language of friendship kita memang physical attack. Jadi, jangan kaget, ya, Adira." Suara dari arah sampingnya, Tarangga, menyusup ke telinga Adira, membuat si empunya langsung menoleh. Dia memang duduk di tengah, diapit oleh Gema dan Tarangga.

"Oh, iya. Aku juga sering berantem sama adik aku." Adira tersenyum. Saat melihat Tarangga, entah kenapa Adira merasa nyaman. Pembawaan Tarangga yang positif berhasil menenangkan kegugupannya. Laki-laki itu sepertinya cocok untuk dijadikan teman curhat.

"Really? Lo punya adik?" tanya Tarangga, tampak tertarik.

"Iya. Adik perempuan."

"Wah, pasti seru banget. Dari dulu, gue pengin punya adik perempuan, tapi Tuhan malah jadiin gue anak tunggal." Tarangga melengos pelan, menimbulkan tawa kecil dari mulut Adira.

Seketika, Gema melirik Adira. Sebelah alisnya terangkat melihat keakraban dua orang itu. Apa yang sedang mereka bahs sampai-sampai Adira tertawa begitu?

"Kadang, aku malah pengin jadi anak tunggal. Aku sama adik aku benar-benar kayak Tom and Jerry," balas Adira setelah meredakan tawanya.

Tarangga menggeleng, tak setuju. "Percaya sama gue. Lebih baik punya saudara daripada sendirian. Seenggaknya lo nggak kesepian."

"Sorry kalau tiba-tiba gue nyela. Ngga. Lo nggak lupa, kan, dengan omongan lo tentang Adira yang bantu gue nulis lirik lagu?" Gema nimbrung di sela-sela percakapan Tarangga dan Adira.

"Aduh, hampir aja gue lupa. Adira, gue sama anak-anak udah baca lirik yang lo bikin bareng Gema. Dan, kita semua suka. Thanks for your help. Lo suka nulis?"

Mata Adira langsung berbinar saat mendapat pertanyaan begitu. Dia selalu suka kalau ada orang yang menanyakan hobinya. "Suka banget!"

"Novel?"

"Iya. Novel."

Raut wajah Tarangga menunjukkan kekagumannya, sambil tersenyum manis. "Gue yakin lo bakal jadi penulis yang keren, Adira."

"Makasih, Ngga. Kamu juga nggak kalah keren!"

Tarangga tertawa. Tangannya terangkat, hendak menepuk kepala Adira sebelum ekor matanya menangkap ekspresi Gema yang tak terbaca. Mendengkus kecil, Tarangga mengurungkan niatnya, dan hanya mengangguk pelan.

"Dir, gue sumpek di sini. Mau keluar?"

Penawaran yang diberikan Gema membuat Adira mengalihkan perhatiannya.

"Nggak apa-apa? Kalau kamu masih pengin diam di sini, aku nggak masalah, kok." Karena ada Tarangga yang sepertinya satu frekuensi dengannya. Jadi, kecanggungan yang tadi menghinggap, sedikit berkurang.

"Nggak. Gue udah selesai." Gema bangkit, lalu menarik tangan Adira yang masih kebingungan.

"Ngga. Gue balik duluan."

"Oke. Hati-hati." Tarangga menatap Adira. "Dir, lain kali, gue mau ngobrol bareng lo. Boleh?"

Mulut Adira terbuka, hendak menjawab tapi sudah lebih dulu diserobot oleh Gema. "Ngobrolnya kalau gue lagi nggak sibuk. Ayo, Dir."

Tanpa menunggu persetujuan Adira, Gema sudah membawa gadis itu keluar dari markas. He didn't know for sure, but he felt uncomfortable with Tarangga, for the first time.

***

Mau lanjut? Jangan lupa komen!

Bali, 23 november 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top