•CC_11•

Cessa memicingkan matanya memandang intens pada cowok yang duduk berhadapan dengannya. Sesekali gadis itu mengerjapkan matanya. Membuat cowok itu hanya bisa tersenyum tidak enak. Entah apa maksud cewek di hadapannya.

"Teman lo kenapa, Ngel?" tanya Rafael.

"Oh, biasa, dia emang sedikit sinting." Ucap Angel sambil memberikan tanda X dengan kedua jari telunjuk di depan dahinya.

Mendengar itu Cessa langsung menyenggol lengan Angel lantaran tidak terima, "jangan mulai deh." Ucapnya.

"Habisnya lo kenapa sih liatin Rafael sebegitu banget. Kasian tuh anaknya jadi merinding." Ucap Angel.

"Gue cuman mastiin doang. Gue tuh kayak pernah liat Rafa tapi gue lupa."

"Kayaknya lo salah orang, deh. Soalnya gue murid baru di sini. Gue pindahan dari bogor." Celetuk Rafael.

Angel dam Cessa sama-sama memandangi Rafael. Tiba-tiba mereka berdua saling melirik teringat akan sesuatu yang pernah mereka bahas.

"Jangan-jangan lo murid baru yang di kelas XII IPS 2?" tanya Cessa. Rafael mengangguk sebagai jawabannya.

"Ohh, jadi lo si anak baru yang buat heboh waktu itu." Ucap Angel.

Rafael tidak mengerti dan hanya mengernyitkan dahinya. Sadar kalau cowok itu bingung dengan perkataannya barusan Angel langsung menjelaskan apa yang terjadi sebelumnya.

"Waktu pertama kali lo masuk sini lo udah jadi topik seantero sekolah. Pertama, karena lo pindah waktu kita udah di kelas akhir. Kedua, ternyata lo bisa masuk kesini karena prestasi Lo yang di atas rata-rata. Jadi kepala sekolah dengan senang hati menerima murid pindahan. Padahal setau gue kalau udah di kelas akhir jarang banget malah hampir gak ada yang namanya anak baru." Jelas Angel panjang lebar. Ia berhenti sejenak menarik napasnya, sedangkan Rafael hanya menyimak sambil mengangguk-angguk.

"Dan yang ketiga karena lo ganteng!!" Kali ini bukan Angel yang melanjutkannya, melainkan Cessa dengan penuh semangat.

"Hah?"

"Iyaa, gara-gara itu hampir semua cewek di sekolah ini ngomongin si anak baru yang ganteng katanya. Gue sih belum tau ya yang mana anaknya. Karena waktu itu gue mau liat malah di seret Angel buat gak usah kepo." Ucap Cessa sambil melirik sinis pada Angel.

"Apa Lo liat-liat?"

"Gapapa."

Rafael yang memperhatikan mereka berdua hanya tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. Dia tidak menyangka kalau kedatangannya ternyata menjadi topik hangat di sekolah ini. Bahkan, teman-teman barunya tidak ada yang memberitahu soal ini padanya. Namun, bukan hal baru bagi Rafael mendapatkan pujian tersebut. Di sekolah lamanya dia juga sama populernya, tetapi sayangnya dia harus keluar dari sekolah sebelumnya karena harus mengikuti sang ayah pindah bertugas.

"Ah iya, El. Gue baru ingat." Ucap Cessa.

"Apa?"

"Berarti lo sekelas sama Nenek lampir dong?"

"Nenek lampir?"

"Nama aslinya Laras." Sahut Angel.

Rafael mengernyitkan keningnya, "Laras?" imbuhnya. Ia seperti tidak asing mendengar nama itu, tapi ia tidak ingat pastinya pernah mendengar nama itu dimana.

"Masa lo gak kenal dia? Gue pikir nenek lampir tiap hari centil sama lo karena kalian sekelas." Ucap Cessa.

"Siapa sih yang kalian maksud? gue kayak gak asing dengar namanya, tapi siapa ya? Gue lupa."

"Ah, udahlah. Besok juga lo pasti ketemu sama orangnya."

"Yaiyalah secara mereka 'kan sekelas."

***

Bulan malam ini begitu indah. Memancarkan cahayanya bersama bintang-bintang yang berkelap-kelip di atas sana. Terangnya bulan malam ini sebagai penerang jalan yang menggantikan sebagian lampu jalan yang mati. Seorang gadis yang baru saja melintas merasa tenang, sebab dia tidak harus takut berjalan di kegelapan. Ada bulan dan bintang yang menemani perjalanannya. Tepat di ujung jalan dia berhenti dan memasuki sebuah minimarket. Dia mengambil dua bungkus mie instan dan satu botol minuman kaleng yang menjadi tujuan utamanya keluar malam-malam.

"Berapa totalnya, bang?" tanya Cessa.

"Totalnya jadi dua belas ribu, kak." Ucap kasir.

Cessa meronggoh kantong jaketnya dan mengeluarkan beberapa uang seribuan dan uang sen. Dia memberikan semua itu pada kasir untuk di hitung.

"Kurang empat ribu, kak."

"Hah kurang? bentar, bang." Ucapnya sembari meronggoh kembali koceknya. Namun, tidak sepeserpun menemukan uang yang tersisa.

Alhasil Cessa menghitung-hitung kembali harga barang yang dia ambil. Padahal hanya tiga barang, tapi ternyata uangnya masih kurang.

"Emm... Indomie nya ambil satu aja, bang." Putus Cessa.

"Jadi sembilan ribu, kak, masih kurang  seribu lagi." Ucap abang kasir.

"Kok kurang sih bang? Emangnya duit gue berapa?"

"Uang kakak cuma ada delapan ribu. Kalo mau kakak ganti aja air kalengnya dengan minuman lain yang harganya lebih murah." Saran kasir.

Cessa mencebik kesal lantaran merasa tolol karena sebelumnya dia tidak menghitung terlebih dahulu uang yang dia bawa. Dia pikir hanya mie instan dan minuman kaleng bakal cukup dengan uangnya.

"Hitung sekalian sama punya cewek ini, bang." Ucap seseorang mengejutkan Cessa. Dia menoleh ke sumber suara dan mendapati seseorang yang dia kenal sudah berdiri di sampingnya.

"Angga?!"

***

Angin berhembus pelan menghantarkan dinginnya udara malam.  Bulan dan bintang masih setia memancarkan cahaya sebagai penerang jalan. Sesekali terdengar suara jangkrik dan suara dedaunan yang tertiup angin mengusik hening malam. Kini kedua orang yang baru keluar dari minimarket itu berjalan menyusuri jalanan yang sunyi.

"Lo keluar sendiri, Ces?" tanya Angga.

Cessa mengangguk, "abisnya gue laper banget. Dirumah udah kosong persediaan mie instan gue. Mau gak mau gue terpaksa jalan kaki keluar nih." Balas Cessa.

"Lo gak takut?"

"Sedikit, tapi demi perut apapun gue lakukan!" ujar Cessa memberanikan dirinya.

"Btw, makasih ya tadi udah nambahin sisa duit gue yang kurang. Besok di sekolah gue balikin duit lo." Lanjut Cessa.

"Yaelah santai aja kali. Kita 'kan teman." Ucap Angga.

"Sekalipun teman yang namanya hutang tetap harus di bayar, Ga."

"Gak usah, Cess. Anggap aja yang tadi gue jamin lo. Udah lo gak usah ganti-ganti duit gue segala." Ucapan Angga barusan memberikan senyuman lebar yang terpancar dari wajah Cessa.

"Aaa... baik banget sih lo. Lain kali kalo duit lo kurang bilang sama gue. Entar gantian gue yang jamin." Ucap Cessa yang malah membuat Angga tertawa.

"Lo lucu, deh."

"Makasihh, emang dari dulu gue lucu dan gemesin." Semakin di puji semakin melunjak si Cessa. Sontak Angga mengacak-acak rambut gadis itu.

"Ihh apaan sih lo! Jelek jadinya rambut gue."

"Lebay, sini gue rapikan lagi." Dusta Angga yang malah semakin brutal mengacak-acak rambut Cessa.

"Angga!! Lo nyebelin!" Bentak Cessa sembari mendorong tubuh cowok itu.

"Segitu doang tenaga lo? emang ya cewek itu lemah." Pungkasnya yang langsung mendapatkan injakan kaki dari Cessa.

"Nah, rasain 'kan lo sakit? Saki 'kan?"

"Enggak kok, B aja tuh, tenaga lo 'kan lemah." Ucap Angga yang sebenarnya menahan sakit bukan main.

"Oh b aja ya?" Cessa semakin menguatkan injakan nya dan berhasil membuat Angga mengadu kesakitan.

"Ces.. ces... Udah Ces ini mukai kerasa sakitnya." Mohon Angga. Sementara Cessa tersenyum puas lalu melepaskannya.

"Makanya jangan meremehkan cewek."

"Iya deh iya gue minta maaf."

"Karena lo tadi udah baik sama gue. Jadi gue maafin." Katanya.

"Yaudah ayok balik, gue anter lo sampai rumah."

"Jauh amat, Ga, sampai depan gang aja. Kita beda gang, kasian lo harus muter lagi."

"Lo cewek, bahaya jalan sendirian malam-malam begini, mana jalan kaki lagi. Sekarang banyak manusia gak punya hati yang begal sembarangan." Jelas Angga yang malah menakuti-nakuti Cessa.

"Serius lo?"

"Gue serius, Ces. Bahkan di dalam gang juga masih ada orang begal. Heran 'kan lo? gue juga heran kok ada manusia brengsek kayak gitu. Gak kasian apa sama orang-orang yang harus balik malam karena kerjaan. Kadang ada yang harus dapat uang dulu baru bisa pulang." Ungkap Angga.

"Ihh lo kenapa ceritain itu sama gue! Gue jadi sedih dengarnya. Emangnya pernah ada kejadian?" tanya Cessa yang kini berjalan berdekatan dengan Angga lantaran merinding.

"Pernah. Waktu itu Steven ada cerita kalau di gang sebelahnya pernah terjadi begal, korbannya hampir kena bacok, tapi untungnya berhasil selamat." Angga berhenti sebentar untuk menarik napasnya.

"Terus pelakunya gimana?"

"Katanya mereka tiga orang, dua orang yang boncengan kabur pas ada warga yang keluar. Nah, satunya lagi hampir ketangkap gara-gara motornya jatuh. Dia yang bawa sajam, motor sama sajam itu ketinggalan. Sedangkan pelakunya berhasil kabur semua." Jelas Angga.

"Ihh kok gantung sih? berarti pelakunya masih berkeliaran dong!"

Angga mengedikkan bahunya, "gue juga gak tau, tapi kata Steven belum ada kabar kalo pelakunya udah ketangkap."

"Kok seremm, Ga. Gue jadi takut." Cessa mengusap-usap kedua lengannya sambil menoleh kiri kanan dan belakang yang ternyata sepi.

Angga menyadari ketakutan Cessa sejak tadi hanya terkekeh kecil.

"Udah gak usah toleh-toleh. Fokus aja jalan ke depan."

"Habisnya lo ceritain yang tadi bikin gue parno."

"Sebenarnya gue gak mau ceritain, tapi lo kepo. Dan buat lo lain kali jangan keluar malam-malam begini sambil jalan kaki. Minimal ada yang nemenin kalo keluar nyari makan atau apalah. Walau sedekat apapun jaraknya. Paham, Ces?" tukas Angga memberi sedikit nasihat pada gadis itu.

"Lo kayak orang tua aja ngasih tau sambil ngomel-ngomel." Decak Cessa.

"Emangnya yang tadi gue ngomel, hm?"

Cessa terdiam sesaat sembari memandangi Angga yang juga menatapnya dengan satu alis naik sebelah. Engah kenapa ekspresi cowok itu seperti menggodanya.

"Gak juga sih, tapi ekspresi lo kenapa kayak gitu." Desis Cessa.

"Kayak gitu gimana?"

"Tau ah! Buruan anter gue balik." Rajuk Cessa yang berlalu begitu saja meninggalkan Angga di belakang.

"Lah malah jalan duluan dia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top