12. Unplanned Deal
This hope is treacherous
This day dream is dangerous
This hope is treacherous
I I like it
Taylor Swift—Treacherous
***
Adira harap ini hanyalah prank. Gema tiba-tiba tertawa, dan mengatakan kalau dia tidak benar-benar serius, lalu semuanya selesai. Orang-orang yang semula berbisik-bisik dengan tatapan menilai, kembali ke aktivitas masing-masing tanpa mengambil hati ucapan Gema.
Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Karena fakta yang terjadi setelahnya adalah; Gema menarik Adira berdiri, untuk dibawanya keluar dari kantin, membiarkan orang-orang sibuk bertanya pada sekitar tentang keabsahan informasi yang mereka dengar.
Adira tak sempat menjelaskan, terlebih kepada Maharani yang terakhir kali dilihat, hanya bisa mematung dengan mulut terbuka, barangkali tak kalah syok dari temannya yang digeret—Gema tak sekejam itu, tapi kaki Adira memang terasa sulit untuk melangkah—menuju taman mini di samping gedung C.
"Gem, yang di kantin itu, cuma bercanda, kan? Bilang sama aku kalau kamu iseng doang." Adira masih meyakinkan diri kalau Gema tidak benar-benar serius dengan ucapannya.
"Mengenai itu, gue nggak bisa ngelak. Tapi, sebelumnya gue minta maaf sama lo karena udah tarik lo ke dalam masalah gue." Wajah Gema menyiratkan penyesalan. Tindakan gegabah yang dia lakukan tentu berdampak negatif untuk Adira ke depannya. Entah apa yang sudah merasuki Gema hingga mengambil jalan pintas seperti ini.
"Lo bebas marah sama gue, atau mau pukul gue sekalian, nggak apa-apa. Hidup lo di kampus yang semula tenang, jadi berantakan gara-gara gue. I feel guilty, Ra. Tapi, gue nggak punya mesin waktu untuk balik ke masa lalu dan narik ajakan gue tadi. Yang bisa gue lakuin adalah, minta lo untuk bantu lanjutin apa yang udah gue mulai."
"Maksudnya? Lanjutin apa yang udah dimulai?" Sebenarnya, Adira tidak bodoh-bodoh amat untuk mengerti maksud Gema. Hanya saja ... semua ini terasa sangat mendadak, dan Adira masih butuh waktu untuk mencernanya.
Gema menjilat bibir bawahnya yang tiba-tiba mengering. "Kita pacaran."
"Pacaran? Kamu sama aku?" beo Adira, yang segera diangguki Gema.
"Gue yakin, berita tentang kita di kantin pasti udah menyebar. Orang-orang bakal penasaran, dan mulai cari tahu tentang lo. Ini satu-satunya cara untuk lindungi lo. Seenggaknya, mereka nggak bakal berani ngusik lo secara terang-terangan, karena status lo yang sebagai pacar gue. Gimana?" Gema melakukan penawaran.
Adira tampak berpikir keras. Dia seakan-akan terdesak di antara dua pilihan yang tentunya sama-sama tidak menguntungkan. Kalau dia menolak, orang-orang akan mencapnya sebagai gadis bertampang pas-pasan yang sok jual mahal, tapi kalau dia menerima, itu juga bukan hal yang bagus. Mereka benar-benar jomplang. Ibarat langit dan bumi, tak peduli seberapa sukanya Adira dengan Gema, dia tetap merasa tak pantas.
"Gem, jadi gini. Hubungan kita nggak sedekat itu sampai-sampai kamu minta bantuan aku untuk jadi pacar kamu, walaupun cuma pacar pura-pura." Mendengarnya, bibir Gema terbuka, hendak menyela ucapan Adira, tapi urung dilakukan, karena sudah diinterupsi lebih dulu.
"Aku guru les Raden. Kalau bukan karena adik kamu, kita mungkin nggak bakal kenal. Jadi, aku pikir, dengan kamu yang langsung mengambil keputusan sepihak, itu namanya egois. Nggak fair."
Alis Gema berkerut dalam. "Lo salah. Kita saling kenal bukan karena Raden. Sebelumnya, gue pernah ketemu perempuan yang hampir gue tabrak gara-gara dia fokus lihat hape, yang ternyata pernah nolongin gue di saat gue mabuk. Kita juga pernah ketemu di JPO. Mungkin kalau dihitung, kita udah pernah ketemu sebanyak tiga kali," ucapnya sambil menunjukkan ketiga jarinya kepada Adira.
"Itu beda, Gem. Pertemuan dan perkenalan. Dua hal itu nggak sama."
"Yang penting kita pernah tatap muka dan berinteraksi, kan? Kalau kita nggak saling kenal, nggak mungkin gue kasih tiket festival band gue dengan cuma-cuma sama lo."
"Itu, kan, sebagai permintaan maaf kamu," gumam Adira, yang ternyata didengar oleh Gema.
"Lo pengin kita seberapa deket lagi, sih? Lo ngerasa kedekatan kita masih kurang? Kita udah pernah duduk bareng sambil ngobrol santai. Lo pernah bantu gue selesaiin lirik lagu. Kita juga pernah nelusuri jalanan berdua. Kalau lo pengin kita lebih dekat lagi, kita bisa lakuin itu setelah pacaran."
Adira tergugu, tak mampu menjawab. Hanya kaki berbalut sepatunya yang bergerak, menendang-nendang daun berguguran. Memang, mereka harus sedekat apa lagi? Bahkan, tak pernah terbesit dalam otak kecil Adira kalau mereka akan berpacaran. Berteman pun Adira tak berani secara terang-terangan, hanya di luar saja dia merasa lebih leluasa bersama Gema.
Jadi, bagaimana cara Adira menjalin hubungan yang bersifat terbuka dengan James Dean milik Universitas Awasena?
"Pasti karena Zora, ya?" Pertanyaan tersebut meluncur begitu saja dari mulut Adira.
Gema tampak menegang, sebelum akhirnya mengangguk pelan, tak berkelit. "Iya."
Adira mengulum bibir. Kalau dipikir-pikir, semestinya dia bisa menebak alasan Gema sampai seperti ini. Tak mungkin laki-laki itu tiba-tiba mengajaknya pacaran di hadapan banyak orang, di saat hubungan mereka belum bisa dikatakan sebagai teman dekat.
Adira hanya sebatas alibi, untuk menutupi perasaan Gema yang sesungguhnya pada Zora.
"Aku paham."
Melihat raut Adira yang tidak mengenakkan, Gema semakin dilanda rasa bersalah. "Ra, kalau lo memang enggak bersedia—"
"Ayo kita pacaran!"
"Ya?" Bola mata Gema membulat sempurna, terkejut.
"Kamu ajak aku pacaran, kan? Ayo kita pacaran!" Adira kembali mengulangi perkataannya.
"Tapi, gue nggak maksa lo untuk nerima ajakan gue." Karena Gema tak ingin membebani Adira.
"Seperti kata kamu tadi. Semuanya udah terlanjur. Aku nggak mau ambil risiko dihujat sama anak-anak kampus gara-gara nolak kamu. Kalau kita pacaran, seenggaknya mereka cuma berani gosipin aku di belakang, kan?" Adira memandang ke segala arah, mengalihkan netranya supaya tidak menangkap pantulan wajah Gema yang seringkali membuatnya terlena. "Lagi pula, kita cuma pacaran pura-pura. Jadi, aku pikir nggak masalah untuk dicoba."
Tarikan napas Gema seolah-olah menjadi perwakilan dari kebimbangan yang didera laki-laki itu, meski pada akhirnya Gema menyahut, "Oke. Kita pacaran. Tapi, gue nggak bakal anggap kalau kita pacaran pura-pura. Terserah mau lo kayak gimana." Gema memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Makasih atas bantuannya, Adira."
Adira hanya menyelipkan senyum tipis. "Sama-sama, Gema."
So, Gema and i are officially dating?
***
Adira tentu tak pernah lupa kalau Gema dan Zora merupakan paket lengkap. Kalau saja keduanya mau, mungkin mereka sudah menjadi pasangan paling serasi di kampus. Sayangnya, Zora berdalih dengan mengencani salah satu senior, mengabaikan perasaan Gema yang jelas-jelas tertuju kepadanya—mungkin begitulah pemikiran Adira selama ini.
Alhasil, dia tidak begitu terkejut saat berpapasan dengan Zora di koridor. Sepertinya, Zora memang sengaja mencarinya dan Gema setelah kejadian di kantin. Gadis itu pasti penasaran, sekaligus merasa sedih karena perasaan Gema sudah berubah, meski kenyataannya mereka hanyalah pura-pura.
"Hai, Ra!" Sebagai manusia yang ikut terjun ke dalam masalah percintaan Gema, Adira merasa harus menyapa Zora, sahabat pacarnya.
Hah! Pacar, ya? Adira masih tidak percaya kalau dia sudah menjadi pacar Gema. Terlebih, dia tidak sungkan mengajak Gema untuk melanjutkan sandiwara meski sempat menolak. Persetan dengan harga diri! Urat malunya sudah putus bersamaan dengan ciuman mereka di malam festival kampus.
"Hai juga. Adira, kan?" Zora menyunggingkan senyum ramah yang justru tampak canggung di mata Adira.
"Lagi cari Gema?" tanya Adira, saat menyadari kalau mata Zora terus melirik ke belakang tubuhnya.
"Lo yang terakhir kali bareng Gema. Dia masih ada di taman?"
Adira mengangguk pelan. "Masih. Mungkin sebentar lagi dia nyusul ke sini. Ada apa, ya?"
"Hm ... Dira. Gue tahu kalau ini terlalu tiba-tiba, lo juga mungkin masih kaget sama sikap Gema. Dan, gue yakin ada kesalahpahaman di sini. Gema pasti cuma bercanda doang."
"Tapi, aku udah resmi pacaran sama Gema. Jadi, kesalahpahaman apa yang kamu maksud?" Adira mengerutkan keningnya samar. Ucapan Zora seperti orang yang tidak rela kalau gebetannya mempunyai pacar.
"Lo terima Gema?" Ekspresi Zora menampilkan ketidakpercayaan yang begitu kentara.
"I ... ya? Memangnya kenapa? Setahu aku, Gema jomlo, kok. Jadi, nggak masalah, kan, kalau aku terima dia?"
"Tapi, lo nggak tahu apa pun tentang dia. Gue cuma nggak mau lo sakit hati. Gue bakal bicara sama Gema." Zora hendak pergi, mencari Gema, tapi segera ditahan oleh Adira.
"Ra, aku memang nggak mengenal Gema sebaik kamu. Aku juga tahu kalau kamu orangnya sangat peduli, untuk itu aku berterima kasih. Tapi, ini hubungan kami. Biarin kami menjalaninya dengan tenang, ya?"
Adira bukan tanpa alasan mengatakan ini. Dia hanya mencoba melakukan peran sebagai pacar yang baik. Gema memintanya untuk membantu laki-laki itu supaya bisa menghindari Zora. Kalau Adira masih memberikan Zora akses untuk mencampuri hubungan mereka, bukankah dia tampak seperti pacar yang tidak peduli?
"Apa lo pernah tanya perasaan Gema ke lo? Gue bukannya pengin bikin lo overthinking, tapi—"
"Loh, Dir? Kenapa masih di sini?"
Zora dan Adira seketika menoleh. Saat mendapati Gema sudah berdiri di sampingnya, tanpa sadar Adira menghela napas lega. Andai saja Gema tidak segera datang tepat waktu, hubungan pura-pura mereka pasti akan ketahuan—cepat atau lambat.
"Iya, ini. Tadi pas mau balik, aku ketemu Zora. Jadi, kami ngobrol sebentar." Adira tersenyum, yang dibalas tak kalah lebar oleh Gema.
"Bagus, deh, kalau kalian udah kenalan." Gema mengambil tangan Adira, menyatukan ruas-ruas jari mereka ke dalam genggaman hangat, yang tentunya membuat Adira terkejut dengan tindakannya. "Karena lo udah ketemu sama pacar gue, jadi gue nggak perlu repot-repot kenalin dia lagi, kan, Ra?"
Melihat genggaman Gema dan Adira sekilas, Zora mengangguk kecil. "Selamat, ya. Gue harap lo bahagia sama Adira."
Gema menarik salah satu sudut bibirnya. "Gue pasti bahagia. Oh, iya. Gue minta tolong sama lo, ya, Ra. Jangan recoki otak pacar gue sama kata-kata lo. Gue nggak mau dia punya kekhawatiran yang nggak berdasar. Kalaupun masih ada kejanggalan di hatinya, itu biar jadi urusan gue, tanpa ada campur tangan dari orang luar."
Mulut Adira tertutup rapat, dengan tubuh yang mematung. Kedua orang yang saling berhadapan itu sedang perang dingin, padahal mereka bersahabat. Hanya gara-gara perasaan yang tidak seharusnya ada, keduanya menjadi begini.
Helaan napas kasar meluncur dari mulut Zora. "Kalau gitu, gue balik duluan. Adira, kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke gue, ya."
Adira tak menjawab, hanya membiarkan Zora menghilang dari pandangan.
"Lain kali, kalau ketemu Zora lagi, langsung menghindar aja." Ucapan Gema seketika membuat Adira menoleh.
"Kenapa?"
Gema mengedikkan bahu. "Nggak apa-apa. Takutnya lo nggak nyaman, apalagi kalau dia udah tanya-tanya tentang hubungan kita. Zora, biar jadi urusan gue."
"Oke." Adira tak berniat untuk bertanya lebih lanjut. Atau lebih tepatnya, dia menahan diri untuk tidak bertanya banyak. Kesannya seperti pacar yang sedang dilanda cemburu.
"Karena Zora sudah pergi, jadi aku mau balik juga. Tenang aja, aku nggak bakal bocorin tentang hubungan kita yang sebenarnya sama siapa pun. Janji." Adira mengacungkan jari kelingkingnya yang mungil di hadapan Gema, yang dibalas kekehan kecil dari laki-laki itu.
"Kayak anak kecil aja, pake janji kelingking begini." Meski sempat meledek Adira, tapi Gema tetap menautkan kelingkingnya ke kelingking Adira. Namun, saat Adira hendak pergi, sesuatu menahannya.
Umpatan nyaris meluncur dari mulut Adira begitu menyadari kalau genggaman mereka masih terjalin. Gema yang juga melihatnya, buru-buru melepas genggaman sambil tersenyum kikuk.
"Oh, maaf. Gue lupa." Gema spontan mengusap tengkuk, guna menutupi salah tingkah.
"Iya, nggak apa-apa. Hm ... kalau gitu, aku pergi duluan." Adira segera melangkahkan kaki secepat yang dia bisa, tanpa menoleh ke arah belakang. Bahkan, kalau boleh, dia ingin menenggelamkan wajahnya di balik bantal.
Malu!
Despite everything that happened between Adira and Gema, she still couldn't hide her red face from embarrassment.
***
Siapa yang minta update??? Tuhh udah kukasih wkwkwk
Tapi, aku lihat-lihat, cukup sepi juga ya, lapak iniii. Hmm kira-kira kenapa tuch 🤔🤔😌
Dah ahh. Gitu ajaa. Maapkeun gak update lamaaa. Real life ku syibuk sangatt gaisss.
Sampai jumpa lagiiii!
Bali, 6 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top