1. Short Midnight With
And i never think of him
Except on midnights like this
A slow-motion, love potion
All of me changed like midnight
Taylor Swift—Midnight Rain
***
Adira tidak pernah suka berada di antara keramaian. Dengan lampu sorot yang kerap kali menyilaukan, musik menggelegar, dan orang-orang yang menari penuh kebebasan. Rasanya benar-benar memusingkan. Tak jarang, tubuhnya yang kecil terdorong oleh orang-orang yang sibuk menikmati konser. Kalau sudah begini, dia sendiri tidak tahu harus menyalahkan siapa.
Festival musik yang diadakan kampus memang tidak mewajibkan para mahasiswanya untuk datang, tapi dia diseret oleh seorang perempuan bernama Maharani Arbella yang merupakan sahabatnya sedari SMA. Namun, lihat. Gadis itu tiba-tiba menghilang, meninggalkan Adira dalam kebingungan.
"Aduh, Mbak! Jangan dorong-dorong, dong." Adira melayangkan protes kepada seorang gadis yang menyenggolnya, tapi tentu saja tak mendapatkan respons. Selain suara musik yang kencang, Adira juga tidak seberani itu untuk menyuarakan ketidaknyamanannya dengan keras. Alhasil, secara perlahan, Adira menyingkir, mencari tempat yang cukup aman untuk dirinya.
Adira pastikan kalau UKM Perpus tidak akan mengadakan festival seheboh ini.
Begitu berada di dekat stand makanan, gadis itu melirik jam di arloji berwarna merah muda—warna kesukaannya—yang melingkar di pergelangan tangan. Hari sudah hampir mencapai tengah malam, dan dia belum juga menemukan Maharani. Entah di mana keberadaan gadis itu. Untungnya, sebelum pergi ke konser, dia sudah izin dengan Bunda kalau dia akan menginap sekalian di rumah Maharani, semata-mata supaya Bunda-nya tidak khawatir.
Karena hari sudah gelap dan penuh dengan lautan manusia, baik dari kampus maupun luar kampus, Adira kesulitan untuk menemukan Maharani. Ponselnya juga tidak aktif, membuat Adira semakin panik.
Akhirnya, dia mencari di belakang kampus, barangkali Maharani ada di sana. Sungguh, dia ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk. Sebagai manusia yang jarang keluar rumah kalau tidak ada hal penting, mengikuti festival musik di kampus bukanlah style-nya. Berbeda dengan Maharani yang super aktif, bahkan mengikuti organisasi BEM yang memiliki jadwal padat.
"Rani ke mana, sih? Awas saja kalau ketemu! Bisa-bisanya dia ninggalin aku sendirian." Adira menggerutu di tengah-tengah pencariannya. Semakin melangkah menjauhi tempat acara, Adira merasa bulu kuduknya berdiri. Suasana di sekitar cukup mencekam, dengan lampu remang-remang yang beberapa kali berkedip-kedip sendiri.
Adira berusaha abai, sambil mengeratkan cardigan karena semilir angin malam yang menyapu kulit wajahnya, dengan mata yang bergerak awas, kalau-kalau ada yang dirasa mencurigakan.
Namun, hingga ke belakang kampus, Adira tak menemukan Maharani. Temannya itu benar-benar menghilang tanpa jejak. Menghela napas panjang, Adira mengeluarkan lipbalm dari saku cardigan. Bibirnya sering kering dan pecah-pecah, jadi dia selalu membawa lipbalm ke mana pun supaya bibirnya tetap lembab.
Hanya saja, ketika Adira sedang mengoleskan lipbalm ke bibir, dia mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Buru-buru, dia menutup lipbalm lalu melihat sekitar dengan penglihatannya yang dibantu kacamata minus.
"Siapa itu?" tanya Adira, was-was. Salah satu tangannya mencengkeram lipbalm erat.
"Who is there?"
Ada yang menyahut! Suaranya terdengar dekat, dan ... berat? Berarti laki-laki, tapi bukan itu masalahnya. Meski berat, nada suaranya agak parau. Dengan ragu-ragu, Adira mencoba menghampiri. Samar-samar, dia melihat sesosok bertubuh jangkung berkaus hitam sedang bersandar di tembok. Adira tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena pencahayaan yang kurang mendukung.
"Kamu ... siapa?"
"Me? Just someone who enjoys alone time."
Semakin dekat, Adira mulai bisa melihat wajah laki-laki itu, tapi tunggu. Bau rokok dan alkohol!
Ayah Adira adalah seorang perokok, dan dia tidak sepolos itu sampai-sampai tidak mengetahui aroma asap rokok yang sangat dibencinya. Spontan, Adira menutup hidungnya dengan alis berkerut.
"You don't like the smell of cigarettes?" Ternyata, laki-laki itu menyadari sikap Adira. Dia terkekeh pelan, yang membuat Adira bingung.
"Para perempuan nggak suka sama asap rokok tapi suka sama laki-laki perokok. Bahkan, mereka bilang kalau laki-laki perokok itu keren. They also don't hesitate to kiss active smokers. Konyol banget!"
Kebingungan Adira berganti menjadi keterkejutan begitu laki-laki itu menampakkan wajahnya di bawah lampu remang-remang. Gema Sandyakala! Tentu Adira tak salah mengenali vokalis Dwell Band yang sedang ramai dibicarakan di kampus. Bahkan, Gema dan anggota band-nya baru saja tampil di acara festival kampus. Lalu, kenapa tiba-tiba dia berada di sini dengan kondisi yang sangat berantakan?
"Gema?"
"Lo juga kayak begitu? Nggak suka sama asap rokok tapi suka sama laki-laki perokok? Omong kosong banget kalau kaum perempuan kayak kalian bilang suka sama laki-laki apa adanya. You want to change us!"
Adira mengerjap, tidak mengerti dengan arah pembicaraan Gema yang terkesan ngalor-ngidul. Mungkin ini efek dari alkohol yang tercium pekat dari pakaian laki-laki itu.
"Gema, kayaknya kamu salah paham. Aku nggak ada maksud untuk ganggu kamu atau apa pun itu. Aku ke sini karena ada urusan—"
"Why do women like to confuse us?" Gema mengerang frustrasi sambil mengacak rambutnya.
"Aku ... nggak ngerti."
Tiba-tiba, Gema menatap Adira tajam, sebelum menarik kerah cardigan gadis itu hingga jarak mereka semakin mendekat. Adira panik, tentu saja. Terlebih aroma rokok dan alkohol dari tubuh Gema menyusup ke indra penciuman, membuatnya mual.
"Just kiss. Gue ingin membuktikan kalau apa yang gue pikir itu salah. Kaum laki-laki bakal berubah atas keinginan dirinya sendiri. Just to show that i deserve to be loved," ucap Gema. Adira panik, ingin menolak. Niatnya kemari hanya ingin mencari Maharani, bukan untuk mencampuri urusan Gema yang sedang mabuk.
Namun, ketika netra Adira bertemu dengan kelereng Gema yang sayu, tubuhnya seolah-olah membeku. Dia belum pernah berada sedekat ini dengan seorang laki-laki paling diinginkan di kampus. Selama ini, dia hanya menatap Gema dari kejauhan. Melihat bagaimana laki-laki itu tertawa bersama teman-temannya, menjadi raja kantin, dan menguasai panggung. Dia bahkan tidak berani untuk sekadar menunjukkan eksistensinya di dekat Gema, meski dia seratus persen yakin kalau Gema tak akan peduli.
Bukankah ini kesempatan bagus? Gema meminta Adira untuk menciumnya. Kapan lagi dia bisa mencium laki-laki yang menjadi incaran para gadis? Hanya cium, lalu lupakan semuanya.
Hanya saja, secepat alarm peringatan berdering di kepala, secepat itu pula Adira menggeleng. Tidak, tidak. Dia tidak boleh menggunakan kesempatan ini untuk melakukan sesuatu yang buruk. Apalagi, Gema dalam kondisi mabuk.
"Just show me, please..."
Entah karena mendengar nada permohonan Gema atau dia yang terlalu naif, kedua kaki Adira langsung berjinjit, dengan masing-masing tangan yang bertumpu pada pundak tegap Gema, lalu semuanya terjadi begitu saja.
Di bawah lampu remang-remang milik kampus, Adira menunjukkan kalau apa yang Gema ucapkan, salah. Dengan penuh kehati-hatian, Adira membungkam benda kenyal yang sempat meracau tidak jelas itu, merasainya secara perlahan hingga sama-sama memejamkan mata.
Ignoring the fact that her first kiss was taken by Gema without knowing it.
***
"Lipbalm aku hilang!"
Adira sibuk mengobrak-abrik isi tasnya yang dia bawa saat malam festival, mencari keberadaan lipbalm kesayangannya. Dia lupa di mana meletakkan lipbalm tersebut, dan baru sadar saat dia akan memakainya hari ini.
"Inget-inget lagi, lo taruh di mana. Makanya, jadi orang jangan ceroboh begitu, Dir." Maharani, gadis yang menjadi alasan di balik hilangnya lipbalm Adira, ikut mencari keberadaan benda tersebut. Dia memeriksa meja rias di kamarnya, barangkali Adira tak sengaja meletakkannya di sana. Semalam, mereka berdua pulang larut karena sama-sama saling mencari. Ternyata, Maharani juga berniat untuk mengajak Adira pulang, sementara ponselnya tidak ada jaringan sinyal.
Mereka akhirnya bertemu di parkiran, setelah lelah saling mencari satu sama lain.
"Aku nggak pernah taruh sembarangan. Aku selalu bawa ke mana-mana. Sempat, sih, kemarin pakai waktu cari kamu, tapi tiba-tiba hilang..." Adira langsung menghentikan kalimatnya saat mengingat peristiwa yang hampir dilupakan; halaman belakang kampus! Bagaimana bisa dia tidak ingat dengan momen itu?
Tanpa sadar, Adira memegang bibirnya. Ciuman semalam masih terasa jelas dalam memori di kepalanya. Belaian penuh kefrustrasian yang Gema sematkan pada bibir Adira, membuatnya terbuai. Sangat dalam dan merenggut separuh kewarasan. Kalau saja balon lampu remang-remang di sana tidak meledak, mungkin Adira dan Gema akan melanjutkan kegiatan mereka sampai bibir terasa kebas.
"Mungkin jatuh di jalan, habis kamu pakai lipbalm." Maharani menoleh ke arah Adira yang hanya diam sambil tersenyum malu-malu, mengundang tanda tanya di benak Maharani. Padahal, beberapa saat lalu, gadis itu tampak panik, tapi sekarang dia seperti tengah berbunga-bunga.
"Dir? Lo nggak lagi kerasukan, kan? Heh! Bikin merinding saja." Maharani melempar Adira menggunakan handuk kecil yang tersampir di kursi dekat meja rias.
"Nggak, bukan apa-apa. Kayaknya, memang jatuh di jalan. Mungkin nanti aku bakal beli lagi, isinya mau habis juga." Adira tidak mungkin menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Gema kepada Maharani. Selain karena Maharani tidak akan mudah percaya, Gema sedang dalam kondisi mabuk, jadi terkesan seperti Adira yang mencari kesempatan dalam kesempitan.
"Yakin? Lo ke mana saja? Mungkin kita bisa cari di kampus, siapa tahu masih ada, atau disimpan sama petugas kebersihan." Maharani memberi ide, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Adira. Walaupun dia sebenarnya tidak mengetahui di mana letak lipblam tersebut—bisa jadi memang masih berada di tempat kejadian—tapi, dia tidak ingin meninggalkan jejak apa pun.
Kondisi sekitar yang gelap, tidak memungkinkan orang lain untuk melihat wajahnya secara jelas. Kalau dia kembali, bisa jadi ada saksi mata dan wajahnya menjadi terekspos.
"Enggak usah, deh. Ribet banget. Mending beli lagi aja."
Maharani mengangguk pelan. "Terserah lo aja. Nanti gue anterin beli. Sekalian mau beli lip cream juga. Ada yang baru rilis, gue penasaran."
Kalau Adira bertahan dengan merek lipbalm yang selalu dipakai, Maharani lebih suka mencoba merek terbaru yang lagi ramai dibicarakan. Bagusnya, terkadang Adira ikut kebagian mencoba. Mereka berteman lama tentu ada alasannya. Karakter kedua orang itu bertolak belakang, tapi saling mengisi. Adira yang mudah bersimpati dan Maharani yang wataknya agak keras. Seringkali, Maharani mengajarkan Adira untuk bisa menempatkan diri.
"Sepulang kuliah, anterin aku, ya?"
"Oke!"
***
Hai hai haiiiiii!! Apa kabar yeorobun-deul??? Semoga selalu baik-baik aja ya...
Aku balik lagi sama cerita baru nih. Nama pemerannya sama kayak yang sebelumnya, cuma ada beberapa alur yang aku ganti, but, aku harap kalian enjoy dan syuka yaaaaa
Btw. Ada yang kangen sama aku, nggak? Akhirnya aku keluar dari persemedian wkwkwk
Udah lama nggak ada di lapak ini, jadi rindu.
Untuk visualisasi, kalian bisa bayangin versi kalian masing-masing. Tapi, untuk aku sendiri, aku memilih visual Mark Lee dari NCT Dream.
So, have fun yaaa ❤️
Bonus dari Gema wkwk
Bali, 16 Agustus 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top