11. Our Moment Is Gone

Happy reading sayang-sayang aku!

***

All this time

I never learned to read your mind (never learned to read my mind)

I couldn't turn things around (you never turned things around)

'Cause you never gave a warning sign (i gave so many signs)

Taylor Swift —Exile

***

Sekitar pukul setengah tujuh pagi, Gema turun dari lantai dua kamarnya dengan rambut acak-acakan. Dalam balutan kaus hitam dan celana pendek, dia pergi menuju dapur. Sesekali, Gema menguap kecil karena kantuk yang masih menguasai.

"Morning, Ma." Sapaan hangat keluar dari mulut Gema saat melihat ibunya sedang berkutat di dapur bersama bibi untuk membuat sarapan.

"Morning, Gem! Gimana tidurnya? Nyenyak?" Mama Gema melirik sang putra sulung sekilas, lengkap dengan senyumannya yang menenangkan hati.

"Pagi, Bi."

"Pagi, Mas Gem." Bibi tersenyum sopan, lalu sedikit menyingkir supaya tidak menghalangi Gema yang hendak meraih gelas. Kemudian, laki-laki itu membuka pintu kulkas, mengambil botol air mineral sebelum menuangkannya ke gelas. "Nggak terlalu nyenyak, tapi cukup."

"Kenapa? Ada yang ganggu pikiran kamu?" tanya Mama Gema, tampak khawatir.

"Sedikit. Biasa, masalah tugas kuliah. But, everything will be fine, Ma." Gema mengedikkan bahu tak acuh.

"If you need help, tell mama," ucap Mama Gema saat anaknya sudah berbalik badan, hendak pergi dari dapur.

"As you wish, Ma." Gema mengangkat gelasnya sebagai respons untuk sang mama. Sambil menunggu sarapan disediakan, Gema memutuskan untuk bersantai di ruang keluarga.

Saat bokongnya bertemu dengan kursi, Gema meletakkan gelas di atas meja, lalu merogoh ponsel dari saku celana. Jari-jarinya mengutak-atik ponsel dengan lihai, sampai akhirnya ibu jari Gema berhenti di sebuah nama yang terblokir dari kontaknya.

Selama sepuluh detik, Gema hanya menatap nama itu tanpa melakukan apa-apa. Zora. Rasanya, nama itu mulai asing bagi Gema. Entah sejak kapan dia mulai tidak mengenali si pemilik nama. Mungkin ... sejak pertemuan terakhir mereka? Atau ... sejak Zora tak memerlukan Gema lagi di hidupnya? Entahlah, yang pasti Gema masih belum siap untuk berhubungan lagi dengan Zora.

Anggap saja dia kekanakan. Melupakan semua kenangan mereka yang menumpuk dalam ingatan hanya gara-gara perasaan yang tak terbalaskan. Namun, Gema perlu melindungi hatinya, sampai perasaan tersebut mulai reda.

Ini memang bukan patah hati pertama Gema, tapi sakitnya masih sama. Dan, dia butuh waktu untuk terbiasa.

Layar ponsel Gema beralih ke menu galeri. Hampir sembilan puluh persen isi di dalamnya sudah terhapus, yang tentu berhubungan dengan Zora. Hanya tersisa foto-foto yang diambil Gema secara random ataupun foto bersama keenam temannya.

Menyadari betapa jahatnya dia kepada Zora, Gema hanya bisa menghela napas berat. Dia sudah menghancurkan persahabatan mereka yang terjalin lama. Ibarat puzzle yang kehilangan potongan-potongannya karena sengaja dirusak.

Gema menaruh ponsel di dekat gelas, lalu merebahkan kepalanya di punggung sofa. Kelopak mata laki-laki itu tertutup, mengusir kekacauan yang mendesak di pikiran. Semalam, dia terjaga sampai dini hari. Duduk di balkon, ditemani segelas kopi yang sudah dingin karena dibiarkan di tempat terbuka, sambil menatap bulan yang bulat sempurna.

Gema kembali ke kamarnya sekitar pukul setengah dua dini hari, saat kantuk dirasa sudah tak tertahankan. Itu pun tak sepenuhnya terlelap. Beberapa kali, Gema terbangun demi mencari posisi yang lebih nyaman.

Gema benar-benar tak suka kondisinya yang menyedihkan.

"Lagi banyak pikiran, Bang?"

Kelopak mata Gema terbuka setengah, melirik Raden yang sedang berdiri di sebelahnya dengan tatapan bingung. Penampilan Raden sudah rapi, seragam putih-biru dan rambut klimis, bersiap untuk berangkat ke sekolah.

"Enggak. Abang cuma masih ngantuk." Gema berpura-pura menguap sambil merentangkan tangannya, supaya Raden percaya.

"Makanya, jangan begadang mulu. Apa aku perlu aduin mama supaya Bang Gema diomelin?" Dan, untungnya, Raden sama sekali tak curiga.

"Dasar pengaduan!" Gema berdecak lalu mengacak rambut Raden yang sudah disisir sedemikian rapi.

"Don't touch my hair, Bro!"

Melihat kekesalan Raden, Gema hanya tertawa. "Clowy mana? Tumben nggak ngekorin kamu?" Gema celingak-celinguk, mencari keberadaan hewan berbulu lembut yang tak pernah mau lepas dari Raden itu.

Bahkan, Clowy akan dengan sabar menunggu Raden di ruang tamu sampai pulang. Dan, saat suara Raden terdengar dari ambang pintu, Clowy akan langsung menghampiri Raden untuk melepas rindu.

"Di kandangnya. Kekenyangan abis dikasih makan. Lagi pula, aku mau sekolah. Kalau dia lihat, nanti minta ikut. Ribet."

"Biasanya juga kamu sengaja jadiin Clowy alasan supaya nggak sekolah." Gema mencibir, membeberkan fakta yang terjadi hampir di setiap harinya. Barangkali masih kurang nyaman berada dalam sekumpulan orang, Raden sering meminta dispensasi kepada sang ibu agar diizinkan meliburkan diri, dengan Clowy sebagai kambing hitam.

Raden membuang napas kasar. "Lama-lama aku bisa stres menghadapi orang-orang nyebelin kayak teman-teman di sekolah. Dari awal aku lebih setuju homeschooling."

"Terus, gimana sama Miss Adira? Cocok?" tanya Gema, penasaran. Kalau dilihat dari seberapa frutrasinya Adira setiap kali mengajar Raden, sudah dipastikan kalau adiknya itu memang sulit didekati.

Raden mengedikkan bahu. "Hari ini aku libur les, jadi Miss Adira nggak ke sini. Tapi, secara keseluruhan, Miss Adira bukan orang yang sefrekuensi sama aku. Nggak asyik."

"Kamu yang keasyikan sendiri, Raden. Hargai Miss Adira sebagai guru les kamu. Mandiri boleh, tapi kamu harus bisa menempatkan diri, Buddy. Not everything has to go your way." Gema kembali mengacak rambut Raden, membuat si empunya hanya bisa mendengkus sebal.

"We're not compatible, for now, Bro. I don't know later. So, don't judge me." Raden memilih pergi dari ruang keluarga sambil memperbaiki tatanan rambutnya daripada semakin berantakan karena ulah Gema.

"So, you are starting to feel comfortable with Miss Adira, right?" Bola mata Gema mengikuti pergerakan Raden. Tak mendapat balasan dari si lawan bicara, Gema hanya terkekeh pelan.

Sometimes, his little brother was really cute.

***

Gema tak seceria biasanya. Meski tak mengenal laki-laki itu secara personal, tapi kebersamaan mereka belakangan ini membuat Adira bisa merasakan perubahan sikap Gema. Dan, mungkin bukan hanya dia saja yang merasa demikian. Karena orang-orang sekitar Gema pun seolah-olah membiarkan Gema berkutat pada pikirannya sendiri.

Kantin yang sebelumnya ramai akan petikan gitar atau suara Gema, kini hanya diisi kebisingan para mahasiswa yang sibuk bercakap-cakap. Hal itu semakin memperkuat dugaan Adira mengenai Gema yang sedang dalam kondisi tak baik.

"Gema lagi ada masalah, ya, Dir?" tanya Maharani, yang ternyata ikut peka akan kemuraman Gema.

"Nggak tahu. Kenapa kamu tanya aku?" Adira berpura-pura tak acuh, walaupun sesekali ekor matanya mengarah pada Gema yang duduk tak jauh dari tempatnya.

"Lo, kan, guru les adiknya Gema. Siapa tahu sempat dengar sesuatu yang berhubungan dengan laki-laki itu." Maharani menyeruput jus alpukat yang dia pesan menggunakan sedotan. Erangan napas lega meluncur dari mulut, saat jus tersebut membasahi tenggorokannya yang kering karena habis presentasi di depan kelas.

"Aku nggak dengar apa-apa. Nggak mau tahu juga. Bukan urusan aku. Tugas aku di sana cuma ngajar Raden les, bukan untuk ikut campur masalah pribadi Gema." Lain di mulut, lain juga di hati. Nyatanya, Adira peduli. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada Gema sampai menjadi seperti itu.

Tatapan Adira jatuh pada layar ponselnya yang berada di bawah meja.

Gema

Gema, are you okay? Ada masalah?

Buru-buru, Adira menghapus pesannya yang belum terkirim. Walaupun dia khawatir, tapi dia bisa apa? Adira tak berhak untuk bertanya, kecuali Gema sendiri yang menjelaskannya sendiri, seperti saat Gema menceritakan mengenai orang tuanya yang berpisah.

Namun, apa Gema akan bersedia menceritakannya tanpa diminta?

"Ran, aku punya kabar bahagia." Adira langsung memasukkan ponselnya ke saku, dan mengganti topik pembicaraan supaya Maharani tak lagi penasaran dengan Gema.

Usaha Adira ternyata berhasil. Mendengar kata 'kabar baik', Maharani menjadi tertarik. "Apaan?"

Senyum tercipta di bibir Adira. "Naskah novel aku dipinang sama penerbit!"

Untuk sesaat, Maharani masih terdiam, mencoba mencerna ucapan Adira, sebelum akhirnya memekik kegirangan, bahkan hampir menggebrak meja kalau saja Adira tidak menahannya. "Demi apa? Ya ampun .... akhirnya, Dir! Impian lo tercapai. Gue ikutan seneng!"

Adira mengangguk mantap. "Aku juga nggak nyangka kalau naskah aku diterima sama penerbit. Kamu tahu sendiri, kan, kalau aku sering banget masukin naskah ke penerbit incaran aku, berharap ada salah satu yang tertarik. Finally, i made it."

"Lo memang teman gue yang paling keren, Dir." Maharani bertepuk tangan sambil berdecak kagum. "Tapi, jangan lupa, rayain keberhasilan lo dengan traktir gue. Jangan pelit, Bu Penulis."

Mendengarnya, Adira seketika tersipu malu. Tangannya spontan menutup wajah. "Jangan gitu, Ran. Ini baru permulaan. Novel aku belum tentu banyak peminatnya. Tapi, semoga aja."

"Nggak usah berpikir negatif. Hal baik itu, harusnya didoain yang baik-baik juga, supaya berkah."

"Iya, Ran, iya. Mudah-mudahan hal-hal baik terus datang sama aku."

Maharani sempat terdiam, lalu agak mencondongkan tubuhnya. "Tapi, gue nggak tahu apa ini juga bakal jadi hal baik yang datang ke hidup lo."

Alis Adira berkerut samar. "Maksudnya?"

Maharani memberi isyarat melalui mata, yang meminta Adira untuk menoleh ke belakang. Dan, saat Adira mengikuti arah tuju Maharani, dia dibuat terkejut dengan kehadiran Gema di belakangnya.

Adira langsung membenarkan letak kacamatanya, memastikan kalau minusnya tidak menambah. "Gema, apa?" tanyanya, dengan suara kecil.

"Adira, sorry kalau ini bikin lo kurang nyaman. Tapi—" Gema melirik sekelilingnya. Orang-orang yang ada di kantin sedang memperhatikannya. Ralat, memperhatikan dia dan Adira. Termasuk dua insan yang baru saja datang ke kantin. Zora dan kekasihnya.

"Jadi pacar gue, ya?"

"Hah?"

Is there anything more surprising than this?

***

Haiiiii apa kabar? Mudah-mudahan tetap dalam keadaan baik, ya. Aamiin

Btw, kira-kira, untuk kalian yang para kpopers, sejak kapan sih, terjun ke dunia K-Pop? Kalau aku sendiri, udah dari lama kenalnya sih, cuma baru-baru ini jadi Nctzen. Sebelumnya EXO-L, dan masih sampe sekarang. Cuma ketambahan fandom aja, wkwk

Aku juga mau infoin kalau cast Gema ini, memang aku pakai Lee Mark, tapi aku minta sama kalian untuk tetap bijak ya. Jangan ada yang latah ataupun kebawa di real life. Ini hanya sekedar fiksi belaka. Kalian boleh juga, kok, memvisualisasikan Gema sesuai dengan yang kalian pengin, aku nggak keberatan dengan itu

So, gitu aja dari aku. Maaf kalau terlalu panjang, wkwk

Semoga hari ini menyenangkan buat kalian, dan u did well!

Khamsahamnidaa ❤️

Bali, 5 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top