The Summoning
“Apa yang terjadi, Kia? Apa yang baru saja kau lakukan?” tanya Jane yang melihat temannya itu memejamkan mata sambil memegangi luka di dada pemuda asing tersebut.
“Pemuda ini membunuh banshee, sekarang dia dikutuk banshee itu. Melihat tenaga yang tersisa di pemuda ini, kurasa dia akan mati setelah matahari terbenam nanti.”
Lelaki tua pemilik penginapan itu berkata dengan cepat, “aku tidak mau orang asing sinting yang datang ke tempatku dan memaksa menginap itu mengobrak-abrik tempat ini dan menghancurkannya. Para pedagang keliling dari desa sebelah tidak akan bisa menginap lagi saat mereka mengunjungi Raffenwald.”
“Kemampuanku hanya untuk menyembuhkan luka fisik, untuk menyembuhkan luka mistik, aku harus belajar dari mentor yang tepat. Satu-satunya cara untuk melepaskan roh banshee ini darinya adalah dengan bicara pada Undine,” kata Kia.
“Maksudmu?”
“Kita ke gunung dimana Undine berada. Tapi di kaki gunung itu ada pemukiman suku Pamuyan Selatan. Aku tidak mau pulang, tidak sekarang.” Kata Kia dengan tegas.
“Oh, aku juga tidak sudi melewati rawa dimana ada ksatria tanpa kepala yang mau memenggalku kemarin!” tukas Jane dengan suara yang tinggi.
“Kalau kalian tidak menolongnya, penginapanku dihancurkan orang barbar itu!” desak kakek pemilik penginapan.
“Aku ada ide. Kia, kalau temannya kembali, bekukan dia agar dia tidak bisa mengamuk. Setelah itu kita letakkan dia di rawa biar dipenggal ksatria tak berkepala itu!” sahut Jane.
“Jangan begitu, Jane. Itu jahat,” jawab Kia dengan kalem.
“Lalu bagaimana dong? Kasihan kakek ini kalau rumahnya dihancurkan penjahat itu.”
“Penginapan ini sudah berdiri sejak turun temurun, sejak zaman kakeknya kakek buyutku, penginapan ini berdiri untuk melayani orang-orang yang lalu lalang dari desa ke desa di Hoffenburg. Sekarang nasibnya terletak di nyawa pemuda ini.” Sekali lagi kakek tua itu mengulangi betapa penting penginapan ini baginya.
“Tenang, tenanglah. Pasti ada jalan. Mungkin kita harus tunggu temannya pulang dan mencoba untuk bicara dengannya. Siapa tahu dia bisa ke selatan untuk mengunjungi Undine.”
“Kalau dia tidak bisa diajak bicara, bagaimana?” tanya Jane.
“Pemuda itu beringas dan menyeramkan. Baru pertama kali ketemu dengannya saja sudah menodongkan pedang ke leherku! Tidak mungkin bisa bicara dengannya!”
Bagaimanapun kakek itu benar, orang muda baik macam apa yang menodongkan pedang ke leher seorang kakek tak berdosa?
Diam-diam Kia menyentuh kantung kecil yang terlilit oleh tali karet dari usus rusa yang dikeringkan di ikat pinggangnya. Kantung itu tergantung dan bersandar damai menempel pada pinggangnya, menyembunyikan benda langka. Kia tidak pernah berharap akan menemukan kesulitan sehingga harus melakukannya saat ia memutuskan untuk meninggalkan tepi sungai Regan. Tapi sekalipun ia harus melakukannya, ia harus memastikan bahwa ia melakukannya demi kebaikan, atau demi orang yang baik. Tidak mungkin dia menolong seseorang yang temannya menodong kakek tua dengan pedang. Tapi bila dia tidak melakukannya, kakek tua itu akan mati.
Sekali lagi terdengar erangan pemuda itu, kedua kakinya bergerak-gerak seolah ingin menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Keringat sudah membasahi kulitnya yang putih dan matanya mulai terbuka dibawah kedua alisnya yang lebar.
“K-kepala …” ujarnya.
Jane cepat-cepat menghampirinya dengan prihatin, “ya? Kepala?”
Gadis itu memekik kecil karena terkejut saat tangan pemuda itu mencengkram tangannya dengan erat. Pemuda itu seperti sedang berjuang keluar dari arus sungai yang membeludak, dan tangan Jane adalah tambang yang mampu menyelamatkannya dari arus.
“Kepala banshee itu masih ada di rawa … Jake tolol lupa menghancurkannya …” pemuda itu terengah. “Hancurkan … tolong aku!”
Kemudian ia menatap Kia dan memelas, “… tolong.”
Sebuah ruangan megah, dari lantai ke langit-langit jaraknya setinggi pohon. Sepanjang dinding dihiasi lukisan dan ukiran-ukiran indah kadang berlapis emas. Semua itu terpantul di atas lantai mengkilap, marmer yang terpoles dengan baik. Ada jendela tinggi dengan kaca warna-warni membentuk lukisan mozaik mengenai seorang wanita anggun maupun seorang pria bermahkota emas.
“Aku sudah sering katakan padamu, tulisanmu itu sampah. Kau tahu apa sampah itu? Sampah itu sampah. Kamu ini tidak bisa dikritik!!”
“Aku harus hidup …!!” pemuda itu berujar sekali lagi, wajahnya gemetar dan basah. Ada dendam yang sangat kuat terpancar dari sinar matanya yang legam. Tekad yang begitu kuat, sehingga terasa seperti dendam.
Sekali lagi pemuda itu menulis, ia yakin ide yang dia tuangkan dalam tulisan di atas kertas ini akan mampu membungkam pria botak yang sangat narsis luar biasa itu. Pengakuan! Ya, pengakuan. Itu yang paling utama dia inginkan dari lelaki itu. Orang yang selalu meremehkannya.
Dengan percaya diri, dagu terangkat dan senyum tidak sabar ia mengantarkan sendiri naskahnya untuk dibaca bandot sialan itu. Lelaki itu sedang duduk di kursi bacanya dalam perpustakaan. Ia membaca naskah itu sambil memijit kepalanya yang gundul.
Naskah itu ada dua puluh lima lembar, dan si tua itu baru membaca satu paragraf, sisanya hanya lewat.
“Kamu mau menerbitkan ini?” ia bertanya seakan si pemuda baru saja memutuskan bahwa ia ingin menjadi seorang pelacur gay.
Si pemuda tidak menjawab, namun senyumnya pudar. Ia sudah tahu dari reaksi orang itu, ia terlalu mengenal orang tua itu.
Satu hentakan menerbangkan dua puluh lima lembar kertas hasil kerja kerasnya ke langit-langit perpustakaan. Berhamburan seperti mimpi yang hancur berkeping-keping.
“Aku kasihan pada pohon apapun yang ditebang dan dicacah demi menanggung tulisanmu.”
Kerongkongan Kia naik turun, jantungnya berdebar-debar seperti terguncang petir. Sungguh emosi yang sangat kuat terpancar dari pemuda tersebut.
“Tenanglah, menghancurkan kepala banshee hanya akan memberimu waktu sedikit untuk menggali liang lahatmu sendiri. Setelahnya kematian akan mengikutimu sampai kau menyerah.”
“Aku … aku …” pemuda itu kembali gemetar, tangannya terkepal gemas. Putus asa dan marah. Kini dia mulai menyesal kenapa dia tidak mendengarkan Jake saat di Ebien kemarin. Andai dia menurut dan pulang, dia tidak akan mengalami kutukan ini.
Sekejap, matanya berkunang-kunang, tertutup oleh titik-titik kuning. Ada sesuatu yang berguncang hebat membuat pemuda itu berhenti gemetar. Sesuatu naik dari perutnya sampai ke kerongkongan.
Ia mencoba untuk menahannya sekuat tenaga, namun percuma. Pemuda itu memiringkan tubuhnya dan memuntahkan darah hitam ke lantai kayu yang reyot.
Seperti ada buah delima hitam pecah di atas lantai. Dari sana belatung-belatung putih menggeliat.
Kutukan banshee menggerogoti tubuhnya dari dalam. Demi surga dan neraka, pemuda ini sekarat.
Jane tidak mengenal siapa pemuda ini, namun dia menangis melihat belatung-belatung itu. Mata merahnya yang basah menatap Kia penuh harap, terdesak rasa simpati dan empati bercampur jijik dan geli.
“Kia … lakukan sesuatu …” isak gadis itu.
Kia mencabut kantung yang sejak tadi disembunyikannya. Ia membuka ikatannya dan memasukkan tiga buah jari utamanya ke dalam kantung dan mengambil isinya secukupnya.
“Modir o logr naakvar … recoa vio ekh, Undine!!” serpihan pasir berwarna hitam yang berkilauan ditaburkan ke atas baskom air yang kini terlantar di atas meja di tepi ranjang.
Air dari baskom itu naik, energi yang sangat kuat memenuhi ruangan sehingga angin bertiup kencang. Angin itu terasa basah, secara ajaib rambut empat orang di ruangan itu melayang seakan sedang berada di dalam air.
Warna biru seperti kolam memenuhi ruangan seperti cahaya lampu, seiring keajaiban-keajaiban tersebut, naiklah air dalam baskom itu ke atas dikelilingi angin basah yang berputar seperti angin topan. Mungkin ada topan air dalam ruangan itu dan mereka berempat ada di dalam matanya.
Dari air baskom yang naik itu, dengan cepat terbentuklah sosok wanita ramping tanpa busana. Rambutnya tergerai, bergelombang seperti rumput laut dari sutera. Kulitnya terbuat dari air, tembus pandang dan beriak. Saat kedua kelopak matanya terbuka, tampak ada cahaya biru yang lembut tanpa bola mata.
Gadis yang memanggil sosok itu berdebar-debar. Lututnya serasa lemas sehingga dia harus mengumpulkan tenaga agar tidak terduduk lemas. Sakti, sakti sekali. Mendadak ruangan itu dipenuhi cahaya yang memancarkan segala kebaikan air.
Sosok itu mengulurkan tangannya menyentuh wajah Kia, dan hati gadis muda itu kembali tenang.
“Kia, anakku …,” panggilnya lembut. “… mengapa kau memanggilku?”
“Undine yang baik,” Kia berlutut dengan hormat, menundukkan wajahnya tanpa berani memandang langsung. Orang Pamuyan tahu bahwa Persona lebih mudah dibujuk pada mereka yang menunjukkan rasa takut atau hormat. “Dulia telah mengutuk pemuda malang ini, dan aku ingin menolongnya.”
“Pemuda yang telah membunuh anakku, Dulia, maksudmu?” tanya Undine.
Kia tidak segera menjawab. Tentu saja aneh rasanya bila memohon untuk menyelamatkan orang yang telah membunuh sesuatu yang bahkan sampai disebut “anakku” oleh Undine.
“Tolonglah, Undine yang baik. Pertemuan mereka tidak disengaja. Pemuda ini hanya ingin lewat, sementara Dulia hanya melaksanakan tugasnya. Sejak bangsa kami terlantar dan terlunta-lunta, Anda telah menampakkan kemurahan hati anda dengan memberi kami tempat di tepi sungai Regan. Sejak itu saya percaya bahwa tak ada yang lebih murah hati daripada Undine yang baik. Tolong maafkan pemuda ini dan selamatkan nyawanya.”
“Anakku, Kia. Apakah kau mengenal pemuda ini?” tanya Undine yang baik.
Kia menggeleng.
“Apakah kau atau keluargamu berhutang padanya atau keluarganya?”
Sekali lagi Kia menggeleng, dan dia mulai cemas.
“Apakah yang akan kau dapatkan setelah engkau menolongnya?”
Putus asa, Kia kembali menggeleng. Kini dia kehilangan harapan.
“Lalu untuk apa engkau menolongnya?”
“Impian,” tukasnya dengan spontan. “Pemuda ini ingin hidup. Impiannya yang membuatnya terus bertahan hingga sekarang.”
“Apakah impiannya bermanfaat bagimu?”
“Undine yang baik,” suara Kia kini terdengar lebih lantang. “Apakah salah bila aku hanya ingin orang asing tetap hidup, karena aku ingin dia hidup?”
Seperti ada sesuatu yang mendiktenya, Kia mengucapkan kata-kata yang belum terpikirkan olehnya sampai detik sebelumnya. “Mungkin aku tidak kenal dia. Mungkin dia tidak akan pernah berbuat baik padaku. Mungkin besok kita tidak akan pernah bertemu lagi. Mungkin selamanya aku dan dia tetap menjadi orang asing satu sama lain, orang asing yang bertemu dalam satu titik persimpangan hidup, seperti percikan api atau buih yang naik ke permukaan air. Tapi dalam waktu yang sesingkat itu, … aku ingin dia selamat. Aku ingin dia hidup. Dan aku bersungguh-sungguh pada niatku ini. Aku ingin dia hidup, hidup dan kembali mengejar impiannya.”
Undine seperti mematung untuk beberapa saat. Suara deru pusaran air di sekitar mereka masih terdengar keras, seakan ada badai mengelilingi mereka.
“Sejak ingatan tertuaku pada riwayat manusia, belum pernah aku mendengar permohonan setulus itu.” Undine menoleh pada pemuda yang berbaring di atas ranjang, dan kini kedua mata hitamnya itu terbelalak melihat sosok Undine mendekatinya. Wajahnya sudah sepucat gandum, dan bilur-bilur biru sudah merambat seperti akar pohon dari jantung, menyebar ke sekitarnya.
Undine mengangat tangannya melambai ke wajah pemuda itu. Pemuda itu lemas seakan mendadak nyawanya dicabut. Tubuhnya jatuh ke atas bantal
“Gabrielle Saul Feux. Impianmu mempertemukanmu dengan kematian, dan impianmu telah membunuh anakku. Haruskah aku menolongmu?”
Undine menghisap sesuatu dari tubuh pemuda itu, membuatnya menjadi kejang-kejang seakan nyawanya dicabut seperti rumput liar. Setelah pemuda itu jatuh ke atas kasurnya kembali dengan lunglai, seperti kain yang terlepas dari gantungan di dinding, Undine menghilang. Wujudnya kehilangan energi sehingga gumpalan air itu ambruk ke lantai menjadi genangan air disertai bunyi siraman air. Energi mistis hilang sama sekali dari kamar itu seperti kabut yang menipis. Topan basah menghilang, dan situasi kembali normal.
Bila kamar itu tidak basah kuyup seakan hujan baru saja turun di dalam ruangan, Jane tidak akan percaya bahwa penampakan Undine barusan itu bukan mimpi.
“Wow. Bila rambut dan pakaianku tidak basah sekarang, aku akan mengira bahwa aku orang tua yang menyedihkan. Sudah tua, sebatang kara, berhalusinasi pula.” Gumam orang tua, si pemilik penginapan ini.
“Bagaimana orang itu? Dia sudah sembuh belum? Atau mati?” tanya orang tua itu sambil melepas pakaian luarnya yang basah kuyup kemudian memerasnya. Air berjatuhan dari serat pakaian itu ke atas lantai kayu penginapan yang becek.
Sebelum Kia sempat memeriksa untuk menemukan jawabannya, mereka semua mampu mendengar suara derap langkah kuda mendekat dan berhenti di depan penginapan. Mendengar suara pintu depan dibuka secara kasar, orang tua itu terpaku dalam horor. Teror sudah kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top